Selasa, 20 November 2012

Tanpa Ekstradisi Deportasi pun Jadi



Oleh: Alit Amarta Adi.
dimuat di harian Banjarmasin Post 28 Mei 2011

Pencabutan paspor Nunun Nurbaeti oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia patut diacungi jempol. Tersangka kasus dugaan suap pemilihan Deputi Senior Bank Indonesia tersebut kini sedang buron. Diduga, Nunun sedang bersembunyi di Singapura. Negara kecil di selat Malaka tersebut memang tidak mempunyai kerja sama ekstradisi dengan Indonesia. Hal itulah yang membuat Singapura menjadi tujuan pelarian para kriminal kelas kakap dari negeri kita. Seakan-akan tempat tersebut telah menjadi bunker bagi buronan kerah putih.

Memburu Buronan diluar Negeri
Dalam praktiknya, ada beberapa cara untuk menangkap tersangka atau pelaku kejahatan yang lari keluar negeri. Pertama, dengan penculikan. Cara ini memiliki tingkat kesulitan, kerumitan dan risiko yang sangat tinggi. Selain itu, operasi penculikan di wilayah negara asing jelas melanggar kedaulatan dan hukum internasional. Kegagalan otomatis merusak hubungan diplomatik dengan negara tersebut dan mengundang kecaman dunia internasional. Personil yang tertangkap akan dijatuhi hukuman berat oleh negara setempat. Bagi Indonesia, cara ini bukan pilihan logis.
Kedua, dengan ekstradisi. Istilah ‘ekstradisi’ berasal dari bahasa latin ‘extradere’ yang terdiri dari kata ‘ex’ yang berarti ‘keluar’ dan kata ‘tradere’ yang bermakna ‘memberikan’/ ‘menyerahkan’. Dalam Black’s Law Dictionary disebutkan bahwa; ekstradisi adalah penyerahan secara resmi seorang tersangka kriminal oleh suatu negara kepada negara lain yang berwenang mengadili. Ada empat hal yang menjadi dasar permintaan ekstradisi oleh suatu negara, antara lain; perundang-undangan nasional, perjanjian ekstradisi (baik bilateral maupun multi lateral), perluasan konvensi internasional (Konvensi Pemberantasan Perdagangan Wanita dan Anak-Anak 1921, Konvensi Pemberantasan Pemalsuan Uang 1929), dan tata krama internasional. Perundang-undangan nasional dibatasi oleh yurisdiksi, artinya tidak mengikat negara asing untuk menyerahkan pelaku kejahatan. Tata krama internasional pun hanya mengikat sebagai ‘moral internasional’ dan tidak mengikat secara hukum. Perluasan konvensi internasional hanya berlaku untuk bidang tertentu dan pada negara-negara yang menandatanganinya. Jadi diantara keempat dasar ekstradisi, perjanjian ekstradisi lah yang paling kuat daya ikatnya. Dengan kata lain, tanpa adanya perjanjian ekstradisi, maka negara tempat buronan bersembunyi tidak wajib menyerahkannya pada negara yang sedang mencarinya. Hal inilah yang sedang terjadi diantara Indonesia dan Singapura. Jadi, Singapura tidak terikat kewajiban menyerahkan pelarian kriminal dari Indonesia.
Ketiga, dengan pencabutan atau penarikan paspor. Paspor adalah dokumen yang dikeluarkan oleh suatu negara kepada warga negaranya untuk melakukan perjalanan keluar negeri. Dokumen tersebut berlaku untuk jangka waktu tertentu. Di Amerika Serikat, penarikan paspor (passport revocation) dilakukan jika perolehannya tidak sah (tipuan, suap, pemalsuan, dsb); kesalahan dalam pengeluaran paspor; dan naturalisasi kewarganegaraan yang dibatalkan oleh pengadilan federal. Dalam kasus Nunun, berdasarkan Pasal 31 ayat (1) UU No. 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian, menteri atau pejabat imigrasi yang ditunjuk berwenang melakukan penarikan atau pencabutan paspor. Lebih lanjut dalam ayat (3) diatur bahwa penarikan tersebut didasarkan tindak pidana atau pelanggaran peraturan perundang-undangan atau karena pemegangnya masuk daftar pencegahan (daftar cekal). Dalam penjelasan Pasal 31 disebutkan bahwa ketentuan tersebut juga berlaku bagi orang yang disangka, baik yang sedang berada didalam maupun diluar negeri.

Deportasi
Black’s Law Dictionary mengartikan deportasi sebagai “suatu tindakan memindahkan seseorang ke negara lain”, misalnya pada pengusiran orang asing dari suatu negara. Salah satu sebab pengusiran/ deportasi adalah pelanggaran keimigrasian. Menyangkut kasus Nunun, pencabutan atau penarikan membuat paspor menjadi tidak berlaku. Dengan begitu, Nunun tidak bisa sembarangan pergi dari Singapura.
Berdasarkan Pasal 8 ayat 3 huruf ‘m’ Undang-Undang Imigrasi Singapura; setiap orang yang tidak dapat menunjukkan dokumen perjalanan yang sah (diantaranya paspor) digolongkan sebagai imigran terlarang. Kemudian dalam Pasal 15 ayat 1 diatur bahwa seseorang yang termasuk imigran gelap tidak boleh tetap berada di wilayah Singapura. Selanjutnya, menurut Pasal 32 ayat 1 dan Pasal 35, setiap orang yang terbukti sebagai pendatang gelap akan dipindahkan (diusir) dari Singapura. Aparat Singapura berwenang menahan orang yang diduga sebagai pelanggar undang-undang Imigrasi sebelum akhirnya mengusirnya (mendeportasinya).
Undang-undang Imigrasi Singapura termasuk aturan hukum yang sangat ketat mengatur prosedur keluar-masuk dan soal ijin tinggal. Sangat sulit untuk mengakali hukum imigrasi disana, bahkan jika Nunun memutuskan bersembunyi sebagai pendatang ilegal sekalipun. Kepolisian dan aparat imigrasi setempat akan memburunya. Belum lagi jika pemerintah Indonesia akhirnya meminta bantuan Interpol, Nunun akan semakin terjepit.
Penarikan paspor adalah terobosan penting dalam menangkap kriminal yang lari ke negara-negara tanpa perjanjian ekstradisi dengan Indonesia. Kedepan, para pelarian dari Indonesia tidak akan dengan nyaman bersembunyi di Singapura. Perlahan tapi pasti bunker buronan tersebut mulai dibongkar. Akhirnya, walaupun tanpa perjanjian ekstradisi, mekanisme deportasi pun jadi. 

1 komentar:

  1. How to play a coin casino with Bitcoin - Casinoowed
    Coin casinos aren't scams because you're playing for 코인카지노 코드 real money or a special offer. You can use any cryptocurrency to play games at coin casino without losing your

    BalasHapus