Oleh: Alit Amarta Adi.
dimuat di harian Analisa Medan 12 November 2012
Berita
keterlibatan Meirika Franola dalam upaya penyelundupan narkoba menghentak
banyak pihak. Franola adalah penerima grasi berupa pengurangan hukuman mati
menjadi seumur hidup dalam kasus sindikat narkoba internasional. Grasi melalui
Keputusan Presiden (Keppres) No. 35/G/2011 tanggal 26 September 2011 tersebut
ternyata tidak membuat Franola bertobat. Dasar penjahat kambuhan, gembong
narkoba itu kembali mencoba memasukkan barang haram lewat kaki tangannya.
Grasi
dalam Hukum
Berdasarkan UUD 1945 sebagai hukum
tertinggi negara, grasi diatur dalam Bab III Tentang Kekuasaan Pemerintahan
Negara pada Pasal 14 ayat (1) yang berbunyi “Presiden memberi grasi dan
rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung”. Tidak ada
keterangan lebih lanjut soal ketentuan tersebut. Walaupun begitu, dapat
disimpulkan bahwa hanya Presiden yang dapat memberikan grasi sedangkan Mahkamah
Agung hanya berperan sebagai pemberi pertimbangan. Artinya, tidak ada akibat
hukum jika Presiden tidak mengikuti pertimbangan tersebut.
Selanjutnya, grasi juga diatur dalam UU
No. 22 Tahun 2002 Tentang Grasi dan UU UU No. 5 Tahun 2010. Berdasarkan Pasal 1
UU No. 22 Tahun 2002, grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan,
pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang
diberikan oleh Presiden. Singkatnya, grasi adalah ampunan kepada orang yang
seharusnya dihukum. Kemudian pada Pasal 2 ayat (2) UU No. 5 Tahun 2010 diatur
bahwa putusan pemidanaan yang dapat dimintakan grasi adalah pidana mati, pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling rendah dua tahun. Dalam konteks
kasus Franola, sesungguhnya dia sudah mendapatkan grasi tingkat tertinggi. Si
pesakitan yang seharusnya meregang nyawa dihadapan regu tembak mendapat
kesempatan kedua untuk bertobat dan kembali kejalan yang benar. Sungguh, inilah
anugerah besar yang seharusnya dimanfaatkan sebaik-baiknya. Kenyataannya,
ampunan besar tersebut dilecehkan dengan kembali mencoba menyelundupkan barang
haram lewat kaki tangannya. Benar-benar terlalu!
Dalam “Exclusive Discretion:
Presidential Purposes for Issuing Pardons”, Stephen P. Miller Jr memaparkan bahwa dijaman Yunani, seseorang yang
ingin mendapatkan ampunan atas kejahatannya harus mengumpulkan enam ribu tanda
tangan warga negara. Artinya, dia harus meyakinkan enam ribu warga negara
(tidak termasuk budak) bahwa perbuatannya yang sudah diputus bersalah oleh
pengadilan masih layak mendapatkan ampunan. Sungguh hal yang tidak mudah untuk
memperoleh ampunan. Dalam konteks kasus Franola, akankah ada enam ribu warga
negara Indonesia yang akan “memaafkan” seorang gembong narkoba? Ingat bahwa
narkoba memperbudak orang lewat ketergantungan, merusak masa depan dan bahkan
dapat mendatangkan maut!
Demi
Kepentingan Umum dan Keadilan
Harvey C.
Mansfield dalam “The Case for the Strong
Executive” mengutip John Locke ketika menyatakan bahwa selain kekuasaan
melaksanakan hukum, kepala negara juga mempunyai kekuasaan hak prerogatif,
yaitu kekuasaan melaksanakan kepentingan umum. Dalam konteks Indonesia, salah
satu hak prerogatif Presiden adalah memberikan grasi. Disini, pemberian grasi
oleh Presiden idealnya demi melaksanakan kepentingan umum. Selanjutnya, menurut
Margaret Colgate Love seperti dikutip Miller Jr., pemberian ampunan atau grasi
sebenarnya dimaksudkan sebagai cara untuk menegakkan keadilan ketika semua
upaya lain telah gagal. Jadi, ampunan atau grasi adalah “senjata pamungkas”
yang diberikan kepada Presiden untuk menegakkan keadilan.
Ketika seorang
penjahat mendapatkan ampunan dari hukuman mati menjadi seumur hidup tetapi
kembali berbuat jahat maka sesungguhnya dia tidak layak menerima ampunan itu.
Kathleen Dean Moore seperti dikutip oleh Miller Jr., menyatakan bahwa adalah
tidak bermoral dan tidak adil memberikan ampunan pada orang yang tidak layak. Menurut
Moore, ampunan seharusnya diberikan untuk mengoreksi ketidakadilan.
Kembali pada kasus
Franola, dengan berusaha menyelundupkan narkoba maka gembong narkoba kambuhan
itu telah merendahkan nilai grasi. Hal tersebut juga menjadi tamparan bagi
Presiden sebagai pemberi grasi. Disini, seolah-olah Kepala Negara telah
dipermainkan oleh seorang residivis. Tentunya Presiden tidak boleh tinggal
diam. Keadilan harus ditegakkan. Presiden seharusnya mencabut kembali grasi
yang telah diberikan dan Meirika Franola segera menjalani hukuman mati. Memang
dalam UUD 1945 sebagai konstitusi, UU No. 22 Tahun 2002 dan UU No. 5 Tahun 2010
tidak diatur soal pencabutan grasi. Walaupun demikian, penting untuk diingat
bahwa grasi adalah hak prerogatif Presiden. Hak prerogatif bertujuan
melaksanakan kepentingan umum dan menegakkan keadilan ketika semua cara sudah
gagal. Jadi, ketika aturan hukumnya tidak lengkap sedangkan kepentingan umum
dan keadilan harus ditegakkan maka disitulah fungsi hak prerogatif tersebut. Masyarakat
Indonesia berhak untuk hidup bebas dari narkoba. Hak inilah yang harus diemban
oleh para petinggi negeri ini. Kita tidak boleh lupa bahwa salah satu tujuan
didirikannya republik ini adalah untuk melindungi bangsa Indonesia dan segenap
tumpah darah Indonesia.
Ketika grasi
sebagai hak prerogatif disalahgunakan sehingga kepentingan bangsa untuk bebas
dari narkoba terancam dan rasa keadilan masyarakat terusik; maka Presiden pun
mempunyai hak prerogatif untuk mencabut kembali grasi tersebut. Jadi, kenapa
tidak? kepentingan umum dan keadilan harus ditegakkan. Tiada ampunan lagi bagi
penyalahguna grasi!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar