Sabtu, 23 Agustus 2014

Menakar Permohonan Uji Materi UU Pelayaran oleh LSM Forum Kota



Pada hari Jumat tanggal 29 Agustus 2014 akan digelar sidang Perkara No. 65/PUU-XII/2014 di Mahkamah Konstitusi (MK) dengan agenda pemeriksaan pendahuluan atas permohonan Lembaga Swadaya Masyarakat Forum Kota (LSM Forkot) dalam pokok perkara pengujian formil dan materiil UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (UU Pelayaran). Dalam Ringkasan Permohonan, LSM Forkot menyebutkan bahwa pihaknya merasa dirugikan secara formil dan materiil dengan berlakunya UU Pelayaran. LSM Forkot mendalilkan bahwa UU Pelayaran bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 45) baik secara formil maupun materiil. Secara formil, UU Pelayaran tidak memenuhi syarat formil baik di tingkat eksekutif maupun legislatif karena tidak melibatkan Pemerintah Kabupaten Gresik (Pemkab Gresik) dan pemerintah kabupaten/kota lainnya di Indonesia dalam pembahasan rancangan undang-undang tersebut. Selanjutnya secara materiil, ketentuan Pasal 4, 5 ayat (1), Pasal 28 ayat (1) sampai (6), Pasal 70 ayat (2), Pasal 72 ayat (1), Pasal 76 ayat (1), Pasal 77, Pasal 81 ayat (4), Pasal 82 ayat (1) dan (2), Pasal 96 ayat (1), Pasal 104 ayat (2), Pasal 111 ayat (1), Pasal 116 ayat (2), Pasal 197, dan Pasal 207 ayat (4) UU Pelayaran bertentangan dengan ketentuan Pasal 18 ayat (2) dan (5) UUD 45. Oleh karenanya, LSM Forkot mengajukan permohonan supaya MK menyatakan bahwa ketentuan tersebut di atas dalam UU Pelayaran dinyatakan bertentangan dengan UUD 45 sehingga tidak sah dan tidak berlaku, memerintahkan kepada Pemerintah, Presiden RI dan DPR RI untuk segera mencabut ketentuan dimaksud, memerintahkan kepada Pemerintah untuk menyerahkan Unit Pelaksana Teknis Kantor Administrator Pelabuhan Gresik dan Kantor Pelabuhan Bawean kepada Pemkab Gresik, dan membebankan segala biaya yang timbul dalam permohonan keberatan hak uji materiil UU Pelayaran kepada Pemerintah.
Permohonan LSM Forkot kepada MK terkait UU Pelayaran menarik untuk dicermati. Dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) diatur syarat-syarat pengajuan permohonan pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar, yaitu kedudukan hukum/legal standing pemohon (Pasal 51 ayat (1)), adanya hak/kewenangan konstitusional yang dirugikan oleh berlakunya undang-undang (Pasal 51 ayat (2)), uraian jelas bahwa pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 45 dan materi muatannya dianggap bertentangan dengan UUD 45 (Pasal 51 ayat (3)).

Legal Standing & Kerugian Konstitusional
Sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK, pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: perorangan warga negara Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang, badan hukum publik atau privat, atau lembaga negara. Dalam Ringkasan Permohonannya, LSM Forkot mengaku sebagai badan hukum publik berdasarkan SK Menteri Dalam Negeri melalui Kantor Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat Kabupaten Gresik No. 280/258/437.77/2010 tanggal 30 April 2010 tentang Surat Keterangan Terdaftar. Walaupun demikian, pengakuan tersebut masih perlu dibuktikan kebenarannya di persidangan.
Terkait syarat kerugian konstitusional, timbul pertanyaan mengenai hak konstitusional LSM Forkot apakah yang dirugikan oleh berlakunya UU Pelayaran? Sayangnya, LSM Forkot tidak menjabarkan mengenai kerugian konstitusional yang dialaminya dalam Ringkasan Permohonan.

Uji Formil Undang-Undang
Berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK, diatur bahwa MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD 45. Selanjutnya, sesuai ketentuan Pasal 51 ayat (3) huruf a UU MK dan Pasal 51 A UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK (Perubahan UU MK) dapat disimpulkan bahwa suatu undang-undang dapat diuji secara formil, yaitu diuji keabsahan tata cara pembentukannya.
Terkait permohonan LSM Forkot, dalam ketentuan Pasal 20 UUD 45 diatur bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memegang kekuasaan membentuk undang-undang (ayat (1)), setiap rancangan undang-undang (RUU) dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama (ayat (2)), jika RUU itu tidak mendapat persetujuan bersama, RUU itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu (ayat (3)), Presiden mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang (ayat (4)), dalam hal RUU yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak RUU tersebut disetujui, RUU tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan (ayat (5)). Sepanjang pembentukan UU Pelayaran telah sesuai dengan ketentuan Pasal 20 UUD 45 maka dalil bahwa pembentukan UU Pelayaran tidak sesuai dengan UUD 45 menjadi gugur.
Walaupun dalam ketentuan Pasal 51A ayat (3) UU 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Perubahan UU MK) diatur bahwa dalam hal permohonan pengujian berupa permohonan pengujian formil, pemeriksaan dan putusan yang dilakukan oleh MK didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang mengatur tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan, namun ketentuan tersebut baru berlaku pada tanggal diundangkan, yaitu tanggal 20 Juli 2011 sedangkan UU Pelayaran sudah berlaku sejak tanggal 7 Mei 2008. Dengan demikian, apakah ketentuan Pasal 51A Perubahan UU MK dapat digunakan dalam pengujian UU Pelayaran, sebagaimana dimohonkan oleh LSM Forkot? Kalaupun iya, maka proses pembentukan UU Pelayaran harus diuji berdasarkan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU Pembentukan). Ketentuan mengenai pembentukan suatu undang-undang diatur dalam Pasal 17 sampai 23 UU Pembentukan. Dalam ketentuan dimaksud, tidak ada satupun disebutkan keharusan melibatkan pemerintah kabupaten/kota dalam pembentukan suatu undang-undang. Dengan demikian, dalil bahwa UU Pelayaran tidak  memenuhi syarat formil menjadi terbantah.

Uji Materiil Undang-Undang
Berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (3) huruf b UU MK, dapat diketahui bahwa suatu undang-undang dapat diuji secara materiil, yaitu diuji apakah materi muatannya bertentangan dengan UUD 45 atau tidak. LSM Forkot mendalilkan bahwa ketentuan Pasal 4, 5 ayat (1), Pasal 28 ayat (1) sampai (6), Pasal 70 ayat (2), Pasal 72 ayat (1), Pasal 76 ayat (1), Pasal 77, Pasal 81 ayat (4), Pasal 82 ayat (1) dan (2), Pasal 96 ayat (1), Pasal 104 ayat (2), Pasal 111 ayat (1), Pasal 116 ayat (2), Pasal 197, dan Pasal 207 ayat (4) UU Pelayaran bertentangan dengan ketentuan Pasal 18 ayat (2) dan (5) UUD 45.
Ditinjau dari materinya, ketentuan dalam UU Pelayaran yang dimohonkan oleh LSM Forkot untuk diuji adalah sebagai berikut: Pasal 4 UU Pelayaran mengatur lingkup berlakunya UU Pelayaran, Pasal 5 berisi peran pemerintah sebagai pembina kegiatan pelayaran, Pasal 28 mengatur tentang tingkatan pejabat yang berwenang memberikan izin-izin, Pasal 70 ayat (2) tentang hierarki pelabuhan, Pasal 72 ayat (1) tentang penggunaan wilayah daratan dan perairan dengan kesesuaian Rencana Induk Pelabuhan Nasional, Pasal 76 ayat (1) tentang kewenangan pejabat dalam menetapkan Rencana Induk Pelabuhan dan Daerah Lingkungan Kerja atau Daerah Lingkungan Kepentingan Pelabuhan, Pasal 77 tentang kewenangan menteri untuk menetapkan wilayah tertentu menjadi lokasi pelabuhan, Pasal 81 ayat (4) tentang Unit Penyelenggara Pelabuhan, Pasal 82 ayat (1) dan (2) terkait Otoritas Pelabuhan, Pasal 96 ayat (1) tentang pejabat pemberi izin pelabuhan berdasarkan kelas pelabuhan, Pasal 104 ayat (2) terkait syarat membangun dan mengoperasikan terminal khusus, Pasal 111 ayat (1) terkait peran pelabuhan utama, Pasal 116 ayat (2) terkait peran pemerintah dalam keselamatan pelayaran, Pasal 197 pengerukan alur pelayaran dan kolam pelabuhan, Pasal 207 ayat (3) tentang kewenangan menteri mengangkat Syahbandar.
Dalam Ringkasan Permohonannya, LSM Forkot menjadikan ketentuan Pasal 18 ayat (2) dan (5) sebagai batu uji norma. Pasal 18 ayat (2) UUD 45 mengatur pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas perbantuan. Sedangkan ketentuan Pasal 18 ayat (5) UUD 45 mengatur bahwa pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintahan Pusat.
Dengan demikian, maka dalil bahwa ketentuan dalam UU Pelayaran (sebagaimana tersebut di atas) materinya bertentangan dengan Pasal 18 ayat (2) dan (5) UUD 45 menjadi membingungkan dan tidak jelas kaitannya.
Jikalau LSM Forkot hendak mendalilkan bahwa seharusnya kepelabuhanan adalah urusan pemerintah daerah dan bukan merupakan urusan pemerintah pusat, maka dasar hukum yang seharusnya digunakan adalah ketentuan Pasal 10 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Dalam ketentuan tersebut diatur bahwa, urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah pusat meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama. Kepelabuhanan tidak secara tegas disebutkan sebagai urusan urusan pemerintah pusat sehingga dapat ditafsirkan bahwa kepelabuhanan termasuk dalam urusan pemerintah daerah. Walaupun demikian, penting untuk dipahami bahwa kalaupun penafsiran tersebut benar maka pertentangan yang terjadi adalah pertentangan antara ketentuan dalam UU Pelayaran dengan ketentuan dalam UU Pemda, bukan pertentangan antara ketentuan dalam UU Pelayaran dengan UUD 45.

Kesimpulan
1.             LSM Forkot harus membuktikan legal standing dan hak konstitusionalnya dilanggar oleh berlakunya UU Pelayaran.
2.             Pembentukan UU Pelayaran tidak bertentangan dengan UUD 45 sebagaimana didalilkan oleh LSM Forkot, maupun dengan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

3.             Materi UU Pelayaran tidak bertentangan dengan UUD 45 sebagaimana didalilkan oleh LSM Forkot.