Oleh: Alit Amarta Adi
dimuat di harian Banjarmasin Post 11 Agustus 2011
Berita
tertangkapnya M.Nazarudin di Cartagena Kolombia sukses menyita perhatian media
dan masyarakat. Isu wacana sesat logika pembubaran KPK, masuknya figur-figur
dengan latar belakang tidak meyakinkan pada seleksi pimpinan KPK dan kasus
surat palsu di MK tenggelam oleh sensasi tersebut. Media berlomba mengangkatnya
dalam berbagai kemasan liputan seperti wawancara, talk show, dan lain-lain. Apakah ini fenomena kelatahan media
ataukah pengalihan isu yang disengaja?
Kisah
Pelarian (yang di) Dramatis (sasi?)
Kisah
pelarian Nazarudin memang luar biasa. Sejak 23 Mei 2011 berhasil kabur ke
Singapura dan menimbulkan pertanyaan besar: mengapa seseorang yang sedang
tersangkut isu penyalahgunaan jabatan tidak segera dimasukkan daftar
cekal? Seolah berhasil mengelabui
imigrasi, ia dicitrakan sebagai pelarian yang licin. Baru keesokan harinya KPK
memintakan pencekalan untuk mencegah Nazarudin kabur keluar negeri, sebuah
tindakan yang terlambat ataukah sengaja diperlambat?.
Media
sempat memberitakan pertemuan sejumlah politisi dengan Nazarudin di Singapura
pada 3 Juni 2011. Selanjutnya pada 16 Juni 2011, OC. Kaligis mengaku bertemu
dengannya disebuah kantor pengacara di Singapura. Dalam dua minggu sejumlah
orang sukses menemui Nazarudin. Penegak hukum seolah “kalah” dengan segelintir perorangan
soal menemukan buronan yang satu ini.
Menteri
Hukum dan HAM, Patrialis Akbar pada 20 Juni 2011 sempat menyebut Nazarudin
telah meninggalkan Singapura. Selanjutnya ia sempat terpantau di Vietnam dan
Malaysia. Pertengahan Juli, pakar telematika Roy Suryo menyebutkan Nazarudin
sedang berada di Amerika Latin. Lagi-lagi hal tersebut dikupas habis-habisan
oleh media. Sadar atau tidak sadar, Nazarudin dicitrakan bak pelarian yang lihai
berpindah-pindah melintasi batas negara dan bahkan benua tanpa tertangkap.
Mirip dengan penokohan agen rahasia dalam film-film Hollywood bukan?
Klimaksnya,
pada 7 Agustus 2011 Nazarudin diberitakan tertangkap di Cartagena Kolombia.
“Petualangan” dua setengah bulan melintasi benua dan samudera itu pun berakhir.
Walaupun demikian, masih tersisa pertanyaan-pertanyaan yang mengganjal. Mengapa
penegak hukum tidak memerintahkan pembekuan aset Nazarudin untuk mempersempit
ruang geraknya? Adakah pihak yang membantu pelarian tersebut? Mengapa
seakan-akan begitu mudahnya Nazarudin ditangkap di Kolombia?
Extravaganza Cartagena
Heboh
media soal tertangkapnya Nazarudin di Cartagena bukanlah babak akhir drama.
Episode baru “sirkus media” baru akan dimulai saat kepulangan Nazarudin ke
Indonesia. Saat itu dijamin mengubur isu-isu yang lebih penting seperti
kelanjutan proses hukum surat palsu di MK, upaya-upaya pelemahan KPK melalui “pemasangan”
figur-figur dengan latar belakang tidak jelas dijajaran pimpinan, penyusupan
politikus-politikus kepanjangan tangan parpol kedalam lembaga-lembaga
peradilan, KPU dan lembaga-lembaga negara lainnya.
Pemenang
Nobel bidang ilmu sosial, Amartya Sen menyatakan bahwa media berperan penting
dalam mencegah korupsi, kesembronoan keuangan (financial irresponsibility) dan kolusi (underhanded dealings). Dengan kata lain, media bertugas sebagai
pengawas kondisi sosial demi kepentingan umum. Dalam konteks perjuangan melawan
korupsi, peran media sebagai penyedia informasi mengenai kinerja dan perilaku
penegak hukum serta politisi menjadi sangat vital.
Kecenderungan
terjebak dalam jurnalisme a la tabloid rupanya masih belum hilang dari media.
Tidak salah menyoroti “topik panas” seperti “tertangkapnya buronan di
Cartagena”. Akan tetapi, membungkusnya sebagai suatu extravaganza (show
besar-besaran) dan menepikan kasus-kasus yang lebih membutuhkan “pengawalan”/
sorotan media, tidak ubahnya seperti menggelar “sirkus media”. Terakhir, semoga
dagelan episode Cartagena ini bukan “isu pesanan” untuk mengalihkan perhatian
publik dari isu-isu krusial lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar