Oleh: Alit Amarta Adi.
dimuat di Harian Analisa Medan 10 Mei 2011
Seruan
Moshe Kahlon agar Israel kembali mencaplok wilayah Tepi Barat telah menimbulkan
kontroversi baru. Pernyataan menteri Komunikasi dan Kesejahteraan Israel
tersebut tidak membuat suasana lebih kondusif. Upaya perdamaian
Israel-Palestina kembali terganggu oleh statement politisi partai Likud
tersebut. Hal tersebut menimbulkan keraguan akan itikad baik kabinet Perdana
Menteri Benyamin Netanyahu untuk berdamai dengan Palestina.
Moshe
Kahlon tidak sendirian. Menteri Urusan Diaspora dan Diplomasi Publik, Yuli
Edelstein berpikiran serupa. Menurut Edelstein, Israel tidak harus menunggu
sampai September untuk mengumumkan pencaplokan Tepi Barat tetapi langsung
bertindak. Kesepakatan antara Fatah dan Hamas untuk bergabung membuat para
politisi Israel kuatir. Tel Aviv kuatir Fatah meniru Hamas, yaitu lebih memilih
pendekatan teror ketimbang perundingan dengan Israel.
Konflik
Israel-Palestina sudah terjadi sejak tahun 1948. Tepatnya tanggal 15 Mei 1948
kaum Zionis memproklamasikan negara Yahudi yang disebut Israel. Tujuan
dibentuknya negara baru tersebut adalah membangkitkan kembali kerajaan Israel
Raya seperti masa raja Daud dan putranya, Salomo. Untuk mencapai tujuan, tanah
yang didiami warga Palestina dicaplok. Hal tersebut menimbulkan sengketa
berdarah sampai sekarang.
Pemikiran
Ahad Ha’am & Yithzak Epstein
Jauh
sebelum konflik Israel-Palestina meletus, seorang Yahudi bernama Ahad Ha’am
menuliskan hasil kunjungannya ke wilayah Palestina pada 1891. Dalam laporannya,
Ha’am menyatakan bahwa wilayah Palestina bukanlah tanah kosong tak berpenghuni.
Ha’am mencela tulisan-tulisan yang menyebut tanah Palestina sebagai tanah yang
ditinggalkan penduduknya. Lebih lanjut, Ha’am menilai bahwa etnis Arab bukanlah
ancaman bagi kaum Yahudi. Pandangan tersebut kembali ditegaskan Ha’am dalam
sebuah tulisan berjudul “Truth from Eretz
Israel” dua tahun kemudian.
Sejaman
dengan Ahad Ha’am, dialah Yithzak Epstein, seorang guru sekaligus penulis
kelahiran Rusia yang menetap di wilayah Palestina sejak 1886. Epstein
berpendapat bahwa orang Yahudi dan Arab bisa hidup damai berdampingan. Imigran
Yahudi dapat memperkenalkan peradaban barat yang modern pada penduduk asli.
Dengan begitu, etnis Arab akan menerima para pendatang dengan tangan terbuka.
Epstein menegaskan, etnis Yahudi tidak boleh menyerobot tanah yang sudah
diduduki penduduk asli. Pemukiman kaum pendatang harus dibangun di
tempat-tempat yang masih kosong.
Yithzak
Epstein menyampaikan gagasannya dalam sebuah pidato didepan Kongres Zionis
sedunia di Basel-Swiss tahun 1905. Dalam pidatonya, Epstein menyebutkan bahwa
pencaplokan tanah hanya akan menimbulkan konflik berdarah. Dia menawarkan
konsep tentang etnis Arab dan Yahudi hidup berdampingan dalam sebuah negara
Israel. Naskah pidato menggemparkan tersebut dimuat dengan judul “A Hidden Question” di jurnal “Hashiloah” pada tahun 1907. Sayangnya,
gagasan Epstein kalah populer dengan ide negara Yahudi Theodore Herzl. Saat
itu, para pemimpin Yahudi memilih mengikuti konsep “negara Yahudi untuk orang
Yahudi”. Akibatnya, konflik berdarah mendera tanpa henti selama lebih dari 60
tahun.
Sulitnya
Perjanjian Damai
Sudah
puluhan ribu nyawa melayang sia-sia karena sengketa di “tanah perjanjian”. Selama
puluhan tahun, orang Israel dan Palestina saling membunuh berebut lahan.
Perundingan perdamaian baru dirintis awal 90-an. Pada 1993, Yitzhak Rabin dan
Yasser Arafat menyepakati perjanjian Oslo. Dalam kesepakatan tersebut, Arafat
mengakui hak Israel untuk eksis sebagai negara. Sebaliknya, Rabin setuju untuk
secara bertahap mundur dari wilayah Palestina. Sayangnya, perjanjian damai
tersebut dinodai pembunuhan terhadap Rabin oleh pemuda Yahudi garis keras bernama
Yigal Amir.
Pembunuhan
Yitzhak Rabin membuat usaha perundingan damai menjadi terganggu. Baru pada
tahun 2000, Ehud Barak dan Yasser Arafat bertemu di Camp David untuk berunding.
Walaupun tidak ada kesepakatan tertulis yang ditandatangani, namun perundingan
tersebut adalah kemajuan yang menggembirakan. Sebagai kelanjutan, Barak dan
Arafat bertemu lagi di Taba-Mesir pada Januari 2001 untuk merundingkan
pembagian wilayah yang disengketakan. Sayangnya, tidak sempat terjadi
kesepakatan. Ehud Barak habis masa jabatannya dan digantikan Ariel Sharon pada
tanggal 7 Februari 2001. Selanjutnya, ada usulan peta damai dari Uni Eropa,
Rusia, PBB dan Amerika Serikat pada tahun 2002. Usulan tersebut tidak
menghasilkan apapun. Selain itu, Saudi Arabia juga pernah mensponsori pertemuan
Israel-Palestina di Beirut pada 2002 dan di Riyadh pada 2007. Keduanya juga belum
sukses mewujudkan perdamaian.
Pokok
masalah penghambat perdamaian Israel-Palestina adalah golongan ektrimis dari
kedua pihak. Kelompok garis keras Israel masih kuat pengaruhnya di
pemerintahan, begitu pula dengan kelompok ekstrim Palestina yang memilih jalan
teror ketimbang perundingan damai. Kekerasan dibalas dengan kekerasan,
pembunuhan dibalas dengan pembunuhan sehingga menjadi lingkaran setan yang
susah diputus.
Perdamaian
belum terwujud. Puluhan ribu nyawa sudah melayang. Ratusan ribu, bahkan mungkin
jutaan hidup dalam ancaman kehilangan harta benda, nyawa dan keluarga. Tidak
hanya orang Palestina, orang Israel pun selalu was-was setiap saat. Mengapa
sudah hampir 63 tahun konflik dengan Palestina belum selesai? Senjata, ekonomi
dan politik sudah dipakai sebagai alat tetapi teror masih terjadi.
Jangan-jangan ada yang salah dengan cara Israel mengurus masalah Palestina,
atau lebih parah lagi, jangan-jangan Israel tidak paham inti permasalahan
Palestina ini.
Sebagian
golongan memelintir konflik Israel-Palestina sebagai perang Yahudi melawan
Islam. Pokok masalahnya sebenarnya adalah sengketa tanah dengan kekerasan.
Inilah inti masalah yang sudah diperingatkan oleh Yithzak Epstein lebih dari
seratus tahun sebelumnya. Kalau saja Israel memahaminya maka sudah pasti jalan
damai yang diambil. Dengan pendekatan damai, tidak perlu ada puluhan ribu
korban kehilangan nyawa karena sengketa tanah berkepanjangan. Seandainya
gagasan Epstein yang diterima (dan bukannya pemikiran Herzl), maka merpati
perdamaian tidak akan terkapar sekarat di Tepi Barat, seperti yang sedang
terjadi sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar