Selasa, 20 November 2012

Menggeret TNI Membasmi Teroris



Oleh: Alit Amarta Adi
dimuat di harian Analisa Medan 8 Agustus 2011

Wacana untuk melibatkan TNI dalam menanggulangi terorisme akhir-akhir ini menghangat. Bermula dari anjuran Menko Polhukam Djoko Suyanto dan Ketua Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansyaad Mbai. Anjuran tersebut mendapat tanggapan yang bernuansa kehati-hatian. Wakil Ketua Komisi I DPR, TB Hasanuddin menilai hal tersebut perlu dikaji kembali secara seksama. Senada dengan Hasanuddin, Direktur Eksekutif Imparsial, Poengky Indarti menekankan pentingnya payung hukum resmi untuk mengatur keterlibatan TNI dalam pemberantasan terorisme.
Pertanyaannya, bagaimana sebenarnya regulasi yang ada mengenai tugas dan fungsi TNI dalam konteks penanggulangan terorisme? Apakah peraturan-peraturan yang ada sudah memadai? Jika belum, lalu hal apa saja yang menjadi masukan penyusunan undang-undang pelengkap?

TNI dalam Kontra-Terorisme
Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan perlindungan segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia sebagai salah satu tujuan negara. Sebagai hukum tertinggi negara, amanat konstitusi tersebut dijabarkan dalam peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatnya. Ketetapan MPR No. VII/MPR/2000 mencatat bahwa TNI adalah alat negara untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah dan melindungi bangsa dan negara dari ancaman serta gangguan disintegrasi (Pasal 2). Walaupun kini tidak lagi termasuk peraturan perundang-undangan namun Tap MPR tersebut memuat politik hukum dan cetak biru UU No. 34 Tahun 2004 Tentang TNI.
Sebagai alat utama negara dibidang pertahanan, TNI berfungsi sebagai penangkal dan penindak setiap bentuk ancaman militer dan ancaman bersenjata terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah serta keselamatan bangsa baik dari luar atau dalam negeri (Pasal 6 ayat (1) UU TNI). Dalam menjalankan fungsinya, TNI juga melakukan operasi militer selain perang. Operasi tersebut antara lain bertujuan mengatasi aksi terorisme dan membantu Polri dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam UU (Pasal 7 ayat (2) huruf b). Ketentuan inilah yang agaknya menjadi dasar anjuran Menko Polkam dan Ketua BNPT.
Perdebatan mulai timbul terkait dengan klausul Pasal 7 ayat (3) UU TNI. Rumusan ayat tersebut berbunyi “ Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara”. Dalam penjelasannya, hanya dicantumkan frasa “cukup jelas” mengenai aturan tersebut. Tidak dijabarkan apa yang dimaksud dengan “kebijakan dan keputusan politik negara”. Jadi, produk hukum atau dokumen apa yang memuat hal tersebut?
Puncak perdebatan ada pada ketentuan Pasal 20 ayat (2) menyangkut penggunaan kekuatan TNI. Ayat tersebut berbunyi “Penggunaan kekuatan TNI dalam rangka melaksanakan operasi militer selain perang, dilakukan untuk kepentingan pertahanan negara dan/atau dalam rangka mendukung kepentingan nasional sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Klausul inilah yang tampaknya digunakan oleh Poengky Indarti ketika menyebut pelibatan TNI dalam penanggulangan terorisme sebagai ilegal. Disatu sisi, sangat penting untuk membuat payung hukum yang mengatur hal tersebut. Disisi lain, ketika undang-undangnya belum ada dan terjadi kondisi dimana Polri membutuhkan dukungan TNI maka Presiden boleh menggunakan Perpu sebagai dasar hukum bertindak. Penting digarisbawahi bahwa hal tersebut bukan alasan bagi pemerintah dan DPR untuk berlama-lama membentuk undang-undang yang dimaksud.
Dalam Tap No.VII/MPR/2000 dicantumkan bahwa TNI memberikan bantuan pada Polri dalam rangka tugas keamanan atas permintaan yang diatur dalam undang-undang (Pasal 4 ayat (2)). Dalam konteks pemberantasan terorisme, keterlibatan TNI tidaklah serta merta melainkan baru boleh dilakukan setelah ada permintaan dari Polri. Lagi-lagi undang-undang yang mengatur hal tersebut belum ada. Singkatnya, instrumen hukum yang ada belum memadai.

Mereka-reka Kerangka Perbantuan TNI
Ada beberapa hal yang harus dipikirkan terkait undang-undang mengenai pelibatan TNI dalam upaya kontra-terorisme. Pertama, bagaimanakah bentuk keterlibatan TNI? Apakah beroperasi tersendiri ataukah dalam suatu komando gabungan bersama Polri? Jika dalam komando gabungan maka pihak manakah yang memegang komando? Akankah personil level akar rumput di TNI cukup legowo untuk dipimpin oleh personil Polri? Seberapa kompak personil keduanya dilapangan?  Mari berharap rivalitas dan konflik personil TNI dengan Polri tidak kembali meruncing.
Kedua, keadaan-keadaan apa saja yang harus melibatkan TNI dan apa saja kriterianya? Sebagai contoh, TNI lebih berpengalaman dan kompeten menangangi pembajakan pesawat, kapal atau penyanderaan pejabat tinggi. Sedangkan Polri lebih kompeten menangani ancaman bom dan penggerebekan.
Tidak kalah penting, tingkat ancaman teror juga perlu dijadikan pertimbangan. Dalam konteks kondisi sekarang, Polri masih mampu menangani masalah terorisme. Prestasi Densus 88 dalam memburu dan membongkar jaringan teroris layak diacungi jempol. Tewasnya Dr. Azhari dan Noordin M. Top serta penangkapan anggota sel-sel teroris dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan pelibatan TNI belum diperlukan. Walaupun demikian, tidak menutup kemungkinan TNI akan dilibatkan ketika timbul kegentingan yang memaksa atau krisis keamanan yang parah. Di Meksiko, tentara dikerahkan untuk melawan geng-geng pengedar narkoba; di Rusia, pasukan komado dikerahkan dalam krisis penyanderaan gedung teater di Moskow pada 2002; dan di India, militer dikerahkan untuk mengatasi krisis penyanderaan di Mumbai tahun 2008.
Kesimpulannya, penting untuk membentuk undang-undang yang mengatur soal pelibatan TNI dalam penanggulangan terorisme. Aturan main yang jelas menjamin kepastian dan perlindungan hukum. Selain itu juga mementahkan kekuatiran bangkitnya kembali “sepak terjang” militer seperti dimasa Orde Baru. Dengan begitu publik tak akan ragu merestui pemerintah untuk  menggeret TNI membasmi teroris.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar