Selasa, 20 November 2012

Rekonstruksi Lobi Gelap Politisi



Oleh: Alit Amarta Adi & Hifdzil Alim
dimuat di harian Jawa Pos 19 November 2011

Pernyataan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD soal dugaan jual beli pasal di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menarik untuk ditindak lanjuti. Bagi para para penggiat anti korupsi dan demokrasi, pernyataan tersebut bukanlah hal mengejutkan. Sebaliknya, para politisi Senayan kebakaran jenggot dan menuding Mahfud MD hanya mencari sensasi. Sensasi atau bukan, sudah menjadi rahasia umum bahwa DPR (yang diisi oleh orang-orang parpol) adalah lembaga bermasalah.
Masalah utama soal DPR adalah tidak ada transparansi dan akuntabilitas (pertanggung jawaban) yang layak dari para anggotanya. Seperti kita ketahui, para anggota DPR “disalurkan” oleh parpol. Dengan kata lain, semua orang yang ingin menjadi anggota DPR harus lewat parpol. Tentunya ada “uang masuk” dan “potongan-potongan” yang harus dibayar pada parpol. Sistem tersebut mirip dengan sistem outsourcing dalam dunia ketenagakerjaan. Singkatnya, mereka “tersandera” oleh parpol.
Rendahnya transparansi dan akuntabilitas orang-orang yang dipasok parpol ke DPR nyata-nyata terlihat dari soal keuangan. Jarang diketahui masyarakat berapa kekayaan seorang anggota DPR sebelum dan sesudah menjabat. Hampir tidak pernah diumumkan secara luas aliran arus dana parpol secara berkala. Dalam UU No. 2 Tahun 2011 juncto UU No. 2 Tahun 2008 pengaturan dan tuntutan transparansi-akuntabilitas keuangan parpol terlalu longgar, kabur dan terkesan asal-asalan. Tidak ada standar yang rinci soal bentuk laporan keuangan, tidak ada tuntutan pelaporan berkala pendek (misalnya 3 bulanan) pada Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan masyarakat. Hal yang paling fatal adalah lemahnya sanksi. Sanksi yang hanya berupa teguran tidak akan mampu memaksa parpol lebih transparan dan akuntabel pada masyarakat.
Aturan yang sengaja dibuat longgar tentunya memudahkan jual beli pasal. Keuangan parpol yang sengaja dirancang samar dan tidak transparan sudah pasti memudahkan aliran dana haram ditubuh parpol. Model pelaporan laporan keuangan yang terlalu longgar juga memberikan kebebasan luar biasa pada parpol untuk bertindak semau gue. Disisi lain, masyarakat yang seharusnya menjadi tuan bagi parpol tidak dipermudah untuk mengawasi. Bagaimana masyarakat bisa yakin bahwa parpol akan memperjuangkan kepentingannya dan tidak lebih menuruti “aspirasi” pihak-pihak lain ketika membuat suatu undang-undang?
Sudah hal yang umum bahwa pembuatan undang-undang tidak lepas dari lobby-lobby politik dan tarik ulur kepentingan. Terlalu naif kalau kita  menganggap bahwa tarik ulur kepentingan tersebut hanya terjadi diantara parpol saja. Selain parpol, ada yang dinamakan interest groups (kelompok-kelompok kepentingan). Menurut Ronald J. Hrebenar, kelompok kepentingan adalah  setiap asosiasi individu atau organisasi, baik diorganisasi secara formal atau tidak, yang berusaha mempengaruhi kebijakan publik. Singkatnya, kelompok kepentingan adalah siapapun yang mencoba mempengaruhi isi undang-undang. Kelompok kepentingan dapat dibagi menjadi kepentingan ideologis, kepentingan kebijakan dan kepentingan ekonomi. Dilihat dari bentuknya, kelompok kepentingan bisa bermacam-macam. Mereka bisa berupa kelompok sektarian yang berusaha menjadikan ideologinya sebagai ideologi negara, kelompok pejuang hak-hak gay dan lesbian, sindikat kriminal yang ingin mengendalikan aparat penegak hukum, dan yang paling berbahaya adalah perusahaan-perusahaan yang ingin memuluskan bisnisnya dengan “menyetir” isi undang-undang.
Secara umum, istilah lobby bisa diartikan usaha mempengaruhi. Terkait dugaan jual-beli pasal di DPR, menarik untuk mencermati pendapat Francesco Giovannoni. Menurut Giovannoni, lobby adalah kegiatan memburu rente (mencari keuntungan) yang ditujukan pada pembuat peraturan. Lebih lanjut, lobby bisa saja dilakukan dengan membayar suap pada politisi. Hal demikian sudah termasuk korupsi politik karena bisa mempengaruhi suatu kebijakan yang tadinya berpihak pada kepentingan umum menjadi berpihak pada kepentingan segelintir orang.
Hilangnya ayat yang berisi bahaya produk tembakau dalam UU Kesehatan dan batas usia maksimum hakim Mahkamah Agung (MA) yang mencapai 70 tahun dalam UU Mahkamah Agung hanyalah sebagian kecil dari UU bermasalah hasil buatan DPR. Hal-hal tersebut membuat pernyataan Mahfud MD soal jual-beli pasal di DPR menjadi semakin masuk akal. Tentunya hal tersebut tidak boleh dibiarkan begitu saja. Masyarakat, pejuang demokrasi dan para penggiat anti korupsi harus bersatu menuntut transparansi dan akuntabilitas DPR terutama dalam hal keuangan.
Jika ada transparansi aliran dana parpol, maka masyarakat akan lebih mudah mengawasi orang-orang parpol yang dipilihnya saat pemilu. Masyarakat akan mudah mengetahui siapa saja penyumbang besar yang mendanai parpol-parpol. Jadi jika suatu parpol getol memperjuangkan penurunan cukai tembakau rokok putih dan disaat yang sama menerima banyak uang dari industri tembakau asing, maka sudah pasti telah terjadi lobby gelap.
Hampir bisa dipastikan orang-orang parpol di DPR emoh menerapkan transparansi dan akuntabilitas keuangan karena akan merampas kenikmatan mereka. Walaupun begitu, Republik ini dibentuk bukan untuk memanjakan para politisi. Republik ini dibentuk untuk melindungi, mencerdaskan dan mensejahterakan rakyatnya. Selama lobby-lobby gelap terus dibiarkan maka bangsa Indonesia tidak akan menikmati janji kemerdekaan dalam Pembukaan UUD 1945. Jadi tunggu apa lagi? Sudah saatnya kita menyingkap lobby-lobby gelap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar