Oleh: Alit Amarta Adi.
dimuat di harian Analisa Medan 15 Juli 2011
Perdebatan tentang Rancangan Undang-Undang (RUU)
Intelijen Negara masih terus berlangsung. Salah seorang politisi Senayan
menyatakan bahwa masyarakat tidak perlu kuatir tentang muatan RUU tersebut. RUU
Intelijen Negara semata-mata demi melindungi keamanan bangsa dan negara.
Walaupun demikian, kritik terhadap isi RUU tersebut tidak serta-merta mereda. Publik
cemas RUU tersebut tidak ubahnya Undang-Undang Keamanan Dalam Negeri/ Internal Security Act (ISA) di Malaysia
dan Singapura, yang disalahgunakan untuk memberangus kebebasan berekspresi dan
Hak Asasi Manusia (HAM).
Draft yang Rawan Penyalahgunaan
Naskah RUU Intelijen Negara yang sedang dibahas di
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sesungguhnya banyak kelemahan. Pertama, konsep Intelijen Negara sebagai
“lembaga pemerintah” (Pasal 1
angka 1). Seharusnya Intelijen Negara menjadi alat negara (state) untuk melindungi segenap bangsa Indonesia. Sebagai lembaga
pemerintah, Intelijen Negara menjadi alat pemerintah (government). Dengan begitu, Intelijen Negara bekerja melayani rezim
yang sedang berkuasa. Hal tersebut sangat berbahaya karena rentan
disalahgunakan oleh penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya. Lebih mencemaskan
lagi, dalam Pasal 27 ditentukan bahwa Lembaga Koordinasi Intelijen Negara (LKIN)
berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Tidak diatur tentang
kontrol DPR sebagai perwakilan rakyat terkait hal tersebut. Membiarkan hal
tersebut sama artinya dengan memuluskan jalan bangkitnya kediktatoran.
Kedua,
dalam Pasal 19 dan 20 diatur mengenai Kode Etik dan Dewan Kehormatan Intelijen.
Sayangnya tidak diatur soal mekanisme peradilan terhadap personil intelijen
yang melanggar hukum atau HAM ketika menjalankan tugas. Harus dipertegas tentang
prosedur penahanan, penuntutan dan pengadilan bagi personil atau pejabat
intelijen yang melakukan pelanggaran hukum atau HAM.
Ketiga,
tidak diatur tentang prosedur menyangkut kegiatan intelijen seperti; memasuki
atau menggeledah bangunan, gedung, tanah pekarangan, kendaraan atau barang
milik pribadi. Tidak jelas pula mengenai prosedur penangkapan dan penahanan
tersangka. Artinya, proses hukum yang layak (due proccess of law) yang meliputi prosedur penangkapan, penahanan,
penuntutan, dan seterusnya menjadi tidak terjamin. Tidak adanya jaminan
tersebut tentunya bertentangan dengan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama dihadapan hukum (Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945).
Jaminan
Konstitusi terhadap HAM
UUD 1945 sebagai hukum
tertinggi negara menjamin hak-hak asasi warga negara. Jaminan Konstitusi tersebut
terangkum jelas, yaitu; “hak untuk
hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak
beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi
dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku
surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”
(Pasal 28 I ayat (1)). Lebih lanjut, Konstitusi juga menegaskan bahwa perlindungan,
pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab
negara, terutama pemerintah (Pasal 28 I ayat (4)). Sehingga, hukum dan
kebijakan pemerintah harus senantiasa menjamin perlindungan dan penghargaan
HAM.
RUU Intelijen Negara
sejatinya bertujuan memberikan kepastian hukum, jaminan tegaknya nilai-nilai
demokrasi dan HAM menyangkut penyelenggaraan intelijen negara. Dengan RUU
tersebut, diharapkan upaya deteksi dini untuk menangkal ancaman dan gangguan
terhadap eksistensi serta keutuhan negara akan berhasil. Semuanya itu untuk
mewujudkan tujuan negara, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia (Alinea IV Pembukaan UUD 1945). Disatu sisi, RUU
tersebut adalah rancangan ‘senjata’ bagi negara untuk melindungi rakyatnya;
tetapi disisi lain juga berpotensi dipakai oleh penguasa meneror lawan politik
dan rakyat.
Seperti halnya RUU
Intelijen Negara yang sedang dibahas di parlemen, Internal Security Act, baik di Malaysia maupun Singapura awalnya dimaksudkan
mendukung “upaya-upaya pencegahan” demi keamanan dan ketertiban masyarakat.
Kenyataannya, Internal Security Act
sering dipakai oleh rezim yang sedang berkuasa untuk menghancurkan pihak-pihak
yang dianggap melawan pemerintah. Di Malaysia pada tahun 1987, pemerintah
menangkap para pemimpin oposisi tanpa alasan dan bukti yang jelas dan
memenjarakannya tanpa proses pengadilan. Kejadian tersebut sering disebut
sebagai “Operasi Lalang”. Jauh
sebelumnya pada tahun 1963, operasi gabungan Malaysia-Singapura dengan sandi “Operasi Coldstorage” menangkap 117
aktivis oposisi dan serikat buruh. Kemudian pada tahun 1987, 22 orang aktivis
gereja Katolik, aktivis sosial dan profesional ditangkap dalam “Operasi Spectrum” dengan tuduhan
subversi.
Tidak ada jaminan bahwa
hukum tidak akan digunakan sebagai senjata teror. Perancang Internal Security Act, Hugh Hickling,
seorang profesor dan pengacara Inggris pernah menyatakan keterkejutannya: “Saya
tidak dapat membayangkan bahwa kekuasaan
untuk menahan orang, yang telah dibatasi Pasal 149 Kontitusi ternyata digunakan terhadap lawan politik, pekerja
sosial dan aktivitas damai lainnya”. Penyalahgunaan kekuasaan memang godaan
bagi penguasa. Tidak mengherankan jika Lord Acton menyatakan bahwa “power tends to corrupt, absolute power
corrupt absolutely” (kekuasaan cenderung disalahgunakan, kekuasaan mutlak
akan mutlak disalahgunakan).
Revisi RUU Intelijen
Negara mutlak diperlukan. Selain konsep Intelijen sebagai lembaga negara;
jaminan terhadap due proccess law/
proses hukum yang layak & hak-hak konstitusional warga; dan
pertanggungjawaban hukum personil atau pejabat intelijen; penting untuk diatur
adalah rehabilitasi dan restitusi/ ganti rugi jika terjadi kesalahan
penangkapan atau penahanan. Tentunya kita tidak ingin ada penjara-penjara
ilegal dan praktik-praktik a la penjara Guantanamao di Indonesia. Jangan sampai
RUU Intelijen Negara justru menjadi seperti belati bermata dua yang menusuk
rakyat yang seharusnya dilindunginya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar