Selasa, 20 November 2012

RUU Intelijen Negara: Belati Bermata Dua



Oleh: Alit Amarta Adi.
dimuat di harian Analisa Medan 15 Juli 2011

Perdebatan tentang Rancangan Undang-Undang (RUU) Intelijen Negara masih terus berlangsung. Salah seorang politisi Senayan menyatakan bahwa masyarakat tidak perlu kuatir tentang muatan RUU tersebut. RUU Intelijen Negara semata-mata demi melindungi keamanan bangsa dan negara. Walaupun demikian, kritik terhadap isi RUU tersebut tidak serta-merta mereda. Publik cemas RUU tersebut tidak ubahnya Undang-Undang Keamanan Dalam Negeri/ Internal Security Act (ISA) di Malaysia dan Singapura, yang disalahgunakan untuk memberangus kebebasan berekspresi dan Hak Asasi Manusia (HAM).

Draft yang Rawan Penyalahgunaan
Naskah RUU Intelijen Negara yang sedang dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sesungguhnya banyak kelemahan. Pertama, konsep Intelijen Negara sebagai “lembaga pemerintah” (Pasal 1 angka 1). Seharusnya Intelijen Negara menjadi alat negara (state) untuk melindungi segenap bangsa Indonesia. Sebagai lembaga pemerintah, Intelijen Negara menjadi alat pemerintah (government). Dengan begitu, Intelijen Negara bekerja melayani rezim yang sedang berkuasa. Hal tersebut sangat berbahaya karena rentan disalahgunakan oleh penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya. Lebih mencemaskan lagi, dalam Pasal 27 ditentukan bahwa Lembaga Koordinasi Intelijen Negara (LKIN) berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Tidak diatur tentang kontrol DPR sebagai perwakilan rakyat terkait hal tersebut. Membiarkan hal tersebut sama artinya dengan memuluskan jalan bangkitnya kediktatoran.
Kedua, dalam Pasal 19 dan 20 diatur mengenai Kode Etik dan Dewan Kehormatan Intelijen. Sayangnya tidak diatur soal mekanisme peradilan terhadap personil intelijen yang melanggar hukum atau HAM ketika menjalankan tugas. Harus dipertegas tentang prosedur penahanan, penuntutan dan pengadilan bagi personil atau pejabat intelijen yang melakukan pelanggaran hukum atau HAM.
Ketiga, tidak diatur tentang prosedur menyangkut kegiatan intelijen seperti; memasuki atau menggeledah bangunan, gedung, tanah pekarangan, kendaraan atau barang milik pribadi. Tidak jelas pula mengenai prosedur penangkapan dan penahanan tersangka. Artinya, proses hukum yang layak (due proccess of law) yang meliputi prosedur penangkapan, penahanan, penuntutan, dan seterusnya menjadi tidak terjamin. Tidak adanya jaminan tersebut tentunya bertentangan dengan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum (Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945).

Jaminan Konstitusi terhadap HAM
UUD 1945 sebagai hukum tertinggi negara menjamin hak-hak asasi warga negara. Jaminan Konstitusi tersebut terangkum jelas, yaitu; “hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun” (Pasal 28 I ayat (1)). Lebih lanjut, Konstitusi juga menegaskan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah (Pasal 28 I ayat (4)). Sehingga, hukum dan kebijakan pemerintah harus senantiasa menjamin perlindungan dan penghargaan HAM.
RUU Intelijen Negara sejatinya bertujuan memberikan kepastian hukum, jaminan tegaknya nilai-nilai demokrasi dan HAM menyangkut penyelenggaraan intelijen negara. Dengan RUU tersebut, diharapkan upaya deteksi dini untuk menangkal ancaman dan gangguan terhadap eksistensi serta keutuhan negara akan berhasil. Semuanya itu untuk mewujudkan tujuan negara, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia (Alinea IV Pembukaan UUD 1945). Disatu sisi, RUU tersebut adalah rancangan ‘senjata’ bagi negara untuk melindungi rakyatnya; tetapi disisi lain juga berpotensi dipakai oleh penguasa meneror lawan politik dan rakyat.
Seperti halnya RUU Intelijen Negara yang sedang dibahas di parlemen, Internal Security Act, baik di Malaysia maupun Singapura awalnya dimaksudkan mendukung “upaya-upaya pencegahan” demi keamanan dan ketertiban masyarakat. Kenyataannya, Internal Security Act sering dipakai oleh rezim yang sedang berkuasa untuk menghancurkan pihak-pihak yang dianggap melawan pemerintah. Di Malaysia pada tahun 1987, pemerintah menangkap para pemimpin oposisi tanpa alasan dan bukti yang jelas dan memenjarakannya tanpa proses pengadilan. Kejadian tersebut sering disebut sebagai “Operasi Lalang”. Jauh sebelumnya pada tahun 1963, operasi gabungan Malaysia-Singapura dengan sandi “Operasi Coldstorage” menangkap 117 aktivis oposisi dan serikat buruh. Kemudian pada tahun 1987, 22 orang aktivis gereja Katolik, aktivis sosial dan profesional ditangkap dalam “Operasi Spectrum” dengan tuduhan subversi.
Tidak ada jaminan bahwa hukum tidak akan digunakan sebagai senjata teror. Perancang Internal Security Act, Hugh Hickling, seorang profesor dan pengacara Inggris pernah menyatakan keterkejutannya: “Saya tidak dapat membayangkan bahwa kekuasaan untuk menahan orang, yang telah dibatasi Pasal 149 Kontitusi ternyata digunakan terhadap lawan politik, pekerja sosial dan aktivitas damai lainnya”. Penyalahgunaan kekuasaan memang godaan bagi penguasa. Tidak mengherankan jika Lord Acton menyatakan bahwa “power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely” (kekuasaan cenderung disalahgunakan, kekuasaan mutlak akan mutlak disalahgunakan).
Revisi RUU Intelijen Negara mutlak diperlukan. Selain konsep Intelijen sebagai lembaga negara; jaminan terhadap due proccess law/ proses hukum yang layak & hak-hak konstitusional warga; dan pertanggungjawaban hukum personil atau pejabat intelijen; penting untuk diatur adalah rehabilitasi dan restitusi/ ganti rugi jika terjadi kesalahan penangkapan atau penahanan. Tentunya kita tidak ingin ada penjara-penjara ilegal dan praktik-praktik a la penjara Guantanamao di Indonesia. Jangan sampai RUU Intelijen Negara justru menjadi seperti belati bermata dua yang menusuk rakyat yang seharusnya dilindunginya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar