Selasa, 20 November 2012

Mempertanyakan Hak Veto Presiden


Oleh: Alit Amarta Adi
dimuat di Harian Jurnal Nasional  27 April 2011

Rencana Amandemen Kelima Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 kembali bergulir. Salah satu isu utama dalam rencana amandemen tersebut menyangkut pemberian hak veto bagi Presiden. Dengan hak tersebut, Presiden dapat memveto (membatalkan) Rancangan Undang-Undang (RUU) yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) maupun Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Walaupun demikian, veto tersebut dapat dibatalkan jika disetujui oleh 2/3 (dua pertiga) anggota DPR dan 2/3 anggota DPD. Pemberian hak veto bagi Presiden seiring dengan wacana pencabutan fungsi legislasi yang dimiliki Presiden. Fungsi legislasi Presiden diatur dalam Pasal 20 ayat (2) UUD 1945. Dalam Pasal tersebut ditentukan bahwa Presiden melakukan pembahasan RUU bersama DPR dan memberikan persetujuan.
Trias Politica
Montesquieu dalam buku L’Esprit des Lois (The Spirit of Laws) mengatakan dalam suatu negara, terdapat tiga cabang kekuasaan. Cabang-cabang kekuasaan tersebut terdiri dari Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. Kekuasaan Eksekutif adalah kekuasaan untuk menjalankan undang-undang, termasuk menjalankan pemerintahan berdasarkan undang-undang (hukum); kekuasaan Legislatif adalah kekuasaan untuk membuat undang-undang; dan kekuasaan Yudikatif adalah kekuasaan untuk mengadili pelanggaran undang-undang. Untuk menghindari tirani maka ketiga cabang kekuasaan tersebut tidak boleh berada dalam satu tangan.
Dalam konteks Negara Republik Indonesia, cabang kekuasaan Eksekutif dijalankan oleh Presiden; cabang kekuasaan Legislatif dijalankan oleh DPR dan DPD; dan cabang kekuasaan Yudikatif dijalankan oleh Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Salah satu hal yang unik dalam sistem ketatanegaraan Indonesia adalah bahwa Presiden mempunyai dwifungsi, yaitu menjalankan fungsi Eksekutif dan fungsi Legislatif. Dalam praktik ketatanegaraan yang dilaksanakan oleh negara- negara didunia, fenomena Indonesia termasuk tidak lazim. Ketua MK RI, Moh. Mahfud MD dalam bukunya “Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi” menyatakan bahwa selain Indonesia hanya Puerto Rico yang Presidennya juga menjalankan fungsi legislatif.
Checks and Balances
Dalam tataran praktik, penting untuk menjaga supaya ketiga cabang kekuasaan negara tetap seimbang. Artinya, lembaga-lembaga pemegang cabang kekuasaan Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif harus tetap seimbang. Tidak boleh ada salah satu lembaga yang menjadi lebih kuat dari lembaga-lembaga yang lain. Jika salah satu lembaga tersebut menjadi lebih kuat dari lembaga-lembaga yang lain, maka bukan tidak mungkin akan membuatnya menyalahgunakan kekuasaannya. Untuk menjaga supaya lembaga-lembaga tersebut tetap seimbang maka dibuat mekanisme saling memeriksa dan mengimbangi (checks and balances).
Dalam konteks checks and balances, hak veto merupakan sarana bagi Presiden sebagai pemegang cabang kekuasaan Eksekutif untuk mengontrol Parlemen. Dengan hak veto, Presiden dapat membatalkan rancangan undang-undang yang dibuat oleh Parlemen. Sebagai contoh, dalam praktik ketatanegaraan Amerika Serikat, Presiden dapat memveto rancangan undang-undang (RUU) dari House of Repersentative (DPR) dan Senat (DPD). Veto Presiden tersebut tidak serta merta menggugurkan RUU. Terhadap veto Presiden, House of Representative dan Senat akan bersidang. Jika 2/3 (dua pertiga) anggota menolak maka Veto Presiden otomatis menjadi gugur dan RUU dapat disahkan menjadi undang- undang.
Sehubungan dengan rencana pemberian hak veto bagi Presiden dalam Amandemen kelima UUD 1945 timbul pertanyaan apakah Indonesia aka menerapkan model Amerika Serikat atau akan membuat model sendiri. Jika pilihannya adalah membuat model sendiri maka terdapat beberapa hal yang perlu dipikirkan. Pertama, dengan dicabutnya hak Presiden untuk melakukan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) bersama DPR dan memberikan persetujuan, apakah Parlemen dalam hal ini DPR dan DPD harus memberitahukan setiap RUU yang akan dibahas kepada Presiden?. Jika ‘Ya’ maka bagaimanakah dan kapan mekanisme pemberitahuan tersebut harus dilakukan?. Jika ‘Tidak’ maka akan menyulitkan Presiden melakukan pemantauan.
Kedua, apakah Presiden boleh menggunakan hak veto dengan bebas?. Jika ‘Ya’ maka dapat menimbulkan kesewenang- wenangan. Jika ‘Tidak’ maka alasan-alasan apa saja yang dapat menjadi dasar digunakannya hak veto oleh Presiden?. Sebaiknya, dalam Amandemen Kelima UUD 1945 diatur dengan tegas mengenai alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar penggunaan hak veto oleh Presiden. Mengutip pendapat Lord Acton; “Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely” (kekuasaan cenderung disalahgunakan, kekuasaan tanpa batas akan disalahgunakan tanpa batas pula).
Ketiga, apakah hak veto Presiden bersifat mutlak yaitu langsung menggugurkan Rancangan Undang-Undang (RUU) dari Parlemen?. Jika ‘Ya’ maka apakah RUU yang sama boleh diajukan kembali? Kapan dan apa saja syarat- syaratnya?. Jika ‘Tidak’ maka adakah mekanisme untuk menggugurkan veto Presiden terhadap RUU terkait? persetujuan berapa anggota Parlemen yang dibutuhkan untuk itu?.
Undang-Undang Dasar (UUD) merupakan hukum tertinggi negara yang memuat aturan-aturan main dalam penyelenggaraan negara. Amandemen terhadap UUD harus dilakukan dengan cermat karena menyangkut hajat hidup segenap bangsa Indonesia. Aturan yang cacat akan menimbulkan ketidakstabilan negara. Ketidakstabilan negara hanya akan menghambat terwujudnya perlindungan dan kesejahteraan segenap rakyat Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar