Selasa, 20 November 2012

Tiada Ampunan Lagi!


Oleh: Alit Amarta Adi.
dimuat di harian Analisa Medan 12 November 2012

Berita keterlibatan Meirika Franola dalam upaya penyelundupan narkoba menghentak banyak pihak. Franola adalah penerima grasi berupa pengurangan hukuman mati menjadi seumur hidup dalam kasus sindikat narkoba internasional. Grasi melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 35/G/2011 tanggal 26 September 2011 tersebut ternyata tidak membuat Franola bertobat. Dasar penjahat kambuhan, gembong narkoba itu kembali mencoba memasukkan barang haram lewat kaki tangannya.

Grasi dalam Hukum
Berdasarkan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi negara, grasi diatur dalam Bab III Tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara pada Pasal 14 ayat (1) yang berbunyi “Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung”. Tidak ada keterangan lebih lanjut soal ketentuan tersebut. Walaupun begitu, dapat disimpulkan bahwa hanya Presiden yang dapat memberikan grasi sedangkan Mahkamah Agung hanya berperan sebagai pemberi pertimbangan. Artinya, tidak ada akibat hukum jika Presiden tidak mengikuti pertimbangan tersebut.
Selanjutnya, grasi juga diatur dalam UU No. 22 Tahun 2002 Tentang Grasi dan UU UU No. 5 Tahun 2010. Berdasarkan Pasal 1 UU No. 22 Tahun 2002, grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden. Singkatnya, grasi adalah ampunan kepada orang yang seharusnya dihukum. Kemudian pada Pasal 2 ayat (2) UU No. 5 Tahun 2010 diatur bahwa putusan pemidanaan yang dapat dimintakan grasi adalah pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling rendah dua tahun. Dalam konteks kasus Franola, sesungguhnya dia sudah mendapatkan grasi tingkat tertinggi. Si pesakitan yang seharusnya meregang nyawa dihadapan regu tembak mendapat kesempatan kedua untuk bertobat dan kembali kejalan yang benar. Sungguh, inilah anugerah besar yang seharusnya dimanfaatkan sebaik-baiknya. Kenyataannya, ampunan besar tersebut dilecehkan dengan kembali mencoba menyelundupkan barang haram lewat kaki tangannya. Benar-benar terlalu!
Dalam “Exclusive Discretion: Presidential Purposes for Issuing Pardons”, Stephen P. Miller Jr memaparkan bahwa dijaman Yunani, seseorang yang ingin mendapatkan ampunan atas kejahatannya harus mengumpulkan enam ribu tanda tangan warga negara. Artinya, dia harus meyakinkan enam ribu warga negara (tidak termasuk budak) bahwa perbuatannya yang sudah diputus bersalah oleh pengadilan masih layak mendapatkan ampunan. Sungguh hal yang tidak mudah untuk memperoleh ampunan. Dalam konteks kasus Franola, akankah ada enam ribu warga negara Indonesia yang akan “memaafkan” seorang gembong narkoba? Ingat bahwa narkoba memperbudak orang lewat ketergantungan, merusak masa depan dan bahkan dapat mendatangkan maut!

Demi Kepentingan Umum dan Keadilan
Harvey C. Mansfield dalam “The Case for the Strong Executive” mengutip John Locke ketika menyatakan bahwa selain kekuasaan melaksanakan hukum, kepala negara juga mempunyai kekuasaan hak prerogatif, yaitu kekuasaan melaksanakan kepentingan umum. Dalam konteks Indonesia, salah satu hak prerogatif Presiden adalah memberikan grasi. Disini, pemberian grasi oleh Presiden idealnya demi melaksanakan kepentingan umum. Selanjutnya, menurut Margaret Colgate Love seperti dikutip Miller Jr., pemberian ampunan atau grasi sebenarnya dimaksudkan sebagai cara untuk menegakkan keadilan ketika semua upaya lain telah gagal. Jadi, ampunan atau grasi adalah “senjata pamungkas” yang diberikan kepada Presiden untuk menegakkan keadilan.
Ketika seorang penjahat mendapatkan ampunan dari hukuman mati menjadi seumur hidup tetapi kembali berbuat jahat maka sesungguhnya dia tidak layak menerima ampunan itu. Kathleen Dean Moore seperti dikutip oleh Miller Jr., menyatakan bahwa adalah tidak bermoral dan tidak adil memberikan ampunan pada orang yang tidak layak. Menurut Moore, ampunan seharusnya diberikan untuk mengoreksi ketidakadilan.
Kembali pada kasus Franola, dengan berusaha menyelundupkan narkoba maka gembong narkoba kambuhan itu telah merendahkan nilai grasi. Hal tersebut juga menjadi tamparan bagi Presiden sebagai pemberi grasi. Disini, seolah-olah Kepala Negara telah dipermainkan oleh seorang residivis. Tentunya Presiden tidak boleh tinggal diam. Keadilan harus ditegakkan. Presiden seharusnya mencabut kembali grasi yang telah diberikan dan Meirika Franola segera menjalani hukuman mati. Memang dalam UUD 1945 sebagai konstitusi, UU No. 22 Tahun 2002 dan UU No. 5 Tahun 2010 tidak diatur soal pencabutan grasi. Walaupun demikian, penting untuk diingat bahwa grasi adalah hak prerogatif Presiden. Hak prerogatif bertujuan melaksanakan kepentingan umum dan menegakkan keadilan ketika semua cara sudah gagal. Jadi, ketika aturan hukumnya tidak lengkap sedangkan kepentingan umum dan keadilan harus ditegakkan maka disitulah fungsi hak prerogatif tersebut. Masyarakat Indonesia berhak untuk hidup bebas dari narkoba. Hak inilah yang harus diemban oleh para petinggi negeri ini. Kita tidak boleh lupa bahwa salah satu tujuan didirikannya republik ini adalah untuk melindungi bangsa Indonesia dan segenap tumpah darah Indonesia.
Ketika grasi sebagai hak prerogatif disalahgunakan sehingga kepentingan bangsa untuk bebas dari narkoba terancam dan rasa keadilan masyarakat terusik; maka Presiden pun mempunyai hak prerogatif untuk mencabut kembali grasi tersebut. Jadi, kenapa tidak? kepentingan umum dan keadilan harus ditegakkan. Tiada ampunan lagi bagi penyalahguna grasi!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar