Selasa, 20 November 2012

Non Proliferation Treaty: Traktat yang Cacat



dimuat di harian Analisa Medan 6 Juni 2011
Oleh: Alit Amarta Adi.
Pernyataan Menteri Luar Negeri Iran, Ramin Mehmanparast bahwa negaranya bersedia berunding dengan lima anggota Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa plus Jerman (G5+1) menyangkut program nuklirnya menimbulkan beragam tanggapan. Rusia menyambut gembira hal tersebut tetapi pesimisme tentang hasil perundingan masih sulit dihilangkan. Negosiasi antara Iran dan G5+1 sudah berlangsung sejak 6 Desember 2010 di Geneva-Swiss. Sejauh ini, pertemuan-pertemuan tersebut tidak menghasilkan hal yang menggembirakan.
Krisis Nuklir Iran
Masalah program nuklir Iran bukanlah hal baru. Krisis sudah terjadi sejak September 2002 saat para teknisi Rusia mulai membangun reaktor nuklir Iran di Bushehr. Hal tersebut membuat resah dunia internasional. Badan tenaga atom internasional/ International Atomic Energy Agency (IAEA) meminta Iran membuktikan bahwa program nuklirnya bukan untuk kepentingan militer. Menanggapi seruan IAEA, pada November 2003 Iran setuju menghentikan sementara program nuklirnya. Selain itu, Iran akan mengijinkan para inspektur IAEA memeriksa reaktor nuklirnya. Setelah serangkaian kunjungan tanpa hasil memuaskan, pada Juni 2004 IAEA menilai Iran tidak beritikad baik dalam pemeriksaan fasilitas nuklirnya.
Krisis nuklir memanas pada Agustus 2005 ketika Iran melanjutkan konversi Uranium di Isfahan. IAEA menyatakan bahwa Iran telah melanggar Traktat Pembatasan Senjata Nuklir/ Non-Proliferation Treaty (NPT). Iran menolak tuduhan tersebut sambil bersikukuh bahwa program nuklirnya semata-mata untuk tujuan damai dan tidak bertentangan dengan NPT. Lebih lanjut, Iran membuka segel IAEA di fasilitas riset nuklirnya di Natanz pada Januari 2006. Akibatnya, pada Februari 2006 IAEA melaporkan Iran kepada Dewan Keamanan (DK) PBB. Pada tanggal 31 Agustus 2006, DK PBB memberikan deadline enam bulan pada Iran untuk menghentikan sementara program nuklirnya. Deadline tersebut tidak digubris oleh Iran. Sampai dengan akhir Februari 2007, Iran terus melakukan pengayaan Uranium.
Krisis nuklir Iran yang berlarut-larut membuat dunia internasional mengambil jalan lain. Pada Juni 2008, Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, Javier Solana menawarkan imbalan dagang kepada Iran supaya bersedia kembali berunding. Sampai dengan Agustus 2008, tawaran tersebut diacuhkan oleh Iran. DK PBB bereaksi pada September 2008 dengan mengeluarkan resolusi yang memerintahkan Iran menghentikan pengayaan Uranium. Sayangnya, resolusi tersebut tidak disertai sanksi karena Rusia menolak sanksi tambahan pada Iran.
Memasuki September 2009, Iran mengakui telah membangun fasilitas pengayaan Uranium di dekat wilayah Qom. Lagi-lagi Iran bersikeras bahwa fasilitas tersebut untuk tujuan damai. Selanjutnya pada Oktober 2009, lima anggota tetap DK PBB dan Jerman menawarkan Iran untuk melakukan pengayaan Uranium diluar negeri. Tawaran tersebut ditolak oleh Iran pada November 2009, buntutnya IAEA mengeluarkan resolusi yang mengutuk Iran karena diam-diam membangun reaktor nuklir tambahan.
Setelah mediasi dengan Brazil dan Turki pada Mei 2010, Iran setuju melakukan pengayaan Uranium diluar negeri. Walaupun demikian, dunia internasional terlanjur menilai Iran tidak serius. DK PBB menjatuhkan sanksi tambahan pada Juni 2010. Sanksi tersebut meliputi sanksi keuangan dan embargo senjata yang diperberat. Setelah tarik ulur selama kurang lebih delapan tahun, akhirnya pada Desember 2010 di Geneva, Iran setuju kembali berunding. Perundingan tersebut dijadwalkan di Istanbul pada Januari 2011. Sampai saat ini, belum ada tanda-tanda krisis nuklir Iran akan berhenti.
Non Proliferation Treaty
Inti permasalahan dari krisis nuklir Iran sebenarnya terletak pada Traktat Pembatasan Senjata Nuklir/ Non Proliferation Treaty (NPT). NPT mulai diberlakukan sejak tanggal 5 Maret 1970. Awalnya, negara-negara penyusun hanya akan memberlakukan NPT selama 25 (dua puluh lima) tahun saja. Dalam perkembangannya, pada konferensi New York tanggal 11 Mei 2005, mereka sepakat memberlakukan NPT tanpa batas waktu. Terdapat 3 (tiga) pilar utama dalam Traktat tersebut. Pertama, komitmen tidak menyebarkan senjata nuklir. Kedua, komitmen pelucutan senjata nuklir. Ketiga, hak menggunakan tekhnologi nuklir untuk tujuan damai.
Sekilas NPT adalah perjanjian internasional dengan tujuan mulia, yaitu mencegah penyebaran senjata nuklir. Masalahnya, NPT dibuat ‘setengah hati’. Pasal II NPT melarang setiap negara non-nuklir mengembangkan senjata nuklir tetapi membiarkan negara-negara nuklir (AS, Inggris, Prancis, Rusia, RRC) tidak tersentuh. Memang Pasal I NPT melarang negara-negara nuklir mentransfer teknologi senjata nuklirnya pada negara-negara lain, namun hal tersebut hanya melanggengkan “status quo” saja.
Tidak bisa dipungkiri bahwa NPT adalah aturan hukum hasil negosiasi politik negara-negara penyusunnya. Tarik-ulur kepentingan dan kompromi menghasilkan “traktat yang cacat”. Jadi tidak mengherankan jika rumusan pasal-pasalnya sangat fleksibel dan multi tafisr, terutama Pasal IV poin 1 menyangkut hak mengembangkan teknologi nuklir untuk tujuan damai. Tidak ada kriteria dan batasan yang jelas tentang teknologi nuklir damai dan teknologi nuklir militer.
Cacat paling fatal dalam NPT adalah menyangkut daya ikat dan penegakannya. Seperti halnya perjanjian internasional lain, NPT hanya berlaku mengikat pada negara yang menandatanganinya. Negara-negara yang menolak menandatangi NPT tidak dapat dipaksa tunduk karena akan bertentangan dengan kedaulatan negara tersebut. Contohnya; India, Israel dan Pakistan adalah negara-negara yang mampu membuat senjata nuklir namun bukan anggota NPT. Soal penegakannya, tidak ada ketentuan sanksi yang tegas jika negara anggota melanggar, atau bahkan menarik diri dari NPT. Bukankah ketika Korea Utara melakukannya pada tanggal 10 Januari 2003 tidak ada yang dapat berbuat apa-apa?
Kesimpulannya, krisis nuklir Iran berlarut-larut karena aturan hukum yang bermasalah. Jika instrumen hukumnya malfungsi maka ‘perilaku liar’ lah yang timbul. Jadi tidak mengherankan jika muncul negara-negara bandel (rogue nations). Bukankah semuanya karena ‘Traktat yang cacat’ semacam NPT?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar