Selasa, 20 November 2012

Mahkamah Agung: Independensi Minus Transparansi



Oleh: Alit Amarta Adi.

Polemik seputar transparansi anggaran ditubuh Mahkamah Agung (M.A) sedang menghangat. Polemik tersebut berawal dari otokritik Hakim Agung Gayus Lumbuun yang menyatakan bahwa anggaran M.A cenderung dijatahkan untuk memanjakan para petingginya. Jika hal tersebut benar adanya maka citra M.A akan semakin terpuruk setelah skandal bebasnya bos pabrik narkoba beberapa waktu yang lalu. Selain itu, rendahnya kepercayaan masyarakat juga menjadi “pekerjaan rumah” yang harus diselesaikan.
Berdasarkan Pasal 24 UUD 1945, M.A adalah salah satu badan yang memegang kekuasaan kehakiman untuk menegakkan hukum dan keadilan. Jadi, M.A seharusnya tidak semata-mata menegakkan hukum (yang kadang mengandung banyak celah dan tidak sempurna) tetapi juga keadilan. Artinya, M.A tidak boleh hanya menjalankan hukum sesuai prosedur undang-undang; apalagi berlindung dibalik ketidaksempurnaan aturan hukum.
Selanjutnya dalam Pasal 24A ayat (2) disebutkan bahwa hakim agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman dibidang hukum. Dalam konteks membangun badan peradilan yang bersih, rumusan tersebut seharusnya dimaknai sebagai tuntutan integritas tanpa cela bagi seluruh personil M.A. Jadi bukan hanya hakim agung saja yang harus mempunyai integritas tanpa cela tetapi juga panitera, sekretaris M.A dan semua pegawai sampai tingkat terbawah.
Untuk membentuk badan peradilan yang mandiri sesuai amanat Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, dalam Pasal 81A UU No. 5 Tahun 2004 diatur bahwa anggaran M.A dibebankan tersendiri dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Selain itu, berdasarkan Pasal 13 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman diatur bahwa Organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Artinya, dalam hal keuangan M.A tidak akan tersandera oleh badan lain. Dengan begitu, diharapkan M.A akan menjadi badan peradilan yang bebas merdeka dari campur tangan pihak luar. Sayangnya, kemandirian atau independensi keuangan M.A tidak diimbangi dengan tuntutan transparansi dan pertanggung jelasan (akuntabilitas) yang memadai.
Imam Anshori Saleh, Wakil Ketua Komisi Yudisial R.I dalam makalah berjudul “Transparansi dan Akuntabilitas Kekuasaan Kehakiman di Indonesia” menyatakan bahwa independensi tanpa transparansi dan akuntabilitas akan berpotensi memunculkan penyalahgunaan kekuasaan baru atau tirani peradilan. Lebih lanjut menurut Imam, independensi hakim harus diimbangi  dengan akuntabilitas dan transparansi. Pandangan tersebut senada dengan Dakolias, Maria dan Kim Tachuk seperti dikutip Sandra Elena, dkk dalam “Global Best Practices: Income AND Asset Disclosure Requirements for Judges- Lessons Learned from Eastern Europe and Latin America”. Menurut mereka, independensi dan akuntabilitas peradilan adalah dua sisi pada satu koin. Dalam kaitannya dengan polemik transparansi anggaran M.A, selayaknya bukan hanya hakim tetapi seluruh personil dan bahkan M.A sebagai badan peradilan harus transparan dan akuntabel untuk mengimbangi independensi yang disandangnya.

Akuntabilitas dan Transparansi
J.G Koppell sebagaimana dikutip oleh Stein Kristiansen, dkk dalam “Public Sector Reforms and Financial Transparency: Experiences from Indonesian Districts” berpendapat bahwa pada dasarnya akuntabilitas menunjuk bagi seseorang atas kinerja yang diharapkan darinya. Akuntabilitas menimbulkan kewajiban untuk melaksanakan dan tanggung jawab untuk menuntaskan. Selain itu, akuntabilitas juga menimbulkan transparansi/ keterbukaan dan keterkendalian/ controllability. Dalam konteks membangun badan peradilan yang independen dan bersih, M.A dituntut terbuka pada masyarakat, baik lewat pemeriksaan rutin eksternal maupun penyelidikan. Dengan begitu, tuntutan akuntabilitas soal keuangan diperkuat dengan transparansi. Lagipula, menurut K. Barata & P. Cain seperti dikutip oleh Kristiansen, idealnya setiap informasi soal penggunaan kekayaan negara (baik dulu, sekarang maupun dimasa mendatang) harus dibuka untuk masyarakat umum.
Andrew Lawson & Lise Rakner dalam “Understanding Patterns of Accountability in Tanzania”, menyebutkan bahwa ada dua jenis akuntabilitas. Pertama, akuntabilitas vertikal, yaitu cara pertanggungjelasan dari negara dan badan-badan pelaksananya kepada pihak bukan negara (masyarakat, perwakilan politik). Akuntabilitas vertikal berwujud akuntabilitas pemilu dimana rakyat menitipkan kekuasaan pada para wakilnya dan berhak atas pertanggungjelasan dari mereka; dan akuntabilitas kemasyarakatan dimana media dan LSM mewakili masyarakat mengawasi jalannya pemerintahan. Kedua, akuntabilitas horizontal, yaitu cara kontrol diantara lembaga-lembaga negara. Misalnya, saling mengawasi antara parlemen, pemerintah dan badan peradilan; pengawasan oleh lembaga negara independen seperti KPK, Ombudsman, Komnas HAM, dll.
Dalam konteks Indonesia, keuangan M.A diawasi setidaknya oleh pemerintah dan DPR melalui BPK, dan KPK jika ada tanda-tanda penyelewengan. Walaupun demikian, M.A seharusnya tidak melupakan akuntabilitas vertikal kepada masyarakat. Rakyat sebagai pembayar pajak tentunya berhak tahu dan dipermudah mendapatkan informasi mengenai keuangan M.A yang bersumber dari APBN. Namun sampai sekarang, belum ada tindakan konkret dari M.A untuk terbuka pada publik soal anggaran dan keuangannya. Sepertinya mentalitas birokrasi tertutup warisan Orde Baru masih kental ditubuh badan peradilan tersebut. Sudah bukan jamannya lagi menutup-nutupi keuangan lembaga publik. Apalagi berlindung dibalik dalih ketiadaan aturan atau ketidakjelasan mekanisme hukum. Mahkamah Agung sudah menikmati independensi keuangan. Kini saatnya para akademisi, masyarakat dan media menagih transparansi dan akuntabilitas keuangan M.A. Cukup sudah independensi minus transparansi seperti yang terjadi selama ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar