Selasa, 20 November 2012

Resensi Buku Negara Demokrasi Konstitusional Praktik dan Pengalaman di 21 Negara



Oleh: Alit Amarta Adi.
dimuat di majalah Konstitusi September 2012.
  
Kesan pertama yang dapat ditangkap dari buku ini adalah terobosan baru. Terobosan baru di bidang hukum tata negara yang disarikan dari praktik empirik pelaksanaan demokrasi konstitusional di 21 negara. Desain sampul yang luks dengan logo dan gambar gedung Mahkamah Konstitusi R.I, gambar 21 bendera negara yang ditata dengan apik; ditambah fakta bahwa buku ini disusun oleh Tim dari MKRI semakin menumbuhkan harapan bahwa buku ini membawa pemutakhiran teori ketatanegaraan melalui penyari patian praktik-praktik di beberapa negara menjadi suatu teori baru.
Pada Bab Pendahuluan, digambarkan dengan sangat runtut tentang kaitan demokrasi, nomokrasi, check and balances, kepentingan publik dan tujuan negara kesejahteraan. Masing-masing dikupas dengan rinci. Misalnya, tidak hanya dipaparkan mengenai sisi positif demokrasi namun juga tentang kelemahan-kelemahannya. Kemudian juga soal kesenjangan kaitan antara demokrasi dengan kesejahteraan umum. Pemaparan dalam Bab Pendahuluan ini diikuti dengan referensi-referensi pendukung seperti pendapat para pakar yang terangkum dalam kepustakaan. Singkatnya, keilmiahan tampak semakin menguat dalam pembahasan Bab Pendahuluan ini.
Memasuki Bab I tentang Mekanisme Saling Mengawasi dan Mengimbangi Antar Lembaga Negara (Checks and Balances) mulai terjadi perubahan gaya penulisan. Di Bab ini tidak lagi ditemukan referensi pendapat ahli untuk mendukung pernyataan yang dimuat. Selain itu, sub-bab Studi Kasus ternyata tidak memuat pengalaman-pengalaman seperti halnya kasus Marbury v Madison tetapi hanya mendeskripsikan kerangka umum tugas dan kewenangan lembaga pengawal konstitusi di beberapa negara. Dalam studi kasus tersebut, Kolombia, Timor Leste, Azerbaijan, Meksiko, Tajikistan, Malaysia dan Turki dipilih sebagai contoh. Walaupun demikian, tidak dijelaskan alasan pemilihan negara-negara tersebut. Lebih lanjut, kriteria-kriteria yang dipakai sebagai pisau analisis untuk membandingkan negara-negara tersebut juga tidak jelas.
Bab II memuat tentang Demokratisasi Proses Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Setelah pemaparan pengantar singkat tentang proses pembentukan peraturan perundang-undangan, pembahasan langsung menuju pada praktik proses pembentukan perundang-undangan di beberapa negara. Pada bab ini, Timor Leste, Indonesia, Lithuania, Filipina, Maroko, dan Thailand dipilih sebagai bahan kajian. Seperti halnya pada Bab I, alasan pemilihan dan kriteria-kriteria pembanding juga tidak jelas. Selain itu, terjadi kesenjangan pemaparan. Proses pembentukan peraturan perundang-undangan Timor Leste, Indonesia, Lithuania dan Thailand dijelaskan dengan cukup baik namun tidak demikian halnya dengan Filipina dan Maroko yang hanya dijelaskan dengan masing-masing satu paragraf.
Pada Bab III tentang Peran Mahkamah Konstitusi dan Institusi Sejenisnya dalam Memperkuat Prinsip-Prinsip Demokrasi, masih ditemukan pendapat Huntington dan Mahfud MD sebagai referensi pendukung. Namun timbul pertanyaan mengapa referensi tersebut tidak tercantum pada daftar pustaka. Pada kutipan pendapat Mahfud MD tertera tahun 2008 sedangkan dalam daftar pustaka dimuat referensi tahun 2007. Dalam bab ini, diambil tiga belas negara sebagai bahan pembahasan, yaitu Kazakhstan, Mongolia, Kolombia, Jerman, Indonesia, Korea, Lithuania, Chili, Spanyol, Uzbekistan, Thailand, Austria dan Ukraina. Kembali alasan pemilihan dan kriteria-kriteria pembanding tidak dijelaskan.
Di Bab IV mengenai Negara Demokrasi Konstitusional: Praktik di Beberapa Negara, ketidak konsistenan penulisan referensi terulang lagi. Pada awal bab dikutip referensi Miriam Budihardjo dengan tahun 2008 sedangkan pada daftar pustaka tercantum tahun 1998. Pada bab terakhir ini dipaparkan pengalaman dua puluh satu negara dalam mengawal konstitusi dan demokrasi. Masih sama dengan bab-bab sebelumnya, tidak dijelaskan alasan pemilihan dan kriteria-kriteria pembanding yang digunakan.
Dilema
            Disatu sisi, buku ini begitu menjanjikan baik dari kesan pertama yang dipancarkan maupun pemaparan ilmiah yang ditampilkan dalam Bab Pendahuluan. Disisi lain, begitu memasuki bab-bab selanjutnya timbul kebingungan. Apakah buku ini dimaksudkan sebagai buku referensi ilmiah/ akademis atau sebagai buku layanan masyarakat yang lebih bersifat populer? Jika dimaksudkan untuk tujuan pertama, ada beberapa hal yang menjadi kekurangan. Pertama, bobot ilmiah yang demikian mengagumkan pada Bab Pendahuluan tidak diikuti pada bab-bab selanjutnya. Kedua, selain fakta bahwa negara-negara yang dibahas adalah peserta Seminar Internasional Negara Demokrasi Konstitusional, tidak ada alasan lain dalam pemilihan negara-negara tersebut. Selain itu, kriteria-kriteria pembanding yang seharusnya dipakai sebagai pisau analisis tidak tampak. Hal tersebut terlihat dari kesenjangan pembahasan diantara negara-negara yang dijadikan perbandingan. Suatu negara dijelaskan panjang lebar namun negara lainnya dijelaskan secara singkat. Akibatnya, buku ini lebih terlihat sebagai kompilasi dan bukannya perbandingan (komparasi). Ketiga, terjadi pengulangan-pengulangan baik kalimat maupun paragraf. Misalnya, halaman 4 baris 18-22 diulang pada halaman 5 baris 20-23; halaman 4 baris 24-26 sampai halaman 5 baris 5 diulang pada halaman 7 baris 2-14. Demikian juga dengan muatan Bab 4 yang sebagian besar adalah penulisan ulang yang sama persis dengan beberapa bagian Bab I dan bab III. Keempat, kesalahan teknis penulisan seperti yang dapat ditemukan pada halaman 2 baris 7 “mlakukan” dan hilangnya titik diantara dua kalimat pada halaman 3 baris 24-25 terasa mengurangi kenikmatan membaca buku ini. Kesalahan teknis tersebut juga terjadi di halaman 14, 27, 29, 35, 38, 42, 70, 78 dan 92. Tidak lupa pada halaman 56 baris 9 pada frasa “Izinkanlah saya menjelaskan...” yang terkesan seperti narasi yang lolos dari pengeditan. Patut disayangkan, buku ini terkesan seperti memindahkan isi proseding seminar daripada sebuah hasil riset yang seksama.
            Terlepas dari kekurangan-kekurangan yang ada, buku “Negara Demokrasi Konstitusional Praktik dan Pengalaman di 21 Negara” ini tidak terlalu sulit untuk dipahami pembaca, baik penikmat buku ketatanegaraan tingkat pemula, siswa sekolah, guru, mahasiswa tahun pertama ataupun masyarakat awam. Setiap sub-bab disajikan secara lugas dan tidak bertele-tele. Dengan balutan sampul yang luks dan desain yang apik tentunya buku ini dapat menjadi sarana edukasi yang populer untuk mendukung penyebaran ide konstitusionalisme. Selain itu, buku ini juga dapat menjadi sarana layanan masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang Mahkamah Konstitusi, jaminan perlindungan hak-hak warga negara dan negara hukum. Akhirnya, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, buku ini telah menjadi pengaya bagi khazanah kepustakaan dibidang ketatanegaraan.


Judul  Buku                    : Negara Demokrasi Konstitusional Praktik dan Pengalaman di 21
                                        Negara.
Penanggung Jawab         : Noor Sidharta.
Penerbit                         : Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Cetakan                         : Pertama, April 2012.
Tebal                              :xxxv + 104 hlm; 15 x 21 cm.


Mahkamah Agung: Independensi Minus Transparansi



Oleh: Alit Amarta Adi.

Polemik seputar transparansi anggaran ditubuh Mahkamah Agung (M.A) sedang menghangat. Polemik tersebut berawal dari otokritik Hakim Agung Gayus Lumbuun yang menyatakan bahwa anggaran M.A cenderung dijatahkan untuk memanjakan para petingginya. Jika hal tersebut benar adanya maka citra M.A akan semakin terpuruk setelah skandal bebasnya bos pabrik narkoba beberapa waktu yang lalu. Selain itu, rendahnya kepercayaan masyarakat juga menjadi “pekerjaan rumah” yang harus diselesaikan.
Berdasarkan Pasal 24 UUD 1945, M.A adalah salah satu badan yang memegang kekuasaan kehakiman untuk menegakkan hukum dan keadilan. Jadi, M.A seharusnya tidak semata-mata menegakkan hukum (yang kadang mengandung banyak celah dan tidak sempurna) tetapi juga keadilan. Artinya, M.A tidak boleh hanya menjalankan hukum sesuai prosedur undang-undang; apalagi berlindung dibalik ketidaksempurnaan aturan hukum.
Selanjutnya dalam Pasal 24A ayat (2) disebutkan bahwa hakim agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman dibidang hukum. Dalam konteks membangun badan peradilan yang bersih, rumusan tersebut seharusnya dimaknai sebagai tuntutan integritas tanpa cela bagi seluruh personil M.A. Jadi bukan hanya hakim agung saja yang harus mempunyai integritas tanpa cela tetapi juga panitera, sekretaris M.A dan semua pegawai sampai tingkat terbawah.
Untuk membentuk badan peradilan yang mandiri sesuai amanat Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, dalam Pasal 81A UU No. 5 Tahun 2004 diatur bahwa anggaran M.A dibebankan tersendiri dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Selain itu, berdasarkan Pasal 13 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman diatur bahwa Organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Artinya, dalam hal keuangan M.A tidak akan tersandera oleh badan lain. Dengan begitu, diharapkan M.A akan menjadi badan peradilan yang bebas merdeka dari campur tangan pihak luar. Sayangnya, kemandirian atau independensi keuangan M.A tidak diimbangi dengan tuntutan transparansi dan pertanggung jelasan (akuntabilitas) yang memadai.
Imam Anshori Saleh, Wakil Ketua Komisi Yudisial R.I dalam makalah berjudul “Transparansi dan Akuntabilitas Kekuasaan Kehakiman di Indonesia” menyatakan bahwa independensi tanpa transparansi dan akuntabilitas akan berpotensi memunculkan penyalahgunaan kekuasaan baru atau tirani peradilan. Lebih lanjut menurut Imam, independensi hakim harus diimbangi  dengan akuntabilitas dan transparansi. Pandangan tersebut senada dengan Dakolias, Maria dan Kim Tachuk seperti dikutip Sandra Elena, dkk dalam “Global Best Practices: Income AND Asset Disclosure Requirements for Judges- Lessons Learned from Eastern Europe and Latin America”. Menurut mereka, independensi dan akuntabilitas peradilan adalah dua sisi pada satu koin. Dalam kaitannya dengan polemik transparansi anggaran M.A, selayaknya bukan hanya hakim tetapi seluruh personil dan bahkan M.A sebagai badan peradilan harus transparan dan akuntabel untuk mengimbangi independensi yang disandangnya.

Akuntabilitas dan Transparansi
J.G Koppell sebagaimana dikutip oleh Stein Kristiansen, dkk dalam “Public Sector Reforms and Financial Transparency: Experiences from Indonesian Districts” berpendapat bahwa pada dasarnya akuntabilitas menunjuk bagi seseorang atas kinerja yang diharapkan darinya. Akuntabilitas menimbulkan kewajiban untuk melaksanakan dan tanggung jawab untuk menuntaskan. Selain itu, akuntabilitas juga menimbulkan transparansi/ keterbukaan dan keterkendalian/ controllability. Dalam konteks membangun badan peradilan yang independen dan bersih, M.A dituntut terbuka pada masyarakat, baik lewat pemeriksaan rutin eksternal maupun penyelidikan. Dengan begitu, tuntutan akuntabilitas soal keuangan diperkuat dengan transparansi. Lagipula, menurut K. Barata & P. Cain seperti dikutip oleh Kristiansen, idealnya setiap informasi soal penggunaan kekayaan negara (baik dulu, sekarang maupun dimasa mendatang) harus dibuka untuk masyarakat umum.
Andrew Lawson & Lise Rakner dalam “Understanding Patterns of Accountability in Tanzania”, menyebutkan bahwa ada dua jenis akuntabilitas. Pertama, akuntabilitas vertikal, yaitu cara pertanggungjelasan dari negara dan badan-badan pelaksananya kepada pihak bukan negara (masyarakat, perwakilan politik). Akuntabilitas vertikal berwujud akuntabilitas pemilu dimana rakyat menitipkan kekuasaan pada para wakilnya dan berhak atas pertanggungjelasan dari mereka; dan akuntabilitas kemasyarakatan dimana media dan LSM mewakili masyarakat mengawasi jalannya pemerintahan. Kedua, akuntabilitas horizontal, yaitu cara kontrol diantara lembaga-lembaga negara. Misalnya, saling mengawasi antara parlemen, pemerintah dan badan peradilan; pengawasan oleh lembaga negara independen seperti KPK, Ombudsman, Komnas HAM, dll.
Dalam konteks Indonesia, keuangan M.A diawasi setidaknya oleh pemerintah dan DPR melalui BPK, dan KPK jika ada tanda-tanda penyelewengan. Walaupun demikian, M.A seharusnya tidak melupakan akuntabilitas vertikal kepada masyarakat. Rakyat sebagai pembayar pajak tentunya berhak tahu dan dipermudah mendapatkan informasi mengenai keuangan M.A yang bersumber dari APBN. Namun sampai sekarang, belum ada tindakan konkret dari M.A untuk terbuka pada publik soal anggaran dan keuangannya. Sepertinya mentalitas birokrasi tertutup warisan Orde Baru masih kental ditubuh badan peradilan tersebut. Sudah bukan jamannya lagi menutup-nutupi keuangan lembaga publik. Apalagi berlindung dibalik dalih ketiadaan aturan atau ketidakjelasan mekanisme hukum. Mahkamah Agung sudah menikmati independensi keuangan. Kini saatnya para akademisi, masyarakat dan media menagih transparansi dan akuntabilitas keuangan M.A. Cukup sudah independensi minus transparansi seperti yang terjadi selama ini.

BUMN dan Partai "Chupacabra"



Oleh: Alit Amarta Adi.

Chupacabra adalah binatang liar yang kerap menyerang dan menghisap darah ternak dalam cerita desas desus di Puerto Rico. Faktanya menurut ahli Biologi Barry O’Connor, Chupacabra hanyalah anjing liar yang terinfeksi kudis parah dan memangsa ternak untuk bertahan hidup. Cerita soal Chupacabra itu mengingatkan kita pada berita Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dijadikan sapi perah oleh oknum partai politik. Berita tersebut menghangat setelah Menteri BUMN Dahlan Iskan melarang seluruh Direksi BUMN untuk menolak permintaan “upeti” dari pihak manapun, termasuk partai politik. Larangan Dahlan tersebut adalah tindak lanjut dari Surat Edaran Sekretariat Kabinet Nomor 542 tanggal 28 September 2012.
Kisruh soal BUMN yang dijadikan sapi perah oleh oknum-oknum tertentu sebenarnya bukan cerita baru. Revrisond Baswir dalam tulisannya yang berjudul “Ekonomi Kerakyatan: Ekonomi Rakyat dan Koperasi Sebagai Sokoguru Perekonomian Nasional” mencatat bahwa pengelolaan BUMN selama ini (sejak masa Orde Baru) didominasi oleh pejabat pemerintah pusat. Dominasi para pejabat pemerintah ini tidak hanya berakibat pada buruknya kualitas pelayanan BUMN, tetapi terutama berdampak pada berubah (nya) BUMN menjadi objek sapi perah para penguasa. Lebih lanjut menurut Revrisond, dengan latar belakang seperti itu, alih-alih tumbuh menjadi badan usaha meringankan beban keuangan negara, BUMN justru hadir sebagai badan usaha yang menggerogoti keuangan negara.
Cita-cita menyehatkan BUMN sesungguhnya telah diamanatkan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. IV/MPR/1999. Dalam Bab IV Arah Kebijakan Ekonomi poin 12 tertulis “Menata Badan Usaha Milik Negara secara efisien, transparan, dan profesional terutama yang usahanya berkaitan dengan kepentingan umum yang bergerak dalam penyediaan fasilitas publik, industri pertahanan dan keamanan, pengelolaan aset strategis, dan kegiatan usaha lainnya yang tidak dilakukan oleh swasta dan koperasi”. Ringkasnya, ada tugas untuk membuat BUMN efisien, transparan dan profesional. Pengeluaran uang atau “upeti” adalah ongkos yang tidak perlu dan membuat BUMN menjadi tidak efisien. Mengutip Ayub & Hegstad, Mahmud Thoha dalam tulisan “Privatisasi di Inggris: Beberapa Pelajaran Bagi Negara-Negara Sedang Berkembang” menyebutkan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan BUMN tidak efisien adalah campur tangan politik. Campur tangan politik dicontohkan dalam penunjukan staf senior berdasarkan faktor politis dan bukannya karena pengalaman. Walaupun begitu, campur tangan politik juga bisa berwujud permintaan “upeti” oleh partai politik sebagai pengisi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

BUMN Untuk Kesejahteraan Rakyat
Dalam bagian “Menimbang” huruf b UU No. 19 Tahun 2003 Tentang BUMN disebutkan bahwa BUMN berperan penting untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Hal tersebut adalah pelaksanaan dari Pasal 33 UUD 1945 dimana negara melalui BUMN menguasai cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak (kepentingan masyarakat). Penguasaan tersebut dilakukan demi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pasal 33 tersebut sejatinya menjabarkan salah satu tujuan didirikannya Negara Republik Indonesia yaitu untuk memajukan kesejahteraan umum. Kesejahteraan umum adalah kesejahteraan rakyat banyak dan bukannya segelintir orang atau pengurus partai.
Lebih lanjut soal peran BUMN, Revrisond menyatakan bahwa “melalui pendirian Badan-badan Usaha Milik Negara (BUMN), yaitu untuk menyelenggarakan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, negara dapat terlibat secara langsung dalam penyelenggaraan berbagai kegiatan ekonomi tersebut. Tujuannya adalah untuk menjamin agar kemakmuran masyarakat senantiasa lebih diutamakan daripada kemakmuran orang seorang, dan agar tampuk produksi tidak jatuh ke tangan orang seorang, yang memungkinkan ditindasnya rakyat banyak oleh segelintir orang yang berkuasa”. Selain menjaga agar tampuk produksi yang penting tidak jatuh ketangan perorangan, penting pula menjaga supaya kekayaan BUMN tidak bocor ketangan kelompok tertentu.

BUMN Bukan Sapi Perah Partai
Dalam penelitian Maja Tjernstrom & Anna Katz, sampai tahun 2003 setidaknya di Albania, Andorra, Bosnia Herzegovina, Georgia, Jerman, Lithuania, Moldova, Niger, Rumania dan Rusia, partai politik dilarang menerima sumbangan dari perusahaan milik negara (BUMN). Sebagai perbandingan, Marcin Walecki dalam tulisannya “Money and Politics in Central and Eastern Europe” menyebutkan bahwa banyak negara di eropa tengah dan eropa timur yang melarang perusahaan yang sahamnya dimiliki negara untuk menyumbang partai politik. Selain itu, Karl-Heinz Nassmacher dalam “Party Funding in Continental Western Europe” mencatat bahwa Spanyol melarang pemberian sumbangan dari BUMN untuk partai. Selain itu, sejak 1995 di Prancis, partai politik dilarang menerima dana dari perusahaan-perusahaan sektor publik (BUMN).
Di Indonesia, berdasarkan Pasal 40 ayat (3) d UU No. 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik diatur bahwa Partai Politik dilarang : meminta atau menerima dana dari badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha milik desa atau dengan sebutan lainnya. Lebih lanjut dalam Pasal 48 ayat (5) ditentukan sanksi pidana penjara paling lama satu tahun dan denda dua kali lipat jumlah dana yang diterima bagi pengurus partai yang melanggar.
Terlepas dari lemahnya sanksi bagi oknum partai pemeras BUMN dan harus adanya pembuktian, sesungguhnya permintaan “upeti” dari BUMN untuk partai adalah tindakan kriminal. BUMN seharusnya menjadi alat menyejahterakan rakyat dan bukannya untuk memakmurkan partai. Jadi mari kita selamatkan BUMN dari hisapan partai “Chupacabra”.

Tiada Ampunan Lagi!


Oleh: Alit Amarta Adi.
dimuat di harian Analisa Medan 12 November 2012

Berita keterlibatan Meirika Franola dalam upaya penyelundupan narkoba menghentak banyak pihak. Franola adalah penerima grasi berupa pengurangan hukuman mati menjadi seumur hidup dalam kasus sindikat narkoba internasional. Grasi melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 35/G/2011 tanggal 26 September 2011 tersebut ternyata tidak membuat Franola bertobat. Dasar penjahat kambuhan, gembong narkoba itu kembali mencoba memasukkan barang haram lewat kaki tangannya.

Grasi dalam Hukum
Berdasarkan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi negara, grasi diatur dalam Bab III Tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara pada Pasal 14 ayat (1) yang berbunyi “Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung”. Tidak ada keterangan lebih lanjut soal ketentuan tersebut. Walaupun begitu, dapat disimpulkan bahwa hanya Presiden yang dapat memberikan grasi sedangkan Mahkamah Agung hanya berperan sebagai pemberi pertimbangan. Artinya, tidak ada akibat hukum jika Presiden tidak mengikuti pertimbangan tersebut.
Selanjutnya, grasi juga diatur dalam UU No. 22 Tahun 2002 Tentang Grasi dan UU UU No. 5 Tahun 2010. Berdasarkan Pasal 1 UU No. 22 Tahun 2002, grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden. Singkatnya, grasi adalah ampunan kepada orang yang seharusnya dihukum. Kemudian pada Pasal 2 ayat (2) UU No. 5 Tahun 2010 diatur bahwa putusan pemidanaan yang dapat dimintakan grasi adalah pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling rendah dua tahun. Dalam konteks kasus Franola, sesungguhnya dia sudah mendapatkan grasi tingkat tertinggi. Si pesakitan yang seharusnya meregang nyawa dihadapan regu tembak mendapat kesempatan kedua untuk bertobat dan kembali kejalan yang benar. Sungguh, inilah anugerah besar yang seharusnya dimanfaatkan sebaik-baiknya. Kenyataannya, ampunan besar tersebut dilecehkan dengan kembali mencoba menyelundupkan barang haram lewat kaki tangannya. Benar-benar terlalu!
Dalam “Exclusive Discretion: Presidential Purposes for Issuing Pardons”, Stephen P. Miller Jr memaparkan bahwa dijaman Yunani, seseorang yang ingin mendapatkan ampunan atas kejahatannya harus mengumpulkan enam ribu tanda tangan warga negara. Artinya, dia harus meyakinkan enam ribu warga negara (tidak termasuk budak) bahwa perbuatannya yang sudah diputus bersalah oleh pengadilan masih layak mendapatkan ampunan. Sungguh hal yang tidak mudah untuk memperoleh ampunan. Dalam konteks kasus Franola, akankah ada enam ribu warga negara Indonesia yang akan “memaafkan” seorang gembong narkoba? Ingat bahwa narkoba memperbudak orang lewat ketergantungan, merusak masa depan dan bahkan dapat mendatangkan maut!

Demi Kepentingan Umum dan Keadilan
Harvey C. Mansfield dalam “The Case for the Strong Executive” mengutip John Locke ketika menyatakan bahwa selain kekuasaan melaksanakan hukum, kepala negara juga mempunyai kekuasaan hak prerogatif, yaitu kekuasaan melaksanakan kepentingan umum. Dalam konteks Indonesia, salah satu hak prerogatif Presiden adalah memberikan grasi. Disini, pemberian grasi oleh Presiden idealnya demi melaksanakan kepentingan umum. Selanjutnya, menurut Margaret Colgate Love seperti dikutip Miller Jr., pemberian ampunan atau grasi sebenarnya dimaksudkan sebagai cara untuk menegakkan keadilan ketika semua upaya lain telah gagal. Jadi, ampunan atau grasi adalah “senjata pamungkas” yang diberikan kepada Presiden untuk menegakkan keadilan.
Ketika seorang penjahat mendapatkan ampunan dari hukuman mati menjadi seumur hidup tetapi kembali berbuat jahat maka sesungguhnya dia tidak layak menerima ampunan itu. Kathleen Dean Moore seperti dikutip oleh Miller Jr., menyatakan bahwa adalah tidak bermoral dan tidak adil memberikan ampunan pada orang yang tidak layak. Menurut Moore, ampunan seharusnya diberikan untuk mengoreksi ketidakadilan.
Kembali pada kasus Franola, dengan berusaha menyelundupkan narkoba maka gembong narkoba kambuhan itu telah merendahkan nilai grasi. Hal tersebut juga menjadi tamparan bagi Presiden sebagai pemberi grasi. Disini, seolah-olah Kepala Negara telah dipermainkan oleh seorang residivis. Tentunya Presiden tidak boleh tinggal diam. Keadilan harus ditegakkan. Presiden seharusnya mencabut kembali grasi yang telah diberikan dan Meirika Franola segera menjalani hukuman mati. Memang dalam UUD 1945 sebagai konstitusi, UU No. 22 Tahun 2002 dan UU No. 5 Tahun 2010 tidak diatur soal pencabutan grasi. Walaupun demikian, penting untuk diingat bahwa grasi adalah hak prerogatif Presiden. Hak prerogatif bertujuan melaksanakan kepentingan umum dan menegakkan keadilan ketika semua cara sudah gagal. Jadi, ketika aturan hukumnya tidak lengkap sedangkan kepentingan umum dan keadilan harus ditegakkan maka disitulah fungsi hak prerogatif tersebut. Masyarakat Indonesia berhak untuk hidup bebas dari narkoba. Hak inilah yang harus diemban oleh para petinggi negeri ini. Kita tidak boleh lupa bahwa salah satu tujuan didirikannya republik ini adalah untuk melindungi bangsa Indonesia dan segenap tumpah darah Indonesia.
Ketika grasi sebagai hak prerogatif disalahgunakan sehingga kepentingan bangsa untuk bebas dari narkoba terancam dan rasa keadilan masyarakat terusik; maka Presiden pun mempunyai hak prerogatif untuk mencabut kembali grasi tersebut. Jadi, kenapa tidak? kepentingan umum dan keadilan harus ditegakkan. Tiada ampunan lagi bagi penyalahguna grasi!

Menghindari Anarki Demokrasi



Oleh: Alit Amarta Adi.
dimuat di harian Analisa Medan 7 Desember 2011

Pernyataan Wakil Sekretaris Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Viva Yoga Mauladi soal revisi undang-undang Pemilu menarik untuk dicermati. Menurut Mauladi, Rancangan UU perubahan atas UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD semestinya ditujukan untuk memperkuat sistem kepartaian. Bukan untuk membunuh parpol kecil dan menghilangkan hak hidup parpol baru. Lebih lanjut Mauladi mengatakan bahwa peningkatan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) secara drastis, seperti yang diusulkan pemerintah dan parpol-parpol besar, justru akan membunuh parpol kecil. Bahkan, peningkatan ambang batas secara drastis dapat menghilangkan hak hidup parpol baru yang akan tumbuh. Sebelumnya Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum menyebutkan bahwa ambang batas parlemen 4 % merupakan jalan tengah.
Gugatan soal ambang batas parlemen sebenarnya bukan barang baru. Pada tahun 2009, Mahkamah Konstitusi menolak gugatan 11 parpol soal ambang batas parlemen 2,5 % yang ditetapkan Pasal 202 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2008. Parpol-parpol tersebut beralassan bahwa ambang batas parlemen 2,5 % bertentangan dengan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”.

Hak Asasi Universal dan Hak Privilege
Mauladi mengatakan peningkatan ambang batas parlemen secara drastis akan membunuh parpol kecil, menghilangkan hak hidup parpol baru yang akan tumbuh. Dengan demikian, seolah-olah bertentangan dengan jaminan kebebasan berserikat dalam Pasal 28 UUD 1945 (Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang). Alasan lain yang mungkin dipakai adalah jaminan partisipasi dalam pemerintahan dalam Pasal 28D ayat (3) UUD 1945.
Konsep kebebasan berserikat dan partisipasi dalam pemerintahan seringkali dianggap serupa, yaitu sama-sama merupakan hak asasi (hak dasar). Meskipun secara formal pengaturan soal keduanya sama-sama berada dalam Bab X A UUD 1945 yang berjudul “Hak Asasi Manusia” tetapi esensi keduanya sesungguhnya tidak sama persis. Kebebasan berserikat adalah hak asasi yang universal, artinya setiap orang dijamin haknya untuk membentuk atau bergabung dengan perkumpulan untuk mengekspresikan diri, memperjuangkan dan melindungi kepentingannya. Menurut Miriam Budihardjo, wujud pelaksanaan hak ini bukan hanya melalui parpol saja melainkan juga LSM, serikat buruh, persatuan profesi, himpunan kerukunan tani, dll. Samuel Issacharoff menyatakan bahwa hak berserikat tidak dapat dikurangi atau dibatasi dalam hal apapun kecuali jika mengancam demokrasi, kebebasan dan masyarakat.
Disisi lain, “Partisipasi dalam pemerintahan” adalah hak asasi yang bersifat istimewa (privilege). Artinya tidak semua orang bisa memperolehnya. Hanya orang-orang yang mempunyai kemampuan/ kompetensi saja yang pantas memperolehnya (meritocracy system). Kenyataannya, tidak semua orang  bisa menjadi pejabat negara (Presiden, Hakim Konstitusi, Hakim Agung, dll). Ada syarat-syarat khusus yang harus dipenuhi. Demikian juga untuk mewakili rakyat diparlemen (DPR, DPD, DPRD) ada syarat-syarat khusus yang harus dipenuhi seperti ambang batas parlemen. Singkatnya, dalam demokrasi perwakilan memang tidak semua orang bisa ikut serta menentukan kebijakan negara. Ada orang-orang atau kelompok tertentu yang dipilih mewakili rakyat diparlemen.

Menghindari Anarki Demokrasi
Giovanni Sartori sebagaimana sering dikutip oleh Riswandha Imawan membagi sistem kepartaian menjadi 7 yaitu: sistem kepartaian atom (atomized party system), pluralisme berkutub (polarized pluralism), pluralisme moderat (moderate pluralism), sistem dua partai (two party system), sistem partai pre-dominan (pre-dominant party system), sistem hegemoni (hegemonic party system) dan sistem partai tunggal (single party system). Indonesia masih berada diantara sistem atom dan pluralisme berkutub. Artinya, tingkat persaingan partai masih tinggi, adanya upaya membentuk koalisi, walaupun demikian pengambilan keputusan berlarut-larut karena terlalu banyak parpol.
Keinginan menetapkan ambang batas sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1999. Penetapan ambang batas pemilu (electoral threshold) 2 % dipertahankan sampai Pemilu 2004. Walaupun demikian, penyederhanaan sistem kepartaian belum terwujud. Karena itu berdasarkan Pasal 202 ayat (3) UU No. 19 tahun 2008, ditetapkan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) sebesar 2,5 % untuk Pemilu 2009. Walaupun demikian, berdasarkan Pasal 315 juncto Pasal 316, parpol-parpol peserta pemilu 2004 yang tidak mencapai 3 % kursi DPR tetap bisa mengikuti pemilu 2009. Singkatnya, sudah ada “dispensasi” bagi mereka. Pertanyaannya, layakkah terus menerus memberikan dispensasi pada partai yang rendah dukungan dari rakyat?
Terlalu banyak parpol tidak sehat bagi sistem Presidensiil yang dianut Indonesia. Scott Mainwaring mencatat bahwa sistem multi partai tidak cocok dengan sistem presidensiil. Tanpa dukungan mayoritas parlemen, pemerintahan sulit berjalan efektif. Dengan kata lain, Presiden “tersandera” untuk berkoalisi dan sulit membentuk kabinet yang solid karena harus mengangkat orang-orang “titipan” dari parpol-parpol sekutunya.
Sistem kepartaian atom dan pluralisme berkutub yang berjalan sekarang sudah saatnya diarahkan pada sistem pluralisme moderat (5-6 parpol saja). Dengan demikian roda pemerintahan akan lebih lancar karena koalisi parpol akan lebih sederhana dan ringkas. Kesepakatan politik lebih cepat dan mudah tercapai. Karena itu, cukup sudah memanjakan parpol-parpol kecil dengan ambang batas parlemen yang terlalu rendah. Ambang batas parlemen 4 % adalah hal yang lumrah dan perlu demi menghindari anarki demokrasi.

Sirkus Media Soal Cartagena



Oleh: Alit Amarta Adi
dimuat di harian Banjarmasin Post 11 Agustus 2011

Berita tertangkapnya M.Nazarudin di Cartagena Kolombia sukses menyita perhatian media dan masyarakat. Isu wacana sesat logika pembubaran KPK, masuknya figur-figur dengan latar belakang tidak meyakinkan pada seleksi pimpinan KPK dan kasus surat palsu di MK tenggelam oleh sensasi tersebut. Media berlomba mengangkatnya dalam berbagai kemasan liputan seperti wawancara, talk show, dan lain-lain. Apakah ini fenomena kelatahan media ataukah pengalihan isu yang disengaja?

Kisah Pelarian (yang di) Dramatis (sasi?)
Kisah pelarian Nazarudin memang luar biasa. Sejak 23 Mei 2011 berhasil kabur ke Singapura dan menimbulkan pertanyaan besar: mengapa seseorang yang sedang tersangkut isu penyalahgunaan jabatan tidak segera dimasukkan daftar cekal?  Seolah berhasil mengelabui imigrasi, ia dicitrakan sebagai pelarian yang licin. Baru keesokan harinya KPK memintakan pencekalan untuk mencegah Nazarudin kabur keluar negeri, sebuah tindakan yang terlambat ataukah sengaja diperlambat?.
Media sempat memberitakan pertemuan sejumlah politisi dengan Nazarudin di Singapura pada 3 Juni 2011. Selanjutnya pada 16 Juni 2011, OC. Kaligis mengaku bertemu dengannya disebuah kantor pengacara di Singapura. Dalam dua minggu sejumlah orang sukses menemui Nazarudin. Penegak hukum seolah “kalah” dengan segelintir perorangan soal menemukan buronan yang satu ini.
Menteri Hukum dan HAM, Patrialis Akbar pada 20 Juni 2011 sempat menyebut Nazarudin telah meninggalkan Singapura. Selanjutnya ia sempat terpantau di Vietnam dan Malaysia. Pertengahan Juli, pakar telematika Roy Suryo menyebutkan Nazarudin sedang berada di Amerika Latin. Lagi-lagi hal tersebut dikupas habis-habisan oleh media. Sadar atau tidak sadar, Nazarudin dicitrakan bak pelarian yang lihai berpindah-pindah melintasi batas negara dan bahkan benua tanpa tertangkap. Mirip dengan penokohan agen rahasia dalam film-film Hollywood bukan?
Klimaksnya, pada 7 Agustus 2011 Nazarudin diberitakan tertangkap di Cartagena Kolombia. “Petualangan” dua setengah bulan melintasi benua dan samudera itu pun berakhir. Walaupun demikian, masih tersisa pertanyaan-pertanyaan yang mengganjal. Mengapa penegak hukum tidak memerintahkan pembekuan aset Nazarudin untuk mempersempit ruang geraknya? Adakah pihak yang membantu pelarian tersebut? Mengapa seakan-akan begitu mudahnya Nazarudin ditangkap di Kolombia?

Extravaganza Cartagena
Heboh media soal tertangkapnya Nazarudin di Cartagena bukanlah babak akhir drama. Episode baru “sirkus media” baru akan dimulai saat kepulangan Nazarudin ke Indonesia. Saat itu dijamin mengubur isu-isu yang lebih penting seperti kelanjutan proses hukum surat palsu di MK, upaya-upaya pelemahan KPK melalui “pemasangan” figur-figur dengan latar belakang tidak jelas dijajaran pimpinan, penyusupan politikus-politikus kepanjangan tangan parpol kedalam lembaga-lembaga peradilan, KPU dan lembaga-lembaga negara lainnya.
Pemenang Nobel bidang ilmu sosial, Amartya Sen menyatakan bahwa media berperan penting dalam mencegah korupsi, kesembronoan keuangan (financial irresponsibility) dan kolusi (underhanded dealings). Dengan kata lain, media bertugas sebagai pengawas kondisi sosial demi kepentingan umum. Dalam konteks perjuangan melawan korupsi, peran media sebagai penyedia informasi mengenai kinerja dan perilaku penegak hukum serta politisi menjadi sangat vital.
Kecenderungan terjebak dalam jurnalisme a la tabloid rupanya masih belum hilang dari media. Tidak salah menyoroti “topik panas” seperti “tertangkapnya buronan di Cartagena”. Akan tetapi, membungkusnya sebagai suatu extravaganza (show besar-besaran) dan menepikan kasus-kasus yang lebih membutuhkan “pengawalan”/ sorotan media, tidak ubahnya seperti menggelar “sirkus media”. Terakhir, semoga dagelan episode Cartagena ini bukan “isu pesanan” untuk mengalihkan perhatian publik dari isu-isu krusial lainnya.

Rekonstruksi Lobi Gelap Politisi



Oleh: Alit Amarta Adi & Hifdzil Alim
dimuat di harian Jawa Pos 19 November 2011

Pernyataan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD soal dugaan jual beli pasal di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menarik untuk ditindak lanjuti. Bagi para para penggiat anti korupsi dan demokrasi, pernyataan tersebut bukanlah hal mengejutkan. Sebaliknya, para politisi Senayan kebakaran jenggot dan menuding Mahfud MD hanya mencari sensasi. Sensasi atau bukan, sudah menjadi rahasia umum bahwa DPR (yang diisi oleh orang-orang parpol) adalah lembaga bermasalah.
Masalah utama soal DPR adalah tidak ada transparansi dan akuntabilitas (pertanggung jawaban) yang layak dari para anggotanya. Seperti kita ketahui, para anggota DPR “disalurkan” oleh parpol. Dengan kata lain, semua orang yang ingin menjadi anggota DPR harus lewat parpol. Tentunya ada “uang masuk” dan “potongan-potongan” yang harus dibayar pada parpol. Sistem tersebut mirip dengan sistem outsourcing dalam dunia ketenagakerjaan. Singkatnya, mereka “tersandera” oleh parpol.
Rendahnya transparansi dan akuntabilitas orang-orang yang dipasok parpol ke DPR nyata-nyata terlihat dari soal keuangan. Jarang diketahui masyarakat berapa kekayaan seorang anggota DPR sebelum dan sesudah menjabat. Hampir tidak pernah diumumkan secara luas aliran arus dana parpol secara berkala. Dalam UU No. 2 Tahun 2011 juncto UU No. 2 Tahun 2008 pengaturan dan tuntutan transparansi-akuntabilitas keuangan parpol terlalu longgar, kabur dan terkesan asal-asalan. Tidak ada standar yang rinci soal bentuk laporan keuangan, tidak ada tuntutan pelaporan berkala pendek (misalnya 3 bulanan) pada Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan masyarakat. Hal yang paling fatal adalah lemahnya sanksi. Sanksi yang hanya berupa teguran tidak akan mampu memaksa parpol lebih transparan dan akuntabel pada masyarakat.
Aturan yang sengaja dibuat longgar tentunya memudahkan jual beli pasal. Keuangan parpol yang sengaja dirancang samar dan tidak transparan sudah pasti memudahkan aliran dana haram ditubuh parpol. Model pelaporan laporan keuangan yang terlalu longgar juga memberikan kebebasan luar biasa pada parpol untuk bertindak semau gue. Disisi lain, masyarakat yang seharusnya menjadi tuan bagi parpol tidak dipermudah untuk mengawasi. Bagaimana masyarakat bisa yakin bahwa parpol akan memperjuangkan kepentingannya dan tidak lebih menuruti “aspirasi” pihak-pihak lain ketika membuat suatu undang-undang?
Sudah hal yang umum bahwa pembuatan undang-undang tidak lepas dari lobby-lobby politik dan tarik ulur kepentingan. Terlalu naif kalau kita  menganggap bahwa tarik ulur kepentingan tersebut hanya terjadi diantara parpol saja. Selain parpol, ada yang dinamakan interest groups (kelompok-kelompok kepentingan). Menurut Ronald J. Hrebenar, kelompok kepentingan adalah  setiap asosiasi individu atau organisasi, baik diorganisasi secara formal atau tidak, yang berusaha mempengaruhi kebijakan publik. Singkatnya, kelompok kepentingan adalah siapapun yang mencoba mempengaruhi isi undang-undang. Kelompok kepentingan dapat dibagi menjadi kepentingan ideologis, kepentingan kebijakan dan kepentingan ekonomi. Dilihat dari bentuknya, kelompok kepentingan bisa bermacam-macam. Mereka bisa berupa kelompok sektarian yang berusaha menjadikan ideologinya sebagai ideologi negara, kelompok pejuang hak-hak gay dan lesbian, sindikat kriminal yang ingin mengendalikan aparat penegak hukum, dan yang paling berbahaya adalah perusahaan-perusahaan yang ingin memuluskan bisnisnya dengan “menyetir” isi undang-undang.
Secara umum, istilah lobby bisa diartikan usaha mempengaruhi. Terkait dugaan jual-beli pasal di DPR, menarik untuk mencermati pendapat Francesco Giovannoni. Menurut Giovannoni, lobby adalah kegiatan memburu rente (mencari keuntungan) yang ditujukan pada pembuat peraturan. Lebih lanjut, lobby bisa saja dilakukan dengan membayar suap pada politisi. Hal demikian sudah termasuk korupsi politik karena bisa mempengaruhi suatu kebijakan yang tadinya berpihak pada kepentingan umum menjadi berpihak pada kepentingan segelintir orang.
Hilangnya ayat yang berisi bahaya produk tembakau dalam UU Kesehatan dan batas usia maksimum hakim Mahkamah Agung (MA) yang mencapai 70 tahun dalam UU Mahkamah Agung hanyalah sebagian kecil dari UU bermasalah hasil buatan DPR. Hal-hal tersebut membuat pernyataan Mahfud MD soal jual-beli pasal di DPR menjadi semakin masuk akal. Tentunya hal tersebut tidak boleh dibiarkan begitu saja. Masyarakat, pejuang demokrasi dan para penggiat anti korupsi harus bersatu menuntut transparansi dan akuntabilitas DPR terutama dalam hal keuangan.
Jika ada transparansi aliran dana parpol, maka masyarakat akan lebih mudah mengawasi orang-orang parpol yang dipilihnya saat pemilu. Masyarakat akan mudah mengetahui siapa saja penyumbang besar yang mendanai parpol-parpol. Jadi jika suatu parpol getol memperjuangkan penurunan cukai tembakau rokok putih dan disaat yang sama menerima banyak uang dari industri tembakau asing, maka sudah pasti telah terjadi lobby gelap.
Hampir bisa dipastikan orang-orang parpol di DPR emoh menerapkan transparansi dan akuntabilitas keuangan karena akan merampas kenikmatan mereka. Walaupun begitu, Republik ini dibentuk bukan untuk memanjakan para politisi. Republik ini dibentuk untuk melindungi, mencerdaskan dan mensejahterakan rakyatnya. Selama lobby-lobby gelap terus dibiarkan maka bangsa Indonesia tidak akan menikmati janji kemerdekaan dalam Pembukaan UUD 1945. Jadi tunggu apa lagi? Sudah saatnya kita menyingkap lobby-lobby gelap.

Tanpa Ekstradisi Deportasi pun Jadi



Oleh: Alit Amarta Adi.
dimuat di harian Banjarmasin Post 28 Mei 2011

Pencabutan paspor Nunun Nurbaeti oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia patut diacungi jempol. Tersangka kasus dugaan suap pemilihan Deputi Senior Bank Indonesia tersebut kini sedang buron. Diduga, Nunun sedang bersembunyi di Singapura. Negara kecil di selat Malaka tersebut memang tidak mempunyai kerja sama ekstradisi dengan Indonesia. Hal itulah yang membuat Singapura menjadi tujuan pelarian para kriminal kelas kakap dari negeri kita. Seakan-akan tempat tersebut telah menjadi bunker bagi buronan kerah putih.

Memburu Buronan diluar Negeri
Dalam praktiknya, ada beberapa cara untuk menangkap tersangka atau pelaku kejahatan yang lari keluar negeri. Pertama, dengan penculikan. Cara ini memiliki tingkat kesulitan, kerumitan dan risiko yang sangat tinggi. Selain itu, operasi penculikan di wilayah negara asing jelas melanggar kedaulatan dan hukum internasional. Kegagalan otomatis merusak hubungan diplomatik dengan negara tersebut dan mengundang kecaman dunia internasional. Personil yang tertangkap akan dijatuhi hukuman berat oleh negara setempat. Bagi Indonesia, cara ini bukan pilihan logis.
Kedua, dengan ekstradisi. Istilah ‘ekstradisi’ berasal dari bahasa latin ‘extradere’ yang terdiri dari kata ‘ex’ yang berarti ‘keluar’ dan kata ‘tradere’ yang bermakna ‘memberikan’/ ‘menyerahkan’. Dalam Black’s Law Dictionary disebutkan bahwa; ekstradisi adalah penyerahan secara resmi seorang tersangka kriminal oleh suatu negara kepada negara lain yang berwenang mengadili. Ada empat hal yang menjadi dasar permintaan ekstradisi oleh suatu negara, antara lain; perundang-undangan nasional, perjanjian ekstradisi (baik bilateral maupun multi lateral), perluasan konvensi internasional (Konvensi Pemberantasan Perdagangan Wanita dan Anak-Anak 1921, Konvensi Pemberantasan Pemalsuan Uang 1929), dan tata krama internasional. Perundang-undangan nasional dibatasi oleh yurisdiksi, artinya tidak mengikat negara asing untuk menyerahkan pelaku kejahatan. Tata krama internasional pun hanya mengikat sebagai ‘moral internasional’ dan tidak mengikat secara hukum. Perluasan konvensi internasional hanya berlaku untuk bidang tertentu dan pada negara-negara yang menandatanganinya. Jadi diantara keempat dasar ekstradisi, perjanjian ekstradisi lah yang paling kuat daya ikatnya. Dengan kata lain, tanpa adanya perjanjian ekstradisi, maka negara tempat buronan bersembunyi tidak wajib menyerahkannya pada negara yang sedang mencarinya. Hal inilah yang sedang terjadi diantara Indonesia dan Singapura. Jadi, Singapura tidak terikat kewajiban menyerahkan pelarian kriminal dari Indonesia.
Ketiga, dengan pencabutan atau penarikan paspor. Paspor adalah dokumen yang dikeluarkan oleh suatu negara kepada warga negaranya untuk melakukan perjalanan keluar negeri. Dokumen tersebut berlaku untuk jangka waktu tertentu. Di Amerika Serikat, penarikan paspor (passport revocation) dilakukan jika perolehannya tidak sah (tipuan, suap, pemalsuan, dsb); kesalahan dalam pengeluaran paspor; dan naturalisasi kewarganegaraan yang dibatalkan oleh pengadilan federal. Dalam kasus Nunun, berdasarkan Pasal 31 ayat (1) UU No. 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian, menteri atau pejabat imigrasi yang ditunjuk berwenang melakukan penarikan atau pencabutan paspor. Lebih lanjut dalam ayat (3) diatur bahwa penarikan tersebut didasarkan tindak pidana atau pelanggaran peraturan perundang-undangan atau karena pemegangnya masuk daftar pencegahan (daftar cekal). Dalam penjelasan Pasal 31 disebutkan bahwa ketentuan tersebut juga berlaku bagi orang yang disangka, baik yang sedang berada didalam maupun diluar negeri.

Deportasi
Black’s Law Dictionary mengartikan deportasi sebagai “suatu tindakan memindahkan seseorang ke negara lain”, misalnya pada pengusiran orang asing dari suatu negara. Salah satu sebab pengusiran/ deportasi adalah pelanggaran keimigrasian. Menyangkut kasus Nunun, pencabutan atau penarikan membuat paspor menjadi tidak berlaku. Dengan begitu, Nunun tidak bisa sembarangan pergi dari Singapura.
Berdasarkan Pasal 8 ayat 3 huruf ‘m’ Undang-Undang Imigrasi Singapura; setiap orang yang tidak dapat menunjukkan dokumen perjalanan yang sah (diantaranya paspor) digolongkan sebagai imigran terlarang. Kemudian dalam Pasal 15 ayat 1 diatur bahwa seseorang yang termasuk imigran gelap tidak boleh tetap berada di wilayah Singapura. Selanjutnya, menurut Pasal 32 ayat 1 dan Pasal 35, setiap orang yang terbukti sebagai pendatang gelap akan dipindahkan (diusir) dari Singapura. Aparat Singapura berwenang menahan orang yang diduga sebagai pelanggar undang-undang Imigrasi sebelum akhirnya mengusirnya (mendeportasinya).
Undang-undang Imigrasi Singapura termasuk aturan hukum yang sangat ketat mengatur prosedur keluar-masuk dan soal ijin tinggal. Sangat sulit untuk mengakali hukum imigrasi disana, bahkan jika Nunun memutuskan bersembunyi sebagai pendatang ilegal sekalipun. Kepolisian dan aparat imigrasi setempat akan memburunya. Belum lagi jika pemerintah Indonesia akhirnya meminta bantuan Interpol, Nunun akan semakin terjepit.
Penarikan paspor adalah terobosan penting dalam menangkap kriminal yang lari ke negara-negara tanpa perjanjian ekstradisi dengan Indonesia. Kedepan, para pelarian dari Indonesia tidak akan dengan nyaman bersembunyi di Singapura. Perlahan tapi pasti bunker buronan tersebut mulai dibongkar. Akhirnya, walaupun tanpa perjanjian ekstradisi, mekanisme deportasi pun jadi. 

Menggeret TNI Membasmi Teroris



Oleh: Alit Amarta Adi
dimuat di harian Analisa Medan 8 Agustus 2011

Wacana untuk melibatkan TNI dalam menanggulangi terorisme akhir-akhir ini menghangat. Bermula dari anjuran Menko Polhukam Djoko Suyanto dan Ketua Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansyaad Mbai. Anjuran tersebut mendapat tanggapan yang bernuansa kehati-hatian. Wakil Ketua Komisi I DPR, TB Hasanuddin menilai hal tersebut perlu dikaji kembali secara seksama. Senada dengan Hasanuddin, Direktur Eksekutif Imparsial, Poengky Indarti menekankan pentingnya payung hukum resmi untuk mengatur keterlibatan TNI dalam pemberantasan terorisme.
Pertanyaannya, bagaimana sebenarnya regulasi yang ada mengenai tugas dan fungsi TNI dalam konteks penanggulangan terorisme? Apakah peraturan-peraturan yang ada sudah memadai? Jika belum, lalu hal apa saja yang menjadi masukan penyusunan undang-undang pelengkap?

TNI dalam Kontra-Terorisme
Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan perlindungan segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia sebagai salah satu tujuan negara. Sebagai hukum tertinggi negara, amanat konstitusi tersebut dijabarkan dalam peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatnya. Ketetapan MPR No. VII/MPR/2000 mencatat bahwa TNI adalah alat negara untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah dan melindungi bangsa dan negara dari ancaman serta gangguan disintegrasi (Pasal 2). Walaupun kini tidak lagi termasuk peraturan perundang-undangan namun Tap MPR tersebut memuat politik hukum dan cetak biru UU No. 34 Tahun 2004 Tentang TNI.
Sebagai alat utama negara dibidang pertahanan, TNI berfungsi sebagai penangkal dan penindak setiap bentuk ancaman militer dan ancaman bersenjata terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah serta keselamatan bangsa baik dari luar atau dalam negeri (Pasal 6 ayat (1) UU TNI). Dalam menjalankan fungsinya, TNI juga melakukan operasi militer selain perang. Operasi tersebut antara lain bertujuan mengatasi aksi terorisme dan membantu Polri dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam UU (Pasal 7 ayat (2) huruf b). Ketentuan inilah yang agaknya menjadi dasar anjuran Menko Polkam dan Ketua BNPT.
Perdebatan mulai timbul terkait dengan klausul Pasal 7 ayat (3) UU TNI. Rumusan ayat tersebut berbunyi “ Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara”. Dalam penjelasannya, hanya dicantumkan frasa “cukup jelas” mengenai aturan tersebut. Tidak dijabarkan apa yang dimaksud dengan “kebijakan dan keputusan politik negara”. Jadi, produk hukum atau dokumen apa yang memuat hal tersebut?
Puncak perdebatan ada pada ketentuan Pasal 20 ayat (2) menyangkut penggunaan kekuatan TNI. Ayat tersebut berbunyi “Penggunaan kekuatan TNI dalam rangka melaksanakan operasi militer selain perang, dilakukan untuk kepentingan pertahanan negara dan/atau dalam rangka mendukung kepentingan nasional sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Klausul inilah yang tampaknya digunakan oleh Poengky Indarti ketika menyebut pelibatan TNI dalam penanggulangan terorisme sebagai ilegal. Disatu sisi, sangat penting untuk membuat payung hukum yang mengatur hal tersebut. Disisi lain, ketika undang-undangnya belum ada dan terjadi kondisi dimana Polri membutuhkan dukungan TNI maka Presiden boleh menggunakan Perpu sebagai dasar hukum bertindak. Penting digarisbawahi bahwa hal tersebut bukan alasan bagi pemerintah dan DPR untuk berlama-lama membentuk undang-undang yang dimaksud.
Dalam Tap No.VII/MPR/2000 dicantumkan bahwa TNI memberikan bantuan pada Polri dalam rangka tugas keamanan atas permintaan yang diatur dalam undang-undang (Pasal 4 ayat (2)). Dalam konteks pemberantasan terorisme, keterlibatan TNI tidaklah serta merta melainkan baru boleh dilakukan setelah ada permintaan dari Polri. Lagi-lagi undang-undang yang mengatur hal tersebut belum ada. Singkatnya, instrumen hukum yang ada belum memadai.

Mereka-reka Kerangka Perbantuan TNI
Ada beberapa hal yang harus dipikirkan terkait undang-undang mengenai pelibatan TNI dalam upaya kontra-terorisme. Pertama, bagaimanakah bentuk keterlibatan TNI? Apakah beroperasi tersendiri ataukah dalam suatu komando gabungan bersama Polri? Jika dalam komando gabungan maka pihak manakah yang memegang komando? Akankah personil level akar rumput di TNI cukup legowo untuk dipimpin oleh personil Polri? Seberapa kompak personil keduanya dilapangan?  Mari berharap rivalitas dan konflik personil TNI dengan Polri tidak kembali meruncing.
Kedua, keadaan-keadaan apa saja yang harus melibatkan TNI dan apa saja kriterianya? Sebagai contoh, TNI lebih berpengalaman dan kompeten menangangi pembajakan pesawat, kapal atau penyanderaan pejabat tinggi. Sedangkan Polri lebih kompeten menangani ancaman bom dan penggerebekan.
Tidak kalah penting, tingkat ancaman teror juga perlu dijadikan pertimbangan. Dalam konteks kondisi sekarang, Polri masih mampu menangani masalah terorisme. Prestasi Densus 88 dalam memburu dan membongkar jaringan teroris layak diacungi jempol. Tewasnya Dr. Azhari dan Noordin M. Top serta penangkapan anggota sel-sel teroris dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan pelibatan TNI belum diperlukan. Walaupun demikian, tidak menutup kemungkinan TNI akan dilibatkan ketika timbul kegentingan yang memaksa atau krisis keamanan yang parah. Di Meksiko, tentara dikerahkan untuk melawan geng-geng pengedar narkoba; di Rusia, pasukan komado dikerahkan dalam krisis penyanderaan gedung teater di Moskow pada 2002; dan di India, militer dikerahkan untuk mengatasi krisis penyanderaan di Mumbai tahun 2008.
Kesimpulannya, penting untuk membentuk undang-undang yang mengatur soal pelibatan TNI dalam penanggulangan terorisme. Aturan main yang jelas menjamin kepastian dan perlindungan hukum. Selain itu juga mementahkan kekuatiran bangkitnya kembali “sepak terjang” militer seperti dimasa Orde Baru. Dengan begitu publik tak akan ragu merestui pemerintah untuk  menggeret TNI membasmi teroris.

Menjajal Electoral Recall



Oleh: Alit Amarta Adi.
dimuat di Harian Jurnal Nasional 19 Juli 2011

Sudah bosan kita membaca berita tentang wakil rakyat yang berperilaku seenak perutnya sendiri. Mulai dari hobi membolos, pelesir keluar negeri dengan dalih studi banding, membaca koran atau tidur dan bahkan nonton video porno saat sedang bersidang! Walaupun sudah sering disorot oleh media dan dikecam khalayak namun para anggota dewan tersebut tidak juga bertobat. Mereka cuek saja tanpa ada penyesalan.
Anggota DPR dan DPRD adalah wakil rakyat di parlemen. Mereka dipilih untuk mewakili rakyat. Dengan kata lain, ada amanat dari para pemilih (konstituen) yang harus diemban oleh anggota dewan. Amanat tersebut adalah untuk menjamin hak-hak rakyat sekaligus mengawasi kinerja pemerintah. Jadi ada tanggung jawab para anggota parlemen kepada konstituennya.
Permasalahannya, rakyat tidak bisa berbuat apa-apa jika para anggota dewan tersebut berperilaku tercela, tidak becus bekerja atau ingkar janji kampanye. Rakyat tidak bisa memecat atau melengserkan wakilnya di DPR maupun DPRD dengan alasan apapun. Kewenangan yang sering disebut “recall” tersebut berada ditangan partai politik.
Konsep Recall
Istilah “recall” sering disebut dengan “recall referendum”, “representative recall” dan juga “electoral recall”. Pada dasarnya, recall adalah cara bagi pemilih (voters) untuk memberhentikan seseorang yang dipilih menduduki jabatan. Sasaran recall adalah anggota parlemen dan pejabat eksekutif. Pemberhentian tersebut dilakukan dengan “referendum” (pemberian suara langsung).
Tahap pertama dalam melakukan recall adalah pengajuan petisi. Setiap warga negara yang mempunyai hak pilih boleh mengajukan petisi untuk melengserkan seorang pejabat. Jika petisi tersebut didukung tanda tangan dengan jumlah tertentu maka recall boleh diajukan. Tahap kedua adalah pelaksanaan referendum, disinilah penentuan nasib pejabat yang sedang menjadi sasaran.
Dalam praktiknya ada bermacam-macam model recall. Contoh paling menarik adalah model recall di Swiss. Di Swiss, recall tidak berlaku di tingkat negara federal namun berlaku di tingkat negara bagian (canton). Sebuah petisi recall harus didukung tanda tangan dalam persentase tertentu dari jumlah total pemilih. Negara bagian Schaffhausen mensyaratkan dukungan minimal 2% (dua persen) dari jumlah warga negara dengan hak pilih. Negara-negara bagian lain mensyaratkan batas minimal yang bervariasi.
Gagasan Electoral Recall untuk Indonesia
Untuk menerapkan recall di Indonesia maka sistem pemilu harus diubah. Wilayah pemilu harus dibagi menjadi distrik-distrik yang kecil. Dari setiap distrik diambil satu orang pemenang untuk menjadi anggota parlemen. Idealnya, suatu distrik pemilu adalah wilayah satu desa/ kelurahan. Hal tersebut memudahkan rakyat mengetahui dengan jelas siapa orang yang menjadi wakil mereka. Orang itulah yang harus bertanggung jawab kepada para pemilih di distrik tersebut. Keuntungan lainnya, rakyat lebih mengetahui kualitas dan integritas calon-calon wakilnya. Jadi tidak “membeli kucing dalam karung”, seperti yang selama ini terjadi.
Sebagai langkah awal, sistem pemilu di tingkat kabupaten/ kota harus diubah. Anggota DPRD dipilih melalui pemilu dengan sistem distrik. Cara pemilihannya bisa dengan “memilih parpol” seperti yang selama ini terjadi atau “memilih orang” yang dicalonkan partai. Jika “memilih parpol” maka partai pemenang wajib mengumumkan nama para anggota beserta distrik-distrik yang diwakilinya. Sebaliknya, sistem “memilih orang” lebih transparan dan akuntabel bagi para pemilih.
Para anggota parlemen yang terpilih lewat sistem distrik desa/ kelurahan tersebut tidak akan berani berulah macam-macam. “Siapa bertanggung jawab pada siapa” sangat jelas tergambar. Jika seorang anggota DPRD melakukan perbuatan tercela, berkinerja buruk atau ingkar janji kampanye maka para pemilih dari distrik yang diwakilinya boleh menggalang petisi untuk melakukan recall. Demi kesederhanaan proses dan supremasi kehendak rakyat, sebaiknya petisi yang didukung 5% pemilih sudah cukup untuk memulai referendum. Jumlah 50% + 1 suara yang menyetujui recall sudah cukup untuk melengserkan anggota DPRD tersebut. Anggota dewan yang diberhentikan digantikan oleh orang lain dari parpol yang sama.
Penggunaan electoral recall di tingkat nasional tentunya juga menjadi impian rakyat yang sudah muak dengan perilaku para anggota DPR. Sayangnya, gagasan tersebut sudah pasti akan ditentang habis-habisan oleh para politikus Senayan. Sudah pasti mereka tidak ingin kekuasaan dan kebebasannya digerus. Jika electoral recall diberlakukan maka para anggota dewan tersebut tidak bisa lagi pelesir keluar negeri sesuka hati. Mereka juga tidak leluasa membolos, tidur atau bahkan nonton video porno saat sidang. Konsekuensi paling berat adalah mereka harus menepati janji kampanye jika tidak ingin dilikuidasi oleh konstituennya.
Kedaulatan rakyat adalah hukum yang tertinggi. Hal tersebut dimuat dalam kalimat “Vox Populi Vox Dei” (suara Rakyat adalah suara Tuhan). Kedaulatan rakyat tersebut kemudian dititipkan kepada wakil-wakilnya di pemerintahan dan parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat. Jadi wajar jika rakyat harus punya cara mengontrol pihak-pihak yang diberi mandat menjalankan kedaulatannya.
Di Indonesia, kontrol rakyat terhadap para wakilnya hampir tidak ada. Hal tersebut membuat para anggota parlemen berperilaku liar. Demi menegakkan supremasi kedaulatan rakyat maka harus ada mekanisme kontrol yang sederhana tetapi efektif. Dengan electoral recall, rakyat dapat menaklukkan keliaran para anggota dewan dan mengendalikannya untuk bekerja dengan benar. Jadi mengapa kita tidak menjajal electoral recall?.