Selasa, 20 November 2012

Kuda Troya RUU Keamanan Nasional



Oleh: Alit Amarta Adi
dimuat di harian Banjarmasin Post 12 Juli 2011
Setelah upaya pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Intelijen Negara macet, kini DPR dan pemerintah sedang berusaha menggolkan RUU Keamanan Nasional. Muatan kedua RUU tersebut sejatinya tidak jauh berbeda, yaitu sama-sama menyimpan bahaya laten otoritarianisme. Bagaikan kuda Troya, RUU Keamanan Nasional menyusupkan kewenangan bertindak dan keleluasaan yang besar bagi pemerintah atas nama “keamanan nasional”.
Belajar dari pengalaman Amerika Serikat, jargon “keamanan nasional” pernah dipakai oleh rezim George W. Bush untuk menggempur Afghanistan dan Irak. Jargon yang sama pula dipakai oleh Central Intelligence Agency (CIA) untuk menculik tersangka anggota Al Qaeda, menahan mereka di penjara Abu Ghraib, Teluk Guantanamao dan penjara-penjara gelap lainnya. Dunia tahu seperti apa hasil sepak terjang para penunggang semboyan “keamanan nasional” tersebut; kehancuran dan pelanggaran hak asasi manusia.
Di negeri sendiri, slogan “demi stabilitas nasional dan pembangunan” ampuh digunakan menggusur tanah milik masyarakat untuk perusahaan-perusahaan multi nasional atau trans nasional. Hak berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat serta berekspresi diberangus dengan undang-undang anti subversi dan produk hukum lainnya. Selain itu, jangan lupakan pula penetapan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh dan Irian Jaya (kini Papua) di era tahun 80an-90an.

Bahaya Laten
Dalam RUU Keamanan Nasional setidaknya ada dua hal yang mejadi bahaya laten. Pertama, pembungkaman gerakan demokrasi. Pasal 18 ayat (1) membagi ancaman menjadi ancaman militer, ancaman bersenjata dan ancaman tidak bersenjata. Selanjutnya dalam ayat (2) disebutkan bahwa sasaran ancaman tersebut adalah bangsa dan negara, keberlangsungan pembangunan nasional, masyarakat dan insani (individu). Lebih lanjut dalam ayat (3) dinyatakan bahwa jenis ancaman terdiri dari berbagai bentuk ancaman.
Rumusan dalam Pasal 18 ayat (1) sampai ayat (3) sangat luas dan dapat ditafsirkan bermacam-macam. Ayat (3) tidak memberikan batasan yang jelas tentang bentuk-bentuk ancaman. Lebih parah lagi, dalam ayat (4) disebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk ancaman akan diatur dengan peraturan pemerintah. Pasal 18 ini termasuk “pasal karet” yang lentur dan mudah ditarik kemana-mana. Artinya, pelaksana undang-undang (pemerintah) leluasa menafsirkannya seenak perut mereka sendiri. Selain itu, ayat (4) memberikan kekuasaan kepada pemerintah untuk menentukan hal-hal yang termasuk bentuk ancaman. Ini sangat berbahaya! James Madison pernah menyatakan bahwa “jika pemerintah dipegang oleh malaikat maka tidak perlu ada kontrol internal maupun eksternal terhadap pemerintah”. Kenyataannya, pemerintah dipegang oleh manusia, dan manusia bukanlah malaikat yang bisa bertindak tanpa cacat cela. Undang-undang dibuat untuk mengendalikan pemerintah supaya tidak melanggar hak-hak warga negara. Jika undang-undang malah memberikan kebebasan bertindak yang terlalu besar bagi pemerintah, akan rawan terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Lord Acton mengajarkan bahwa kekuasaan cenderung disalahgunakan dan kekuasaan mutlak akan mutlak disalahgunakan pula.
Singkatnya, berdasarkan Pasal 18, pemerintah bertugas mewujudkan keamanan nasional; menentukan batas-batas dan aturan mainnya sendiri; serta bebas melakukan apa pun “demi mewujudkan keamanan nasional”. Ini seperti memberikan cek kosong yang boleh diisi berapa pun nominal yang diinginkan. Bagaimana DPR (yang mengaku sebagai perwakilan rakyat) akan mengawasi dan mengontrol pemerintah (eksekutif)? Jika DPR sampai menyetujui RUU tersebut maka patut dipertanyakan kualitas kecerdasan dan integritas para politisi Senayan tersebut.
Kedua, campur tangan pemerintah dalam kehidupan beragama. Pasal 53 ayat (1) menyebutkan bahwa “Penanggulangan permasalahan dan penyimpangan ajaran keagamaan yang mengganggu ketertiban masyarakat dilaksanakan oleh Kementerian Agama, Kejaksaan Agung, dan Polri sebagai unsur utama dibantu oleh Kementerian terkait, TNI, Lembaga Pemerintah Non Kementerian terkait dan Pemerintah Daerah sebagai unsur pendukung”. Urusan keagamaan adalah urusan pribadi manusia dengan Tuhan. Pemerintah bukanlah wakil Tuhan sehingga tidak punya kewenangan menyatakan menyimpang atau tidaknya suatu ajaran agama. Selain itu, ukuran “mengganggu ketertiban masyarakat” juga tidak jelas.

Kembali Kepada Konstitusi
Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai hukum tertinggi negara menjamin hak-hak asasi warga negaranya. Dalam Pasal 28E dijamin kebebasan memeluk agama dan beribadat menurut agamanya; kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya; kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Lebih lanjut dalam Pasal 28 I ayat (4) disebutkan bahwa Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
Konstitusi adalah hukum tertinggi negara. Hans Kelsen dan Hans Nawiasky menyatakan bahwa dalam konstitusi termuat hukum dasar penyelenggaraan negara. Semua peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan konstitusi. John GA. Pocock menggambarkan konstitusi sebagai tembok benteng yang melindungi masyarakat dari gerusan jaman. Konstitusi membuat masyarakat kebal terhadap ancaman pembusukan, korupsi dan disintegrasi dari dalam. Dengan kata lain, konstitusi adalah sarana untuk melindungi bangsa dan negara dari keruntuhan akibat perilaku korup dan kejahatan lain.
Bola kini berada ditangan DPR. Akankah DPR benar-benar melaksanakan tugasnya sebagai perwakilan rakyat dan membenahi pasal-pasal bermasalah dalam RUU Keamanan Negara? ataukah “para wakil rakyat” tersebut akan tutup mata pura-pura bodoh dan membiarkan “kuda troya” RUU tersebut masuk? Jika pilihan kedua yang diambil maka sesungguhnya negara ini sedang terjerumus dalam keruntuhan akibat perilaku korup para petingginya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar