Sabtu, 23 Agustus 2014

Menakar Permohonan Uji Materi UU Pelayaran oleh LSM Forum Kota



Pada hari Jumat tanggal 29 Agustus 2014 akan digelar sidang Perkara No. 65/PUU-XII/2014 di Mahkamah Konstitusi (MK) dengan agenda pemeriksaan pendahuluan atas permohonan Lembaga Swadaya Masyarakat Forum Kota (LSM Forkot) dalam pokok perkara pengujian formil dan materiil UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (UU Pelayaran). Dalam Ringkasan Permohonan, LSM Forkot menyebutkan bahwa pihaknya merasa dirugikan secara formil dan materiil dengan berlakunya UU Pelayaran. LSM Forkot mendalilkan bahwa UU Pelayaran bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 45) baik secara formil maupun materiil. Secara formil, UU Pelayaran tidak memenuhi syarat formil baik di tingkat eksekutif maupun legislatif karena tidak melibatkan Pemerintah Kabupaten Gresik (Pemkab Gresik) dan pemerintah kabupaten/kota lainnya di Indonesia dalam pembahasan rancangan undang-undang tersebut. Selanjutnya secara materiil, ketentuan Pasal 4, 5 ayat (1), Pasal 28 ayat (1) sampai (6), Pasal 70 ayat (2), Pasal 72 ayat (1), Pasal 76 ayat (1), Pasal 77, Pasal 81 ayat (4), Pasal 82 ayat (1) dan (2), Pasal 96 ayat (1), Pasal 104 ayat (2), Pasal 111 ayat (1), Pasal 116 ayat (2), Pasal 197, dan Pasal 207 ayat (4) UU Pelayaran bertentangan dengan ketentuan Pasal 18 ayat (2) dan (5) UUD 45. Oleh karenanya, LSM Forkot mengajukan permohonan supaya MK menyatakan bahwa ketentuan tersebut di atas dalam UU Pelayaran dinyatakan bertentangan dengan UUD 45 sehingga tidak sah dan tidak berlaku, memerintahkan kepada Pemerintah, Presiden RI dan DPR RI untuk segera mencabut ketentuan dimaksud, memerintahkan kepada Pemerintah untuk menyerahkan Unit Pelaksana Teknis Kantor Administrator Pelabuhan Gresik dan Kantor Pelabuhan Bawean kepada Pemkab Gresik, dan membebankan segala biaya yang timbul dalam permohonan keberatan hak uji materiil UU Pelayaran kepada Pemerintah.
Permohonan LSM Forkot kepada MK terkait UU Pelayaran menarik untuk dicermati. Dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) diatur syarat-syarat pengajuan permohonan pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar, yaitu kedudukan hukum/legal standing pemohon (Pasal 51 ayat (1)), adanya hak/kewenangan konstitusional yang dirugikan oleh berlakunya undang-undang (Pasal 51 ayat (2)), uraian jelas bahwa pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 45 dan materi muatannya dianggap bertentangan dengan UUD 45 (Pasal 51 ayat (3)).

Legal Standing & Kerugian Konstitusional
Sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK, pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: perorangan warga negara Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang, badan hukum publik atau privat, atau lembaga negara. Dalam Ringkasan Permohonannya, LSM Forkot mengaku sebagai badan hukum publik berdasarkan SK Menteri Dalam Negeri melalui Kantor Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat Kabupaten Gresik No. 280/258/437.77/2010 tanggal 30 April 2010 tentang Surat Keterangan Terdaftar. Walaupun demikian, pengakuan tersebut masih perlu dibuktikan kebenarannya di persidangan.
Terkait syarat kerugian konstitusional, timbul pertanyaan mengenai hak konstitusional LSM Forkot apakah yang dirugikan oleh berlakunya UU Pelayaran? Sayangnya, LSM Forkot tidak menjabarkan mengenai kerugian konstitusional yang dialaminya dalam Ringkasan Permohonan.

Uji Formil Undang-Undang
Berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK, diatur bahwa MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD 45. Selanjutnya, sesuai ketentuan Pasal 51 ayat (3) huruf a UU MK dan Pasal 51 A UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK (Perubahan UU MK) dapat disimpulkan bahwa suatu undang-undang dapat diuji secara formil, yaitu diuji keabsahan tata cara pembentukannya.
Terkait permohonan LSM Forkot, dalam ketentuan Pasal 20 UUD 45 diatur bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memegang kekuasaan membentuk undang-undang (ayat (1)), setiap rancangan undang-undang (RUU) dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama (ayat (2)), jika RUU itu tidak mendapat persetujuan bersama, RUU itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu (ayat (3)), Presiden mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang (ayat (4)), dalam hal RUU yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak RUU tersebut disetujui, RUU tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan (ayat (5)). Sepanjang pembentukan UU Pelayaran telah sesuai dengan ketentuan Pasal 20 UUD 45 maka dalil bahwa pembentukan UU Pelayaran tidak sesuai dengan UUD 45 menjadi gugur.
Walaupun dalam ketentuan Pasal 51A ayat (3) UU 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Perubahan UU MK) diatur bahwa dalam hal permohonan pengujian berupa permohonan pengujian formil, pemeriksaan dan putusan yang dilakukan oleh MK didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang mengatur tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan, namun ketentuan tersebut baru berlaku pada tanggal diundangkan, yaitu tanggal 20 Juli 2011 sedangkan UU Pelayaran sudah berlaku sejak tanggal 7 Mei 2008. Dengan demikian, apakah ketentuan Pasal 51A Perubahan UU MK dapat digunakan dalam pengujian UU Pelayaran, sebagaimana dimohonkan oleh LSM Forkot? Kalaupun iya, maka proses pembentukan UU Pelayaran harus diuji berdasarkan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU Pembentukan). Ketentuan mengenai pembentukan suatu undang-undang diatur dalam Pasal 17 sampai 23 UU Pembentukan. Dalam ketentuan dimaksud, tidak ada satupun disebutkan keharusan melibatkan pemerintah kabupaten/kota dalam pembentukan suatu undang-undang. Dengan demikian, dalil bahwa UU Pelayaran tidak  memenuhi syarat formil menjadi terbantah.

Uji Materiil Undang-Undang
Berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (3) huruf b UU MK, dapat diketahui bahwa suatu undang-undang dapat diuji secara materiil, yaitu diuji apakah materi muatannya bertentangan dengan UUD 45 atau tidak. LSM Forkot mendalilkan bahwa ketentuan Pasal 4, 5 ayat (1), Pasal 28 ayat (1) sampai (6), Pasal 70 ayat (2), Pasal 72 ayat (1), Pasal 76 ayat (1), Pasal 77, Pasal 81 ayat (4), Pasal 82 ayat (1) dan (2), Pasal 96 ayat (1), Pasal 104 ayat (2), Pasal 111 ayat (1), Pasal 116 ayat (2), Pasal 197, dan Pasal 207 ayat (4) UU Pelayaran bertentangan dengan ketentuan Pasal 18 ayat (2) dan (5) UUD 45.
Ditinjau dari materinya, ketentuan dalam UU Pelayaran yang dimohonkan oleh LSM Forkot untuk diuji adalah sebagai berikut: Pasal 4 UU Pelayaran mengatur lingkup berlakunya UU Pelayaran, Pasal 5 berisi peran pemerintah sebagai pembina kegiatan pelayaran, Pasal 28 mengatur tentang tingkatan pejabat yang berwenang memberikan izin-izin, Pasal 70 ayat (2) tentang hierarki pelabuhan, Pasal 72 ayat (1) tentang penggunaan wilayah daratan dan perairan dengan kesesuaian Rencana Induk Pelabuhan Nasional, Pasal 76 ayat (1) tentang kewenangan pejabat dalam menetapkan Rencana Induk Pelabuhan dan Daerah Lingkungan Kerja atau Daerah Lingkungan Kepentingan Pelabuhan, Pasal 77 tentang kewenangan menteri untuk menetapkan wilayah tertentu menjadi lokasi pelabuhan, Pasal 81 ayat (4) tentang Unit Penyelenggara Pelabuhan, Pasal 82 ayat (1) dan (2) terkait Otoritas Pelabuhan, Pasal 96 ayat (1) tentang pejabat pemberi izin pelabuhan berdasarkan kelas pelabuhan, Pasal 104 ayat (2) terkait syarat membangun dan mengoperasikan terminal khusus, Pasal 111 ayat (1) terkait peran pelabuhan utama, Pasal 116 ayat (2) terkait peran pemerintah dalam keselamatan pelayaran, Pasal 197 pengerukan alur pelayaran dan kolam pelabuhan, Pasal 207 ayat (3) tentang kewenangan menteri mengangkat Syahbandar.
Dalam Ringkasan Permohonannya, LSM Forkot menjadikan ketentuan Pasal 18 ayat (2) dan (5) sebagai batu uji norma. Pasal 18 ayat (2) UUD 45 mengatur pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas perbantuan. Sedangkan ketentuan Pasal 18 ayat (5) UUD 45 mengatur bahwa pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintahan Pusat.
Dengan demikian, maka dalil bahwa ketentuan dalam UU Pelayaran (sebagaimana tersebut di atas) materinya bertentangan dengan Pasal 18 ayat (2) dan (5) UUD 45 menjadi membingungkan dan tidak jelas kaitannya.
Jikalau LSM Forkot hendak mendalilkan bahwa seharusnya kepelabuhanan adalah urusan pemerintah daerah dan bukan merupakan urusan pemerintah pusat, maka dasar hukum yang seharusnya digunakan adalah ketentuan Pasal 10 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Dalam ketentuan tersebut diatur bahwa, urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah pusat meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama. Kepelabuhanan tidak secara tegas disebutkan sebagai urusan urusan pemerintah pusat sehingga dapat ditafsirkan bahwa kepelabuhanan termasuk dalam urusan pemerintah daerah. Walaupun demikian, penting untuk dipahami bahwa kalaupun penafsiran tersebut benar maka pertentangan yang terjadi adalah pertentangan antara ketentuan dalam UU Pelayaran dengan ketentuan dalam UU Pemda, bukan pertentangan antara ketentuan dalam UU Pelayaran dengan UUD 45.

Kesimpulan
1.             LSM Forkot harus membuktikan legal standing dan hak konstitusionalnya dilanggar oleh berlakunya UU Pelayaran.
2.             Pembentukan UU Pelayaran tidak bertentangan dengan UUD 45 sebagaimana didalilkan oleh LSM Forkot, maupun dengan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

3.             Materi UU Pelayaran tidak bertentangan dengan UUD 45 sebagaimana didalilkan oleh LSM Forkot.  

Rabu, 31 Juli 2013

Naskah Publikasi Tesis Politik Hukum Pengaturan Keuangan Partai Politik di Indonesia



POLITIK HUKUM PENGATURAN KEUANGAN PARTAI POLITIK DI INDONESIA

Alit Amarta Adi[1], Andi Sandi Ant.T.T.[2]
INTISARI

Penelitian ini diajukan untuk menjawab tiga permasalahan terkait keuangan partai politik. Pertama, bagaimanakah regulasi keuangan partai politik di Indonesia; Kedua, hal-hal apa sajakah yang seharusnya diatur dalam hukum keuangan partai politik; dan Ketiga, bagaimanakah sebaiknya model pengaturan keuangan partai politik yang ideal di Indonesia.
Penelitian ini merupakan penelitian sosio-legal karena penulis selain meneliti naskah undang-undang partai politik juga meneliti risalah sidang pembahasan undang-undang partai politik. Dengan kata lain, penulis berusaha menggali hal-hal yang menjadi latar belakang suatu rumusan ketentuan dalam undang-undang. Berdasarkan variasi penelitian menurut F. Sugeng Istanto, penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian pustaka tentang isi ketentuan hukum positif dan hukum terapan, bersifat kualitatif dan penelitian preskriptif. Dalam penelitian ini, pendekatan perundang-undangan digunakan untuk memahami UU No. 2 tahun 2011; pendekatan historis digunakan untuk memahami risalah sidang pembentukan peraturan perundang-undangan; pendekatan komparatif digunakan untuk memahami regulasi keuangan partai politik di Jerman dan Amerika Serikat; dan pendekatan konseptual digunakan untuk memahami konsep kedaulatan rakyat, demokrasi perwakilan, kebebasan berserikat berkumpul, konsep partai politik, konsep akuntabilitas dan tranparansi partai politik, konsep anatomi hukum kepartaian dan model politik hukum regulasi keuangan partai politik. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa naskah peraturan perundang-undangan, risalah sidang, buku, jurnal, artikel, naskah dari internet dan kamus.
Dari hasil analisis, penulis menyimpulkan bahwa; Pertama, regulasi keuangan partai politik di Indonesia menganut politik hukum permissive dimana kebebasan partai politik sangat tinggi, tuntutan transparansi dan akuntabilitas keuangan sangat longgar, serta pengawasan dan sanksi yang lemah; Kedua, dalam hukum keuangan partai politik harus diatur mekanisme pendanaan dari negara; kewajiban mengungkap asal dan jumlah sumbangan; ada standar laporan keuangan; kewajiban pelaporan berkala laporan keuangan kepada lembaga pengawas; ada kewajiban audit keuangan berkala oleh auditor eksternal yang profesional; ada pembatasan jumlah sumbangan; ada larangan sumber sumbangan tertentu; sanksi atas pelanggaran. Ketiga, model regulasi keuangan partai politik yang ideal di Indonesia adalah dengan mengkombinasikan tuntutan transparansi; audit keuangan berkala oleh auditor eksternal yang profesional; larangan menerima sumbangan dari pihak asing, badan tidak kena pajak, pembatasan nominal sumbangan per orang per tahun pada jumlah yang wajar; penguatan Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilihan Umum dengan kewenangan pengawasan yang kuat dan kewenangan menjatuhkan sanksi administratif yang tegas; bantuan keuangan dari APBN/ APBD diberikan kepada partai politik sebagai suatu penggantian sebagian biaya operasional tahun sebelumnya dengan syarat partai telah memenuhi kewajiban transparansi dan akuntabilitas keuangan.

Kata Kunci: keuangan partai politik, akuntabilitas, transparansi.
  

POLITICS OF LAW ON POLITICAL PARTY FINANCIAL REGULATION IN INDONESIA

Alit Amarta Adi[3], Andi Sandi Ant.T.T.[4]
ABSTRACT

This study aim to analyse the three problems related to political party financial matter. First, how does the statutory regulates the political party finance in Indonesia? Second, what issues must be regulated in statutory regarding political party finance. Third, what is the ideal model for political party finance regulation for Indonesia?
This research is a socio-legal research. In addition to examined the statutory regarding political party, the researcher also examined the legislation proccess transcript related to the statutory. In other words, the researcher sought to explore the background of the statutory provision formulation during its legislation process.  Based on research variation according to F. Sugeng Istanto, this research may be categorised as literature research on the content of statutory law and applied law, qualitative and prescriptive. In this research, the statutory-approach used to understand the UU No. 2 Tahun 2011; historical-approach used to understand the legislation proccess transcript related to the statutory; comparative-approach used to understand the political parties financial regulations in Germany and the United States; while conceptual-approach used to understand the concept of popular sovereignty, representative democracy, freedom of assembly, political parties concept, the concept of political party accountability and transparency, the anatomy of political party law, and the politics of law concerning political party financial regulation. The data used in this research are secondary data such as statutory text, legislation proccess transcript, books, journals, articles, scripts from the internet, and dictionaries.
From the analysis, thre researcher concludes that: First, the political party financial regulation in Indonesia adopted a permissive model, in which, there are very high freedom for political parties, very loose demands of financial transparency and accountability, weak public supervision and obscure sanctions; Second, the law must regulate the mechanism of public funding for political party, obligations to reveal to source and amount of donations, standards for financial reports, obligation to submit financial statements periodically to supervisory agendies, obligation related the periodically financial audit by external professional auditors, donations cap, prohibitions of certain donations source, sanctions for violations. Third, the ideal political party finance regulation model for Indonesia is by combining the demands of transparency, demands of periodically financial audit by external professional auditors, ban on foreign source donations and non taxable entities source donations, reasonable restriction on nominal donation per person per year, enforcement of Election Commission and Election Supervisory Board through strong authorization to supervise and to impose severe administrative sanctions, the public funding given as a partial reimbursement for the previous year operating cost provided that the party has complied the financial transparency and accountability obligations.


Key words: Political Party Finance, Accountability, Transparency.
    

A.           PENDAHULUAN
Partai politik memegang peranan penting dalam sistem demokrasi perwakilan. Dalam sistem demokrasi perwakilan, rakyat sebagai pemilik kedaulatan memilih orang-orang untuk mewakili kepentingan mereka di parlemen (lembaga perwakilan rakyat). Orang-orang tersebut berasal dari partai politik. Salah satu fungsi parlemen adalah dalam hal legislasi (membuat peraturan perundang-undangan)[5]. Dalam konteks Indonesia, fungsi legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah membuat undang-undang. Dalam membuat undang-undang, anggota DPR harus mengakomodasi kepentingan rakyat yang telah memilihnya. Dengan kata lain, undang-undang yang dibuat harus melindungi dan mendorong kesejahteraan rakyat[6].
Proses legislasi tidak bebas dari lobi[7] faksi-faksi yang ada dalam parlemen. Masing-masing faksi berusaha mengakomodasi kepentingan para pemilihnya. Selain hal tersebut, kelompok-kelompok kepentingan[8] juga berusaha supaya kepentingan mereka terakomodasi dalam undang-undang[9]. Hal tersebut menimbulkan urgensi untuk menjaga supaya undang-undang tetap mengakomodasi kepentingan rakyat banyak dan bukan kepentingan kelompok tertentu. Salah satu bentuk lobi adalah pemberian sumbangan kepada partai politik dengan timbal-balik diakomodasinya kepentingan pemberi sumbangan.
Dalam Pasal 38 UU No. 2 Tahun 2011 hanya ditentukan bahwa hasil laporan pertanggung-jawaban penerimaan dan pengeluaran keuangan partai politik (di setiap tingkatan organisasi) terbuka untuk diketahui masyarakat. Rumusan tersebut tidak cukup karena tidak menentukan cara dan batas waktu maksimal melakukan publikasi. Dengan kata lain, masyarakat (rakyat) tidak dipermudah untuk melakukan kontrol. Selain itu, sanksi bagi pelanggaran ketentuan tersebut juga tidak ditentukan.
Pengaturan tentang transparansi dan akuntabilitas keuangan partai politik masih sangat longgar. Rumusan-rumusan pengaturan keuangan partai politik dalam UU No. 2 Tahun 2011 tidak tegas dan memberikan kesempatan diskresi yang luas. Singkatnya, penguatan pengawasan dan kontrol masyarakat (rakyat) terhadap partai politik kurang diakomodasi.
Secara umum, pengaturan partai politik oleh negara menimbulkan dilema. Di satu sisi jika pemerintah tidak melakukan pengaturan terhadap partai politik maka akan terjadi kekacauan. John Locke menyatakan bahwa “individuals formed government to ensure the enjoyment of their natural rights[10]. Dengan kata lain, individu-individu bergabung membentuk pemerintahan untuk menjamin dinikmatinya hak-hak mereka. Selanjutnya dikatakan bahwa “government, on this account, was a police force that prevented freedom from dissolving into anarchy[11]. Artinya, pemerintah di sini berfungsi sebagai penjaga untuk mencegah penyalahgunaan kebebasan supaya tidak menjurus pada anarki. Dalam konteks rendahnya akuntabilitas partai politik, pemerintah harus memfasilitasi penguatan pengawasan dan kontrol rakyat sebagai pemilik kedaulatan terhadap partai politik yang diberi mandat mewakili kepentingan rakyat. Persoalannya bukan tentang apakah pemerintah boleh mengatur partai politik atau tidak tetapi bagaimana mengatur dengan intensitas yang cukup. Jadi, walaupun kebebasan berbicara dan berserikat adalah hak asasi yang diakui secara universal tetapi tidak serta merta lepas dari intervensi negara.
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan pada paragraf-paragraf sebelumnya maka peneliti berkeinginan untuk melakukan penelitian mengenai Politik Hukum Pengaturan Keuangan Partai Politik di Indonesia. Lebih lanjut, peneliti berusaha tidak sekedar menggambarkan politik hukum sebagai fenomena atau realitas empiris semata namun juga mencari model politik hukum yang mengakomodasi cita-cita hukum.
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan utama dalam penelitian ini adalah: “Bagaimanakah Politik Hukum Pengaturan Keuangan Partai Politik di Indonesia”, dengan sub permasalahan sebagai berikut:
1.             Bagaimanakah regulasi keuangan partai politik di Indonesia?
2.             Hal-hal apa saja yang seharusnya diatur dalam hukum keuangan partai politik?
3.             Bagaimanakah sebaiknya model regulasi keuangan partai politik yang ideal di Indonesia?

B.            METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Penelitian ini merupakan penelitian sosio-legal yang merupakan penelitian pustaka tentang kajian hukum positif dan hukum terapan, bersifat preskriptif. Pendekatan yang dipakai antara lain pendekatan peraturan perundang-undangan, pendekatan historis, pendekatan komparatif dan pendekatan konseptual. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan sekunder berupa naskah undang-undang, naskah risalah sidang, buku-buku, jurnal-jurnal, artikel-artikel, bahan dari internet, dan kamus-kamus.


C.           REGULASI KEUANGAN PARTAI POLITIK DI INDONESIA
Terkait hak keuangan partai politik, dalam UU No. 2 Tahun 2011 tidak banyak perubahan yang konstruktif. Perkembangan hak partai politik dalam RUU, UU No. 2 Tahun 2008 dan UU No. 2 Tahun 2011 dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Perkembangan Hak Partai Politik dalam RUU Partai Politik, UU No. 2 Tahun 2008 dan UU No. 2 Tahun 2011

Walaupun dimuat rincian jenis laporan keuangan yang wajib dibuat oleh partai politik untuk diaudit oleh akuntan publik tetapi tidak diatur tentang pihak yang menunjuk dan membiayai audit. Jika akuntan publik ditunjuk dan audit dibiayai oleh partai politik maka terbuka kesempatan untuk mempengaruhi objektivitas kerja auditor. Selain itu tidak ditentukan batas waktu yang tegas untuk mengumumkan hasil audit kepada masyarakat. Selain hal tersebut, secara umum perkembangan tuntutan kewajiban partai politik terkait transparansi dan akuntabilitas masih belum memadai. Perkembangan tersebut dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Perkembangan Kewajiban Partai Politik dalam RUU Partai Politik, UU No. 2 Tahun 2008 dan UU No. 2 Tahun 2011

Dalam hal pendanaan, partai politik tetap bebas menerima sumbangan tanpa batas dari anggotanya;  terjadi kenaikan batas sumbangan maksimal yang boleh diterima dari perusahaan/ badan usaha dari empat milyar Rupiah menjadi tujuh milyar lima ratus juta Rupiah dalam satu tahun anggaran; tetap tidak ada ketentuan yang tegas apakah perusahaan asing dikecualikan dari donor yang dilarang memberikan sumbangan kepada partai politik. Selain itu longgarnya batas waktu penyampaian laporan terkait pembukuan dan sumbangan kepada pemerintah dan soal rekening khusus dana kampanye pemilu kepada KPU dalam UU No. 2 Tahun 2008 juga tidak dibenahi dalam UU No. 2 Tahun 2011. Terkait aliran dana dari dan ke dalam rekening partai politik, tetap tidak ada penunjukan badan/ lembaga yang kompeten dalam melakukan pemantauan/ pengawasan. Secara umum, perkembangan ketentuan tentang pembatasan dalam RUU Partai Politik, UU No. 2 Tahun 2008 dan UU No. 2 Tahun 2011 tetap longgar. Hal tersebut dapat dilihat dalam Tabel 3.

Tabel 3. Perkembangan Pembatasan Partai Politik dalam RUU Partai Politik, UU No. 2 Tahun 2008 dan UU No. 2 Tahun 2011

Dalam hal sanksi, sanksi-sanksi yang lunak dalam UU No. 2 Tahun 2008 tidak diperketat. Hal tersebut tentunya tidak akan mendukung tuntutan transparansi dan akuntabilitas yang ideal. Kesimpulannya, UU No. 2 Tahun 2011 masih mengandung kelemahan-kelemahan yang harus diperbaiki.
Berdasarkan teori Kenneth Janda mengenai pembagian politik hukum kepartaian, Indonesia tidak dapat digolongkan sebagai penganut model prescription (mengatur) melainkan temasuk penganut model permissive (mengijinkan). Hal tersebut disebabkan pengaturan-pengaturan yang sangat longgar dan sanksi yang lemah dalam undang-undang tersebut. Menurut Janda, model politik hukum permissive dapat mengakibatkan terlalu banyak partai gurem dalam pemerintahan yang kacau[12].

D.           HAL-HAL YANG SEHARUSNYA DIATUR DALAM HUKUM KEUANGAN PARTAI POLITIK
1.             Model Jerman
Parteiengesetz 1994/ Act on Political Parties/ Law on Political Parties (LPP) sebagaimana terakhir diamandemen pada tahun 2004 merupakan undang-undang yang mengatur keuangan partai politik dengan sangat ketat. Sebagian besar dana pembiayaan partai politik berasal dari negara. Karena hal tersebut, partai politik dituntut untuk transparan dan akuntabel dalam hal keuangan. Model pembiayaan partai politik dirancang sebagai penggantian sebagian pengeluaran yang dicairkan secara bertahap dan bukan pencairan dana di muka. Perhitungan penggantian tersebut didasarkan pada perolehan suara saat pemilu dan perolehan sumbangan dari donatur perseorangan. Dengan demikian, partai politik didorong untuk berkinerja prima.
Model pembiayaan partai politik di Jerman diikuti pengaturan-pengaturan yang menuntut transparansi asal-usul dan penggunaan dana, pembatasan jumlah dana publik untuk partai, larangan-larangan menerima sumbangan tertentu, dan batas waktu pelaporan. Selain itu, sanksi administratif berupa denda atau pencabutan dana publik digunakan untuk memaksa partai politik tunduk pada tuntutan transparansi dan akuntabilitas. Mengingat ketergantungan partai politik pada dana publik maka sanksi tersebut sangat mengikat partai untuk tunduk.
Walaupun memuat pengaturan teknis yang rinci dan ketat tetapi LPP tidak bebas dari kelemahan. Pada Section 23b paragraf 1 dan 2, jika suatu partai politik melaporkan ketidakbenaran dalam Laporan Arus Kas yang terlanjur diserahkan pada Presiden Bundestag maka tidak ada konsekuensi hukum (Section 31b dan 31c) selama hal tersebut belum diketahui oleh umum, belum diketahui Presiden Bundestag dan tidak diketahui sebelumnya. Ketentuan tersebut merupakan celah hukum yang dapat digunakan personil partai politik untuk mengelak dari jeratan sanksi hukum terkait rekayasa laporan keuangan.
Pada Section 31b, terkait tidak dicantumkannya suatu aset atau ketidakbenaran dalam pencantuman nilai aset dikenakan sanksi denda senilai 10% dari nilai aset yang tidak dicantumkan atau yang dicantumkan secara tidak benar. Sanksi denda tersebut terlalu rendah dan kurang kuat memaksa partai politik untuk tunduk. Persentase denda yang lebih besar akan semakin kuat memaksa partai politik menaati peraturan tersebut. Selanjutnya, pada Section 31d paragraf 1 juga terdapat celah yang memungkinkan partai melepaskan diri dari jeratan hukum jika percobaan merekayasa laporan keuangan tidak tuntas dilakukan.
Dalam LPP, kekuasaan Presiden Bundestag (ketua parlemen federal) sangat besar. Hal-hal terkait pengawasan laporan keuangan dan pencairan dana publik untuk partai politik merupakan kewenangan Presiden Bundestag. Jika sistem tersebut diterapkan pada negara dengan akuntabilitas dan kredibilitas partai politik yang rendah maka posisi tersebut rawan diperebutkan. Selain itu, penting untuk diwaspadai potensi kolusi diantara pejabat Presiden Bundestag dan partai asalnya dengan partai-partai yang lain. Dengan kata lain, pengawasan terhadap Presiden Bundestag menjadi penting.
2.             Model Amerika Serikat
Federal Election Campaign Laws merupakan kumpulan beberapa United States Code (undang-undang) yang mengatur tentang partai politik terutama mengenai dana kampanye. Pada dasarnya, kumpulan undang-undang tersebut cenderung mengatur individu-individu yang ada dalam partai politik dan political committee (tim sukses kandidat) daripada mengatur partai politik sebagai suatu lembaga.
Dalam hukum kepartaian Amerika Serikat, Komisi Pemilu Federal (Federal Election Commission/ FEC) memegang peranan penting dalam mengawasi partai politik dan tim sukses kandidat pemilu. Ada tuntutan menyampaikan laporan keuangan dengan standar baku yang rinci dan berkala kepada FEC. Dengan kata lain, terdapat tuntutan transparansi yang ketat pada partai politik dan tim sukses kandidat pemilu. Selain hal tersebut, dalam hukum kepartaian Amerika Serikat juga terdapat pembatasan jenis dan jumlah sumbangan dan larangan-larangan tertentu terkait sumbangan.
Walaupun demikian, hukum kepartaian Amerika Serikat tidak bebas dari celah hukum. Pertama, adanya entitas yang disebut Political Action Committee (PAC). Melalui PAC, korporasi-korporasi besar dan kelompok-kelompok kepentingan masih dapat mencoba mempengaruhi proses legislasi dengan memberikan sumbangan kepada kandidat atau partai politik.
Kedua, adanya dana partai politik yang disebut dana Levin. Dana Levin merupakan dana yang berasal dari sumber-sumber yang dilarang oleh hukum federal tetapi diijinkan oleh hukum negara bagian. Artinya, korporasi, serikat buruh dan kontraktor pemerintah federal dapat menyalurkan uang kepada partai politik dan tim sukses kandidat melalui jalur tersebut. Dana Levin tidak boleh digunakan untuk membiayai kampanye federal. Walaupun demikian, jika partai politik atau tim sukses kandidat hanya menggunakan satu rekening bank maka dana Levin akan bercampur dengan dana non federal dan dana federal sehingga menyebabkan semakin rumit untuk mengawasinya. Singkatnya, pejabat federal terpilih mungkin membuat kebijakan publik yang menguntungkan korporasi atau kelompok yang menjadi donornya ketika masa kampanye tetapi merugikan kepentingan umum.
Ketiga, terkait PAC korporasi yang merupakan anak perusahaan dari korporasi asing. Berdasarkan 11 C.F.R 110.20 (i), PAC tersebut boleh memberikan kontribusi asal perusahaan induk tidak mendanai PAC tersebut dan tidak ada orang asing yang ikut serta dalam operasional PAC tersebut. Larangan tersebut tetap memberikan celah bagi pihak asing untuk mempengaruhi hasil pemilu federal.
Keempat, berdasarkan 11 C.F.R 110.20 (b) dan (i) korporasi boleh memberikan sumbangan kepada partai politik untuk kegiatan-kegiatan yang tidak terkait pemilu federal. Dengan demikian, korporasi dapat mempengaruhi kebijakan partai politik melalui sumbangan tersebut.
Kelima, berdasarkan 11 C.F.R 100.84 sumbangan untuk pembangunan gedung kantor partai politik bukan termasuk kontribusi. Artinya, pihak asing dan korporasi boleh menyumbangkan uang untuk keperluan tersebut. Dengan kata lain, ada celah untuk mempengaruhi partai politik melalui sumbangan. Kesimpulannya, walaupun membebankan kewajiban transparansi keuangan yang ketat kepada partai politik dan tim sukses kandidat pemilu tetapi hukum kepartaian Amerika Serikat tidak bebas dari celah hukum yang dapat dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok kepentingan untuk mempengaruhi proses legislasi dan kebijakan publik demi kepentingannya.
3.             Perbandingan Model Jerman dengan Model Amerika Serikat
a.                 Persamaan
Model regulasi keuangan partai politik Jerman dan Amerika Serikat mempunyai persamaan antara lain:
i.               Adanya tuntutan transparansi yang ketat dalam bentuk pelaporan penerimaan dan penggunaan dana.
ii.             Adanya kewajiban audit oleh akuntan publik.
iii.           Adanya batasan jumlah sumbangan yang boleh diterima.
iv.           Adanya larangan-larangan tertentu terkait sumber sumbangan, misalnya dari pihak asing, korporasi, badan nirlaba/ amal.
v.             Sanksi cenderung bersifat administratif, misalnya denda.
b.                 Perbedaan
Secara substansi, model regulasi keuangan partai politik Jerman dan Amerika Serikat mempunyai perbedaan antara lain:
i.               Model Jerman merupakan regulasi yang cenderung mengatur partai politik sebagai suatu kesatuan lembaga yang utuh sedangkan model Amerika Serikat merupakan regulasi yang cenderung mengatur kandidat dan individu-individu dalam partai politik tersebut.
ii.             Model Jerman berkiblat pada pendanaan partai politik oleh negara (dana publik) sedangkan model Amerika Serikat berkiblat pada pendanaan partai politik oleh perorangan atau swasta.
iii.           Pada model Jerman, lembaga pengawas partai politik adalah ketua parlemen federal sedangkan pada model Amerika Serikat dilakukan oleh suatu lembaga negara independen yaitu Federal Election Commission/ FEC (Komisi Pemilu Federal).

E.            MODEL IDEAL REGULASI KEUANGAN PARTAI POLITIK DI INDONESIA
1.             Tuntutan Transparansi
Transparansi keuangan partai politik sangat penting dalam kaitannya dengan penguatan kontrol rakyat terhadap partai politik[13]. Dengan adanya transparansi, rakyat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi akan dimudahkan dalam mengawasi partai politik yang mensuplai wakil-wakil rakyat di parlemen. Karl-Heinz Nassmacher berpendapat bahwa partai politik dan/ atau kandidat pemilu wajib mengumumkan sumber penerimaan keuangannya[14]. Hal tersebut disebabkan beberapa sumber pendanaan partai politik dapat membahayakan partai tersebut[15]. Partai politik dimungkinkan bergantung pada donor tertentu tanpa diketahui oleh para konstituen[16]. Sumbangan dari perseorangan yang kaya, perusahaan, persekutuan dagang atau asosiasi usaha mungkin diberikan dengan pamrih tersembunyi[17]. Donor mungkin berniat membeli akses pada politisi atau pada kebijakan publik demi kepentingan pribadi atau kelompoknya[18].
Lebih lanjut, Nassmacher menyatakan bahwa tuntutan transparansi keuangan partai politik sesungguhnya bertentangan dengan tuntutan privasi atau kerahasiaan penyumbang[19]. Transparansi total tidak mungkin dicapai dan sebaliknya privasi total tidak mungkin diberikan[20]. Kepercayaan publik/ rakyat harus dijadikan patokan untuk menentukan batasan antara transparansi demi kepentingan umum dengan privasi individu[21]. Secara praktis, penentuan batas nominal sumbangan (threshold amount) merupakan alat untuk memisahkan kedua hal tersebut[22]. Privasi dan hak kerahasiaan hanya dapat diterapkan pada sumbangan dengan nilai dibawah batas nominal sedangkan sumbangan dengan nilai di atas batas nominal wajib diungkap kepada publik[23]. Selain hal tersebut, penentuan batas nominal sumbangan akan memudahkan publik membedakan sumbangan yang merupakan bentuk partisipasi politik pendukung akar rumput dengan sumbangan untuk membeli akses dan pengaruh[24].
Selanjutnya, tuntutan transparansi mencakup kewajiban mengungkap/ mengumumkan sumbangan-sumbangan bernilai di atas batas nominal; serta kewajiban pelaporan penerimaan, pengeluaran, hutang dan aset. Dengan demikian, publik dapat mengidentifikasi sumbangan dengan pamrih yang berasal dari pihak-pihak tertentu.
2.             Audit Eksternal
Salah satu cara menjamin akurasi dan integritas akun keuangan partai politik adalah dengan mewajibkan pemeriksaan dan sertifikasi oleh auditor profesional[25]. Audit adalah suatu pemeriksaan terhadap laporan keuangan suatu pihak, catatan keuangan, dan informasi bank beserta bukti-bukti pendukung yang telah disiapkan oleh pihak yang diperiksa (auditee)[26]. Terdapat beberapa tingkatan dalam audit. Pertama, audit lapangan dan kunjungan ke kantor partai politik (untuk memastikan bahwa catatan-catatan keuangan telah dipelihara dengan baik); kedua, review laporan (memeriksa/ mencari pelanggaran yang tampak pada laporan yang disimpan oleh partai politik); ketiga, review dokumen pendukung (apakah tersedia salinan cek dari penyumbang dan apakah cocok dengan sumbangan yang dicantumkan dalam laporan?); keempat, evaluasi keseluruhan informasi (bagaimanakah tingkat kewajaran suatu hal? Apakah pengeluaran tertentu terlalu tinggi?)[27].
Dalam rangka mewujudkan kepercayaan publik yang kuat terhadap partai politik maka penting untuk diatur kewajiban audit eksternal terhadap keuangan partai dan publikasi hasil audit tersebut. Audit eksternal adalah audit/ pemeriksaan keuangan oleh pihak di luar partai politik. Audit eksternal penting untuk dilakukan karena audit internal oleh partai politik saja tidak cukup. Keith D. Ewing sebagaimana dikutip oleh Marcin Walecki menyatakan bahwa audit internal mempunyai tiga kelemahan utama. Pertama, hal yang disepakati berlaku mengikat oleh suatu partai politik belum tentu disepakati juga pada partai politik yang lain. Dengan kata lain, tidak ada keseragaman standar praktik pengelolaan keuangan yang baik. Kedua, prosedur dan aturan ditetapkan oleh partai politik sendiri sehingga partai bebas menafsirkan sendiri aturan yang ada. Ketiga, tidak jelas sanksi bagi pelanggaran dan pihak manakah yang melakukan penegakan aturan[28]. Terkait penggunaan dana dari negara, audit dapat dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Terkait dana yang diperoleh partai dari pihak swasta, audit dapat dilakukan oleh kantor akuntan publik.
3.             Larangan dan Pembatasan
Dalam rangka mewujudkan kepercayaan publik terhadap partai politik, penting untuk menetapkan larangan dan pembatasan tertentu terkait keuangan partai politik. Terkait larangan; pertama, demi meminimalkan pengaruh pihak asing maka mutlak harus ada larangan bagi partai politik untuk menerima sumbangan dari pihak asing. Secara lebih rinci, partai politik dilarang menerima sumbangan dari perseorangan, korporasi, lembaga swadaya masyarakat mau pun pemerintah asing. Selain itu, perusahaan dalam negeri yang merupakan anak perusahaan asing sebaiknya juga dilarang memberikan sumbangan kepada partai politik. Partai politik merupakan penyuplai para wakil rakyat di parlemen. Salah satu fungsi parlemen adalah membentuk undang-undang. jika partai politik dilarang menerima sumbangan dari pihak asing maka akan mempersulit pengaruh pihak asing terhadap isi undang-undang nasional. Dengan demikian, risiko kepentingan asing lebih diutamakan daripada kepentingan nasional dalam muatan undang-undang dapat diminimalkan[29].
Kedua, badan usaha milik negara sebaiknya dilarang memberikan sumbangan kepada partai politik. Badan usaha tersebut adalah aset milik publik dan tujuan utamanya bukan untuk menyuplai keuangan partai politik. Larangan tersebut juga akan meminimalkan peluang partai politik menggunakan orang-orangnya untuk menjadikan badan usaha milik negara sebagai sumber pendanaan.
Ketiga, badan tidak kena pajak seperti yayasan amal, nirlaba, keagamaan dan  lain-lain sebaiknya dilarang memberikan sumbangan kepada partai politik. Dengan demikian akan semakin sulit bagi korporasi, sindikat kejahatan dan kelompok ideologi radikal memanfaatkan badan tidak kena pajak sebagai perantara untuk memberikan sumbangan terselubung kepada partai politik. Membatasi akses kelompok-kelompok tersebut untuk memberikan sumbangan kepada partai politik akan membatasi pula peluang mereka mempengaruhi isi dan proses legislasi[30].
Selain larangan, pembatasan juga memegang peranan penting dalam hukum keuangan partai politik. Pembatasan jumlah sumbangan kepada partai politik dapat mencegah korporasi atau individu kaya untuk memberikan sumbangan dalam jumlah besar. Hal tersebut penting untuk mencegah partai politik dan proses legislasi dikendalikan oleh minoritas kelompok kaya[31]. Menurut Spencer Overton, kebebasan berbicara dan memberikan dukungan politik tidak serta merta dapat dipersamakan dengan kebebasan menggunakan uang untuk memberikan dukungan politik[32]. Tidak ada bahaya yang mengancam ketika setiap orang bebas berbicara sepuasnya untuk mendukung seorang kandidat atau suatu partai politik. Bahaya timbul ketika seseorang bebas menggunakan kekayaan sekehendak hatinya untuk mendukung seorang kandidat atau suatu partai politik. Realitanya, di masyarakat terjadi ketidaksetaraan kekayaan. Jadi, pembatasan sumbangan penting untuk meminimalkan peluang kelompok kaya mengendalikan partai politik dan mengabaikan kepentingan masyarakat luas.
4.             Pengawasan
Dalam rangka mewujudkan transparansi dan akuntabilitas keuangan partai politik perlu adanya suatu lembaga pengawas. Khayyam Z. Paltiel sebagaimana dikutip oleh Nassmacher menyatakan bahwa penegakan aturan memerlukan suatu badan otorita kuat yang diberikan kekuasaan untuk mensupervisi, memverifikasi, menyelidiki dan jika perlu melakukan tindakan hukum[33]. Idealnya, lembaga pengawas tersebut tidak merupakan bagian dari cabang kekuasaan eksekutif (pemerintah). Marcin Walecki berpendapat bahwa kontrol eksternal yang kuat, walaupun merupakan pendekatan yang menarik untuk memberantas korupsi politik, dapat mengandung beberapa kekurangan[34]. Pembentukan sistem yang represif yang tidak dikontrol oleh lembaga penegakan yang netral dapat mengancam otonomi internal partai politik dan kebebasan dari intervensi[35]. Dengan kata lain, jika pengawasan tersebut diserahkan kepada kementerian maka hal partai politik yang berkuasa dapat menggunakan kementerian untuk menekan partai-partai yang menjadi saingannya. Jadi, adanya suatu lembaga negara independen yang khusus bertugas mengawasi dan menegakkan transparansi dan akuntabilitas keuangan partai politik menjadi penting. Lembaga tersebut harus diberikan kewenangan yang kuat untuk melaksanakan tugasnya. Dalam konteks Indonesia, tugas tersebut dapat diberikan kepada Komisi Pemilihan Umum atau Badan Pengawas Pemilu.


5.             Pendanaan dari Negara
Pendanaan dari negara sebaiknya tidak dijadikan satu-satunya sumber pembiayaan partai politik. Di satu sisi, hal tersebut akan memudahkan partai politik dalam arti bahwa partai politik tidak perlu kesulitan mencari dana dan mengurangi risiko partai mencari sumbangan dari kelompok-kelompok kepentingan dan sindikat kejahatan. Di sisi lain, hal tersebut akan membuat partai politik tergantung sepenuhnya kepada negara dan menyandera independensi partai. Selain hal tersebut, partai politik tidak boleh dijadikan prioritas utama terkait pengeluaran uang negara. Sesuai dengan Pembukaan UUD 1945, prioritas utama haruslah perlindungan, kesejahteraan, pencerdasan bangsa dan perdamaian. Dengan demikian, sebaiknya pendanaan dari negara hanya bersifat parsial saja. Artinya, partai politik tetap harus mencari sumber pendanaan lain yang sah.
Pendanaan dari negara sebaiknya tidak berupa subsidi yang dicairkan dimuka suatu periode tetapi berupa subsidi bersyarat yang dicairkan dibelakang suatu periode. Artinya, partai tidak diberikan dana untuk digunakan dengan bebas tetapi negara memberikan suatu penggantian biaya operasional sebagian. Dana tersebut diberikan jika partai politik melaksanakan tuntutan transparansi dan akuntabilitas keuangan. Dengan demikian, partai politik akan dipaksa untuk mengelola keuangannya secara transparan dan akuntabel.

6.             Sanksi
Tanpa sanksi yang tegas tidak mungkin partai politik akan mematuhi tuntutan transparansi dan akuntabilitas keuangan. Sebaiknya, sanksi administratif berupa denda dan pencabutan pendanaan dari negara lebih diutamakan daripada sanksi berupa pembekuan atau pembubaran partai politik. Sanksi berupa pembekuan atau pembubaran terhadap partai politik karena pelanggaran transparansi dan akuntabilitas keuangan sangat tidak proporsional. Selain itu, sanksi tersebut dapat digunakan penguasa yang anti demokrasi untuk menekan partai-partai yang menjadi lawan politiknya. Sebagai pelengkap, sanksi pidana untuk pelanggaran atau kejahatan tertentu dapat ditambahkan, misalnya untuk pengurus atau anggota partai politik yang menerima sumbangan dari pihak asing atau dari sindikat kejahatan.
7.             Pemberlakuan
Undang-undang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden[36]. Seperti halnya anggota DPR berasal dari partai politik[37], pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai atau gabungan partai politik[38]. Dalam konteks tersebut, mungkinkah orang-orang partai politik yang menjadi penyuplai pembuat undang-undang akan membentuk undang-undang yang membatasi kebebasannya dalam hak keuangan? Terkait hal tersebut ada baiknya mencontoh Amandemen XXVII Konstitusi Amerika Serikat. Dalam ketentuan tersebut ditetapkan bahwa tidak ada hukum soal penggajian Senator dan Anggota DPR yang langsung berlaku setelah diundangkan. Ketentuan tersebut baru berlaku pada masa jabatan sesudahnya[39].

F.            KESIMPULAN DAN SARAN
1.             Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan pada bab-bab sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa:
a.                 Regulasi keuangan partai politik di Indonesia menganut politik hukum permissive dimana kebebasan partai politik sangat tinggi, tuntutan transparansi dan akuntabilitas keuangan sangat longgar, serta pengawasan dan sanksi yang lemah.
b.                 Berdasarkan perbandingan dengan Jerman yang mengkombinasikan pendanaan dominan dari negara, pengawasan oleh ketua parlemen federal, sanksi pencabutan dana negara; dan Amerika Serikat yang mengkombinasikan pendanaan minim dari negara dan pengawasan oleh lembaga pengawas independen (Komisi Pemilu Federal), sanksi denda administratif; dapat disimpulkan bahwa dalam hukum keuangan partai politik harus diatur mekanisme pendanaan dari negara; kewajiban mengungkap asal dan jumlah sumbangan; ada standar laporan keuangan; kewajiban pelaporan berkala laporan keuangan kepada lembaga pengawas; ada kewajiban audit keuangan berkala oleh auditor eksternal yang profesional; ada pembatasan jumlah sumbangan; ada larangan sumber sumbangan tertentu; sanksi atas pelanggaran.
c.                 Model regulasi keuangan partai politik yang ideal di Indonesia adalah dengan mengkombinasikan tuntutan transparansi; audit keuangan berkala oleh auditor eksternal yang profesional; larangan menerima sumbangan dari pihak asing, badan tidak kena pajak, pembatasan nominal sumbangan per orang per tahun pada jumlah yang wajar; penguatan Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilihan Umum dengan kewenangan pengawasan yang kuat dan kewenangan menjatuhkan sanksi administratif yang tegas; bantuan keuangan dari APBN/ APBD diberikan kepada partai politik sebagai suatu penggantian sebagian biaya operasional tahun sebelumnya dengan syarat partai telah memenuhi kewajiban transparansi dan akuntabilitas keuangan; dan pemberlakuan undang-undang setelah pemilu berikutnya.

2.             Saran
a.                 Sebaiknya regulasi keuangan partai politik Indonesia menganut politik hukum prescriptive (mengatur), artinya pembentuk hukum menentukan aturan main yang secara detil menuntut partai-partai politik untuk transparan dan akuntabel dalam hal keuangan kepada publik.
b.                 Sebaiknya regulasi keuangan partai politik di Indonesia mengadopsi model Jerman dalam hal mekanisme pencairan dana negara untuk partai politik; serta mengadopsi model Amerika Serikat dalam hal pengawasan oleh lembaga negara independen dan sanksi denda administratif.
c.                 Sebaiknya dibuat undang-undang baru yang memuat tuntutan transparansi dan akuntabilitas keuangan yang ketat kepada partai politik serta dimuat kewajiban partai politik untuk transparan dan akuntabel kepada publik dalam amandemen UUD 1945.





[1] Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
[2] Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
[3] Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
[4] Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
[5] Miriam Budiardjo menyebut fungsi legislasi sebagai tugas utama. Miriam Budiardjo, 2009, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Tama, Jakarta, hlm. 323.
[6] Hal tersebut selaras dengan tujuan akhir negara untuk mewujudkan kesejahteraan rakyatnya. Ibid., hlm. 54.
[7] Note: Francesco Giovannoni menyatakan bahwa “...lobbying is rent-seeking activity directed at rule makers” (lobi adalah kegiatan memburu rente/ mencari keuntungan yang ditujukan pada pembuat peraturan). Lebih lanjut dikatakan bahwa “it would be possible, for example, to define lobbying as paying bribes to politicians, which many would describe as (political) corruption” (dimungkinkan, sebagai contoh, mendefinisikan lobi sebagai membayar suap pada politisi, yang oleh banyak orang digambarkan sebagai korupsi politik). Lihat dalam Francesco Giovannoni, “Lobbying Versus Corruption”, CESifo DICE Report 1/ 2011, hlm. 12.
[8] Note: Kelompok kepentingan (interest group) adalah setiap asosiasi individu atau organisasi, baik diorganisasi secara formal atau tidak, yang berusaha mempengaruhi kebijakan publik (an interest group is any association of individuals or organizations, whether formally organized or not, that attempts to influence public policy). Ronald J. Hrebenar, “The Role of Interest Groups in Northeastern Politics”, Ronald J. Hrebenar & Clive S. Thomas (eds), 2004, Interest Group Politics, The Pennsylvania State University, Pennsylvania,  hlm. 9.
[9] Note: Bandingkan dengan Satjipto Rahardjo yang menyatakan bahwa “pembuatan undang-undang bukan proses yang steril dari lingkungan sosial dengan semua kekuatan dan kepentingan yang ingin memaksa masuk kedalam undang-undang sehingga memperoleh legalitas dengan semua akibatnya” dalam Satjipto Rahardjo, 2002, Sosiologi Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta, hlm. 139.
[10]John Locke, 1690, The Second Treatise of Civil Government, hlm. 350 sebagaimana dikutip dalam Gregory P. Magarian, “Regulating Political Parties Under a "Public Rights" First Amendment”, William and Mary Law Review, Volume 44, Issue 5, April, 2003, hlm. 1948.
[11] Gregory P. Magarian, Ibid.
[12] Kenneth Janda, 2005, Political Parties and Democracy in Theoritical and Practical Pesrpectives-Adopting Party Law, National Democratic Institute for International Affairs, Washington, hlm. 23.
[13] Bandingkan dengan dissenting opinion Hakim Agung Sandra O’Connor sebagaimana dikutip oleh Elizabeth Garrett, 2002, “Working paper No. 8: Voting with Cues”, Center for Study of Law and Politics-USC Law School and California Institute of Technology, California,  hlm. 27.
[14] Karl-Heinz Nassmacher, “Introduction: Political Parties, Funding and Democracy” dalam Reginald Austin & Maja Tjernstrom, 2003, Funding of Political Parties and Election Campaigns, International Institute for Democracy and Electoral Assistance, Stockholm,  hlm. 11.
[15] Ibid.
[16] Ibid.
[17] Ibid. Bandingkan dengan Marcin Walecki, “Political Finance”, dalam IFES, 2007, Challenging the Norms and Standards of Election Administration, International Foundation for Electoral System, Washington, hlm. 80 dan Robert Williams, “Aspects on Party Finance and Political Corruption”, dalam Robert Williams, 2000, Party Finance and Political Corruption,  MacMillan Press, London, hlm. 9.
[18] Karl-Heinz Nassmacher, Ibid.
[19] Ibid., hlm. 16.
[20] Ibid. Bandingkan dengan Scott M. Noveck, “Campaign Finance Disclosure and the Legislative Process”, “Harvard Journal on Legislation” Vol. 47 Januari 2010, hlm. 46-47, 114.
[21] Karl-Heinz Nassmacher, Ibid.
[22] Ibid.
[23] Ibid. Bandingkan dengan Elizabeth Garret, Op. Cit., hlm. 31.
[24] Karl-Heinz Nassmacher, Ibid., hlm. 8.
[25] Marcin Walecki, 2007, Op. Cit., hlm. 86.
[26] Ibid.
[27] Ibid.
[28] Marcin Walecki, “Regulating Politics: The Role of Intenal and External Oversight in Europe”, hlm. 6-7.
[29] Bandingkan dengan Karl-Heinz Nassmacher, “Funding of Political Parties in the Anglo-Saxon Orbit” dalam Reginald Austin & Maja Tjernstrom, 2003, Funding of Political Parties and Election Campaigns, Intenational Institute for Democracy and Electoral Assistance, Stockholm, hlm. 43.
[30] Note: Lilian R. Bevier menyakatan bahwa “special-interest groups of all kinds, whether they represent corporate interest or ideological ones, are an artifact of the collective action problems that all modern democracies confront...”. Lihat, Lilian R. Bevier, “What Ail Us?”, Yale Law Journal Vol. 112, Maret 2003,  hlm. 1166-1167.
[31] Bandingkan dengan Spencer Overton, “The Donor Class: Campaign Finance, Democracy, and Participation”, University of Pennsylvania Law Review, Vol. 153:73, 2004, hlm. 82.
[32] Ibid., hlm. 84.
[33] Karl-Heinz Nassmacher, “Monitoring, Control and Enforcement of Political Finance Regulation” dalam Reginald Austin & Maja Tjernstrom, 2003 Funding of Political Parties and Election Campaigns, International Institute for Democracy and Electoral Assistance, Stockholm, hlm. 139.
[34] Marcin Walecki, “Regulating Politics: The Role of Intenal and External Oversight in Europe”, hlm 3.
[35] Ibid.
[36] Lihat Pasal 5 dan Pasal 20 UUD 1945.
[37] Lihat Pasal 22E ayat (3)
[38] Lihat Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.
[39] Note: “Amandemen XXVII Konstitusi Amerika Serikat berbunyi: No law varying the compensation for the services of the Senators and Representatives shall take effect, until an election of Representatives shall be intervened”. Lihat Amendments to the Constitution of the United States of America.