Oleh: Alit Amarta Adi
dimuat di Harian Jurnal Nasional 27 April 2011
Rencana
Amandemen Kelima Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 kembali bergulir. Salah satu
isu utama dalam rencana amandemen tersebut menyangkut pemberian hak veto bagi
Presiden. Dengan hak tersebut, Presiden dapat memveto (membatalkan) Rancangan
Undang-Undang (RUU) yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
maupun Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Walaupun demikian, veto tersebut dapat
dibatalkan jika disetujui oleh 2/3 (dua pertiga) anggota DPR dan 2/3 anggota
DPD. Pemberian hak veto bagi Presiden seiring dengan wacana pencabutan fungsi
legislasi yang dimiliki Presiden. Fungsi legislasi Presiden diatur dalam Pasal
20 ayat (2) UUD 1945. Dalam Pasal tersebut ditentukan bahwa Presiden melakukan
pembahasan RUU bersama DPR dan memberikan persetujuan.
Trias
Politica
Montesquieu
dalam buku L’Esprit des Lois (The Spirit of Laws) mengatakan dalam
suatu negara, terdapat tiga cabang kekuasaan. Cabang-cabang kekuasaan tersebut
terdiri dari Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. Kekuasaan Eksekutif adalah kekuasaan untuk
menjalankan undang-undang, termasuk menjalankan pemerintahan berdasarkan
undang-undang (hukum); kekuasaan Legislatif
adalah kekuasaan untuk membuat undang-undang; dan kekuasaan Yudikatif adalah kekuasaan untuk
mengadili pelanggaran undang-undang. Untuk menghindari tirani maka ketiga
cabang kekuasaan tersebut tidak boleh berada dalam satu tangan.
Dalam
konteks Negara Republik Indonesia, cabang kekuasaan Eksekutif dijalankan oleh
Presiden; cabang kekuasaan Legislatif dijalankan oleh DPR dan DPD; dan cabang
kekuasaan Yudikatif dijalankan oleh Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi
(MK). Salah satu hal yang unik dalam sistem ketatanegaraan Indonesia adalah
bahwa Presiden mempunyai dwifungsi, yaitu menjalankan fungsi Eksekutif dan
fungsi Legislatif. Dalam praktik ketatanegaraan yang dilaksanakan oleh negara-
negara didunia, fenomena Indonesia termasuk tidak lazim. Ketua MK RI, Moh.
Mahfud MD dalam bukunya “Perdebatan Hukum
Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi” menyatakan bahwa selain Indonesia
hanya Puerto Rico yang Presidennya juga menjalankan fungsi legislatif.
Checks
and Balances
Dalam
tataran praktik, penting untuk menjaga supaya ketiga cabang kekuasaan negara
tetap seimbang. Artinya, lembaga-lembaga pemegang cabang kekuasaan Eksekutif,
Legislatif dan Yudikatif harus tetap seimbang. Tidak boleh ada salah satu
lembaga yang menjadi lebih kuat dari lembaga-lembaga yang lain. Jika salah satu
lembaga tersebut menjadi lebih kuat dari lembaga-lembaga yang lain, maka bukan
tidak mungkin akan membuatnya menyalahgunakan kekuasaannya. Untuk menjaga
supaya lembaga-lembaga tersebut tetap seimbang maka dibuat mekanisme saling
memeriksa dan mengimbangi (checks and
balances).
Dalam
konteks checks and balances, hak veto
merupakan sarana bagi Presiden sebagai pemegang cabang kekuasaan Eksekutif
untuk mengontrol Parlemen. Dengan hak veto, Presiden dapat membatalkan
rancangan undang-undang yang dibuat oleh Parlemen. Sebagai contoh, dalam
praktik ketatanegaraan Amerika Serikat, Presiden dapat memveto rancangan
undang-undang (RUU) dari House of
Repersentative (DPR) dan Senat
(DPD). Veto Presiden tersebut tidak serta merta menggugurkan RUU. Terhadap veto
Presiden, House of Representative dan
Senat akan bersidang. Jika 2/3 (dua
pertiga) anggota menolak maka Veto Presiden otomatis menjadi gugur dan RUU
dapat disahkan menjadi undang- undang.
Sehubungan
dengan rencana pemberian hak veto bagi Presiden dalam Amandemen kelima UUD 1945
timbul pertanyaan apakah Indonesia aka menerapkan model Amerika Serikat atau
akan membuat model sendiri. Jika pilihannya adalah membuat model sendiri maka
terdapat beberapa hal yang perlu dipikirkan. Pertama, dengan dicabutnya hak Presiden untuk melakukan pembahasan
Rancangan Undang-Undang (RUU) bersama DPR dan memberikan persetujuan, apakah
Parlemen dalam hal ini DPR dan DPD harus memberitahukan setiap RUU yang akan
dibahas kepada Presiden?. Jika ‘Ya’
maka bagaimanakah dan kapan mekanisme pemberitahuan tersebut harus dilakukan?.
Jika ‘Tidak’ maka akan menyulitkan
Presiden melakukan pemantauan.
Kedua,
apakah Presiden boleh menggunakan hak veto dengan bebas?. Jika ‘Ya’ maka dapat menimbulkan kesewenang-
wenangan. Jika ‘Tidak’ maka alasan-alasan
apa saja yang dapat menjadi dasar digunakannya hak veto oleh Presiden?.
Sebaiknya, dalam Amandemen Kelima UUD 1945 diatur dengan tegas mengenai alasan-alasan
yang dapat dijadikan dasar penggunaan hak veto oleh Presiden. Mengutip pendapat
Lord Acton; “Power tends to corrupt,
absolute power corrupt absolutely” (kekuasaan cenderung disalahgunakan,
kekuasaan tanpa batas akan disalahgunakan tanpa batas pula).
Ketiga,
apakah hak veto Presiden bersifat mutlak yaitu langsung menggugurkan Rancangan
Undang-Undang (RUU) dari Parlemen?. Jika ‘Ya’
maka apakah RUU yang sama boleh diajukan kembali? Kapan dan apa saja syarat-
syaratnya?. Jika ‘Tidak’ maka adakah
mekanisme untuk menggugurkan veto Presiden terhadap RUU terkait? persetujuan
berapa anggota Parlemen yang dibutuhkan untuk itu?.
Undang-Undang Dasar (UUD) merupakan
hukum tertinggi negara yang memuat aturan-aturan main dalam penyelenggaraan
negara. Amandemen terhadap UUD harus dilakukan dengan cermat karena menyangkut
hajat hidup segenap bangsa Indonesia. Aturan yang cacat akan menimbulkan
ketidakstabilan negara. Ketidakstabilan negara hanya akan menghambat
terwujudnya perlindungan dan kesejahteraan segenap rakyat Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar