Selasa, 20 November 2012

Perdamaian Sekarat di Tepi Barat


Oleh: Alit Amarta Adi.
dimuat di Harian Analisa Medan 10 Mei 2011


Seruan Moshe Kahlon agar Israel kembali mencaplok wilayah Tepi Barat telah menimbulkan kontroversi baru. Pernyataan menteri Komunikasi dan Kesejahteraan Israel tersebut tidak membuat suasana lebih kondusif. Upaya perdamaian Israel-Palestina kembali terganggu oleh statement politisi partai Likud tersebut. Hal tersebut menimbulkan keraguan akan itikad baik kabinet Perdana Menteri Benyamin Netanyahu untuk berdamai dengan Palestina.
Moshe Kahlon tidak sendirian. Menteri Urusan Diaspora dan Diplomasi Publik, Yuli Edelstein berpikiran serupa. Menurut Edelstein, Israel tidak harus menunggu sampai September untuk mengumumkan pencaplokan Tepi Barat tetapi langsung bertindak. Kesepakatan antara Fatah dan Hamas untuk bergabung membuat para politisi Israel kuatir. Tel Aviv kuatir Fatah meniru Hamas, yaitu lebih memilih pendekatan teror ketimbang perundingan dengan Israel.
Konflik Israel-Palestina sudah terjadi sejak tahun 1948. Tepatnya tanggal 15 Mei 1948 kaum Zionis memproklamasikan negara Yahudi yang disebut Israel. Tujuan dibentuknya negara baru tersebut adalah membangkitkan kembali kerajaan Israel Raya seperti masa raja Daud dan putranya, Salomo. Untuk mencapai tujuan, tanah yang didiami warga Palestina dicaplok. Hal tersebut menimbulkan sengketa berdarah sampai sekarang.
Pemikiran Ahad Ha’am & Yithzak Epstein
Jauh sebelum konflik Israel-Palestina meletus, seorang Yahudi bernama Ahad Ha’am menuliskan hasil kunjungannya ke wilayah Palestina pada 1891. Dalam laporannya, Ha’am menyatakan bahwa wilayah Palestina bukanlah tanah kosong tak berpenghuni. Ha’am mencela tulisan-tulisan yang menyebut tanah Palestina sebagai tanah yang ditinggalkan penduduknya. Lebih lanjut, Ha’am menilai bahwa etnis Arab bukanlah ancaman bagi kaum Yahudi. Pandangan tersebut kembali ditegaskan Ha’am dalam sebuah tulisan berjudul “Truth from Eretz Israel” dua tahun kemudian.
Sejaman dengan Ahad Ha’am, dialah Yithzak Epstein, seorang guru sekaligus penulis kelahiran Rusia yang menetap di wilayah Palestina sejak 1886. Epstein berpendapat bahwa orang Yahudi dan Arab bisa hidup damai berdampingan. Imigran Yahudi dapat memperkenalkan peradaban barat yang modern pada penduduk asli. Dengan begitu, etnis Arab akan menerima para pendatang dengan tangan terbuka. Epstein menegaskan, etnis Yahudi tidak boleh menyerobot tanah yang sudah diduduki penduduk asli. Pemukiman kaum pendatang harus dibangun di tempat-tempat yang masih kosong.
Yithzak Epstein menyampaikan gagasannya dalam sebuah pidato didepan Kongres Zionis sedunia di Basel-Swiss tahun 1905. Dalam pidatonya, Epstein menyebutkan bahwa pencaplokan tanah hanya akan menimbulkan konflik berdarah. Dia menawarkan konsep tentang etnis Arab dan Yahudi hidup berdampingan dalam sebuah negara Israel. Naskah pidato menggemparkan tersebut dimuat dengan judul “A Hidden Question” di jurnal “Hashiloah” pada tahun 1907. Sayangnya, gagasan Epstein kalah populer dengan ide negara Yahudi Theodore Herzl. Saat itu, para pemimpin Yahudi memilih mengikuti konsep “negara Yahudi untuk orang Yahudi”. Akibatnya, konflik berdarah mendera tanpa henti selama lebih dari 60 tahun.
Sulitnya Perjanjian Damai
Sudah puluhan ribu nyawa melayang sia-sia karena sengketa di “tanah perjanjian”. Selama puluhan tahun, orang Israel dan Palestina saling membunuh berebut lahan. Perundingan perdamaian baru dirintis awal 90-an. Pada 1993, Yitzhak Rabin dan Yasser Arafat menyepakati perjanjian Oslo. Dalam kesepakatan tersebut, Arafat mengakui hak Israel untuk eksis sebagai negara. Sebaliknya, Rabin setuju untuk secara bertahap mundur dari wilayah Palestina. Sayangnya, perjanjian damai tersebut dinodai pembunuhan terhadap Rabin oleh pemuda Yahudi garis keras bernama Yigal Amir.
Pembunuhan Yitzhak Rabin membuat usaha perundingan damai menjadi terganggu. Baru pada tahun 2000, Ehud Barak dan Yasser Arafat bertemu di Camp David untuk berunding. Walaupun tidak ada kesepakatan tertulis yang ditandatangani, namun perundingan tersebut adalah kemajuan yang menggembirakan. Sebagai kelanjutan, Barak dan Arafat bertemu lagi di Taba-Mesir pada Januari 2001 untuk merundingkan pembagian wilayah yang disengketakan. Sayangnya, tidak sempat terjadi kesepakatan. Ehud Barak habis masa jabatannya dan digantikan Ariel Sharon pada tanggal 7 Februari 2001. Selanjutnya, ada usulan peta damai dari Uni Eropa, Rusia, PBB dan Amerika Serikat pada tahun 2002. Usulan tersebut tidak menghasilkan apapun. Selain itu, Saudi Arabia juga pernah mensponsori pertemuan Israel-Palestina di Beirut pada 2002 dan di Riyadh pada 2007. Keduanya juga belum sukses mewujudkan perdamaian.
Pokok masalah penghambat perdamaian Israel-Palestina adalah golongan ektrimis dari kedua pihak. Kelompok garis keras Israel masih kuat pengaruhnya di pemerintahan, begitu pula dengan kelompok ekstrim Palestina yang memilih jalan teror ketimbang perundingan damai. Kekerasan dibalas dengan kekerasan, pembunuhan dibalas dengan pembunuhan sehingga menjadi lingkaran setan yang susah diputus.
Perdamaian belum terwujud. Puluhan ribu nyawa sudah melayang. Ratusan ribu, bahkan mungkin jutaan hidup dalam ancaman kehilangan harta benda, nyawa dan keluarga. Tidak hanya orang Palestina, orang Israel pun selalu was-was setiap saat. Mengapa sudah hampir 63 tahun konflik dengan Palestina belum selesai? Senjata, ekonomi dan politik sudah dipakai sebagai alat tetapi teror masih terjadi. Jangan-jangan ada yang salah dengan cara Israel mengurus masalah Palestina, atau lebih parah lagi, jangan-jangan Israel tidak paham inti permasalahan Palestina ini.
Sebagian golongan memelintir konflik Israel-Palestina sebagai perang Yahudi melawan Islam. Pokok masalahnya sebenarnya adalah sengketa tanah dengan kekerasan. Inilah inti masalah yang sudah diperingatkan oleh Yithzak Epstein lebih dari seratus tahun sebelumnya. Kalau saja Israel memahaminya maka sudah pasti jalan damai yang diambil. Dengan pendekatan damai, tidak perlu ada puluhan ribu korban kehilangan nyawa karena sengketa tanah berkepanjangan. Seandainya gagasan Epstein yang diterima (dan bukannya pemikiran Herzl), maka merpati perdamaian tidak akan terkapar sekarat di Tepi Barat, seperti yang sedang terjadi sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar