Selasa, 20 November 2012

Sirkus Media Soal Cartagena



Oleh: Alit Amarta Adi
dimuat di harian Banjarmasin Post 11 Agustus 2011

Berita tertangkapnya M.Nazarudin di Cartagena Kolombia sukses menyita perhatian media dan masyarakat. Isu wacana sesat logika pembubaran KPK, masuknya figur-figur dengan latar belakang tidak meyakinkan pada seleksi pimpinan KPK dan kasus surat palsu di MK tenggelam oleh sensasi tersebut. Media berlomba mengangkatnya dalam berbagai kemasan liputan seperti wawancara, talk show, dan lain-lain. Apakah ini fenomena kelatahan media ataukah pengalihan isu yang disengaja?

Kisah Pelarian (yang di) Dramatis (sasi?)
Kisah pelarian Nazarudin memang luar biasa. Sejak 23 Mei 2011 berhasil kabur ke Singapura dan menimbulkan pertanyaan besar: mengapa seseorang yang sedang tersangkut isu penyalahgunaan jabatan tidak segera dimasukkan daftar cekal?  Seolah berhasil mengelabui imigrasi, ia dicitrakan sebagai pelarian yang licin. Baru keesokan harinya KPK memintakan pencekalan untuk mencegah Nazarudin kabur keluar negeri, sebuah tindakan yang terlambat ataukah sengaja diperlambat?.
Media sempat memberitakan pertemuan sejumlah politisi dengan Nazarudin di Singapura pada 3 Juni 2011. Selanjutnya pada 16 Juni 2011, OC. Kaligis mengaku bertemu dengannya disebuah kantor pengacara di Singapura. Dalam dua minggu sejumlah orang sukses menemui Nazarudin. Penegak hukum seolah “kalah” dengan segelintir perorangan soal menemukan buronan yang satu ini.
Menteri Hukum dan HAM, Patrialis Akbar pada 20 Juni 2011 sempat menyebut Nazarudin telah meninggalkan Singapura. Selanjutnya ia sempat terpantau di Vietnam dan Malaysia. Pertengahan Juli, pakar telematika Roy Suryo menyebutkan Nazarudin sedang berada di Amerika Latin. Lagi-lagi hal tersebut dikupas habis-habisan oleh media. Sadar atau tidak sadar, Nazarudin dicitrakan bak pelarian yang lihai berpindah-pindah melintasi batas negara dan bahkan benua tanpa tertangkap. Mirip dengan penokohan agen rahasia dalam film-film Hollywood bukan?
Klimaksnya, pada 7 Agustus 2011 Nazarudin diberitakan tertangkap di Cartagena Kolombia. “Petualangan” dua setengah bulan melintasi benua dan samudera itu pun berakhir. Walaupun demikian, masih tersisa pertanyaan-pertanyaan yang mengganjal. Mengapa penegak hukum tidak memerintahkan pembekuan aset Nazarudin untuk mempersempit ruang geraknya? Adakah pihak yang membantu pelarian tersebut? Mengapa seakan-akan begitu mudahnya Nazarudin ditangkap di Kolombia?

Extravaganza Cartagena
Heboh media soal tertangkapnya Nazarudin di Cartagena bukanlah babak akhir drama. Episode baru “sirkus media” baru akan dimulai saat kepulangan Nazarudin ke Indonesia. Saat itu dijamin mengubur isu-isu yang lebih penting seperti kelanjutan proses hukum surat palsu di MK, upaya-upaya pelemahan KPK melalui “pemasangan” figur-figur dengan latar belakang tidak jelas dijajaran pimpinan, penyusupan politikus-politikus kepanjangan tangan parpol kedalam lembaga-lembaga peradilan, KPU dan lembaga-lembaga negara lainnya.
Pemenang Nobel bidang ilmu sosial, Amartya Sen menyatakan bahwa media berperan penting dalam mencegah korupsi, kesembronoan keuangan (financial irresponsibility) dan kolusi (underhanded dealings). Dengan kata lain, media bertugas sebagai pengawas kondisi sosial demi kepentingan umum. Dalam konteks perjuangan melawan korupsi, peran media sebagai penyedia informasi mengenai kinerja dan perilaku penegak hukum serta politisi menjadi sangat vital.
Kecenderungan terjebak dalam jurnalisme a la tabloid rupanya masih belum hilang dari media. Tidak salah menyoroti “topik panas” seperti “tertangkapnya buronan di Cartagena”. Akan tetapi, membungkusnya sebagai suatu extravaganza (show besar-besaran) dan menepikan kasus-kasus yang lebih membutuhkan “pengawalan”/ sorotan media, tidak ubahnya seperti menggelar “sirkus media”. Terakhir, semoga dagelan episode Cartagena ini bukan “isu pesanan” untuk mengalihkan perhatian publik dari isu-isu krusial lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar