Selasa, 20 November 2012

Menghindari Anarki Demokrasi



Oleh: Alit Amarta Adi.
dimuat di harian Analisa Medan 7 Desember 2011

Pernyataan Wakil Sekretaris Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Viva Yoga Mauladi soal revisi undang-undang Pemilu menarik untuk dicermati. Menurut Mauladi, Rancangan UU perubahan atas UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD semestinya ditujukan untuk memperkuat sistem kepartaian. Bukan untuk membunuh parpol kecil dan menghilangkan hak hidup parpol baru. Lebih lanjut Mauladi mengatakan bahwa peningkatan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) secara drastis, seperti yang diusulkan pemerintah dan parpol-parpol besar, justru akan membunuh parpol kecil. Bahkan, peningkatan ambang batas secara drastis dapat menghilangkan hak hidup parpol baru yang akan tumbuh. Sebelumnya Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum menyebutkan bahwa ambang batas parlemen 4 % merupakan jalan tengah.
Gugatan soal ambang batas parlemen sebenarnya bukan barang baru. Pada tahun 2009, Mahkamah Konstitusi menolak gugatan 11 parpol soal ambang batas parlemen 2,5 % yang ditetapkan Pasal 202 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2008. Parpol-parpol tersebut beralassan bahwa ambang batas parlemen 2,5 % bertentangan dengan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”.

Hak Asasi Universal dan Hak Privilege
Mauladi mengatakan peningkatan ambang batas parlemen secara drastis akan membunuh parpol kecil, menghilangkan hak hidup parpol baru yang akan tumbuh. Dengan demikian, seolah-olah bertentangan dengan jaminan kebebasan berserikat dalam Pasal 28 UUD 1945 (Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang). Alasan lain yang mungkin dipakai adalah jaminan partisipasi dalam pemerintahan dalam Pasal 28D ayat (3) UUD 1945.
Konsep kebebasan berserikat dan partisipasi dalam pemerintahan seringkali dianggap serupa, yaitu sama-sama merupakan hak asasi (hak dasar). Meskipun secara formal pengaturan soal keduanya sama-sama berada dalam Bab X A UUD 1945 yang berjudul “Hak Asasi Manusia” tetapi esensi keduanya sesungguhnya tidak sama persis. Kebebasan berserikat adalah hak asasi yang universal, artinya setiap orang dijamin haknya untuk membentuk atau bergabung dengan perkumpulan untuk mengekspresikan diri, memperjuangkan dan melindungi kepentingannya. Menurut Miriam Budihardjo, wujud pelaksanaan hak ini bukan hanya melalui parpol saja melainkan juga LSM, serikat buruh, persatuan profesi, himpunan kerukunan tani, dll. Samuel Issacharoff menyatakan bahwa hak berserikat tidak dapat dikurangi atau dibatasi dalam hal apapun kecuali jika mengancam demokrasi, kebebasan dan masyarakat.
Disisi lain, “Partisipasi dalam pemerintahan” adalah hak asasi yang bersifat istimewa (privilege). Artinya tidak semua orang bisa memperolehnya. Hanya orang-orang yang mempunyai kemampuan/ kompetensi saja yang pantas memperolehnya (meritocracy system). Kenyataannya, tidak semua orang  bisa menjadi pejabat negara (Presiden, Hakim Konstitusi, Hakim Agung, dll). Ada syarat-syarat khusus yang harus dipenuhi. Demikian juga untuk mewakili rakyat diparlemen (DPR, DPD, DPRD) ada syarat-syarat khusus yang harus dipenuhi seperti ambang batas parlemen. Singkatnya, dalam demokrasi perwakilan memang tidak semua orang bisa ikut serta menentukan kebijakan negara. Ada orang-orang atau kelompok tertentu yang dipilih mewakili rakyat diparlemen.

Menghindari Anarki Demokrasi
Giovanni Sartori sebagaimana sering dikutip oleh Riswandha Imawan membagi sistem kepartaian menjadi 7 yaitu: sistem kepartaian atom (atomized party system), pluralisme berkutub (polarized pluralism), pluralisme moderat (moderate pluralism), sistem dua partai (two party system), sistem partai pre-dominan (pre-dominant party system), sistem hegemoni (hegemonic party system) dan sistem partai tunggal (single party system). Indonesia masih berada diantara sistem atom dan pluralisme berkutub. Artinya, tingkat persaingan partai masih tinggi, adanya upaya membentuk koalisi, walaupun demikian pengambilan keputusan berlarut-larut karena terlalu banyak parpol.
Keinginan menetapkan ambang batas sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1999. Penetapan ambang batas pemilu (electoral threshold) 2 % dipertahankan sampai Pemilu 2004. Walaupun demikian, penyederhanaan sistem kepartaian belum terwujud. Karena itu berdasarkan Pasal 202 ayat (3) UU No. 19 tahun 2008, ditetapkan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) sebesar 2,5 % untuk Pemilu 2009. Walaupun demikian, berdasarkan Pasal 315 juncto Pasal 316, parpol-parpol peserta pemilu 2004 yang tidak mencapai 3 % kursi DPR tetap bisa mengikuti pemilu 2009. Singkatnya, sudah ada “dispensasi” bagi mereka. Pertanyaannya, layakkah terus menerus memberikan dispensasi pada partai yang rendah dukungan dari rakyat?
Terlalu banyak parpol tidak sehat bagi sistem Presidensiil yang dianut Indonesia. Scott Mainwaring mencatat bahwa sistem multi partai tidak cocok dengan sistem presidensiil. Tanpa dukungan mayoritas parlemen, pemerintahan sulit berjalan efektif. Dengan kata lain, Presiden “tersandera” untuk berkoalisi dan sulit membentuk kabinet yang solid karena harus mengangkat orang-orang “titipan” dari parpol-parpol sekutunya.
Sistem kepartaian atom dan pluralisme berkutub yang berjalan sekarang sudah saatnya diarahkan pada sistem pluralisme moderat (5-6 parpol saja). Dengan demikian roda pemerintahan akan lebih lancar karena koalisi parpol akan lebih sederhana dan ringkas. Kesepakatan politik lebih cepat dan mudah tercapai. Karena itu, cukup sudah memanjakan parpol-parpol kecil dengan ambang batas parlemen yang terlalu rendah. Ambang batas parlemen 4 % adalah hal yang lumrah dan perlu demi menghindari anarki demokrasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar