Oleh: Alit Amarta Adi.
Polemik
seputar transparansi anggaran ditubuh Mahkamah Agung (M.A) sedang menghangat.
Polemik tersebut berawal dari otokritik Hakim Agung Gayus Lumbuun yang
menyatakan bahwa anggaran M.A cenderung dijatahkan untuk memanjakan para
petingginya. Jika hal tersebut benar adanya maka citra M.A akan semakin
terpuruk setelah skandal bebasnya bos pabrik narkoba beberapa waktu yang lalu.
Selain itu, rendahnya kepercayaan masyarakat juga menjadi “pekerjaan rumah”
yang harus diselesaikan.
Berdasarkan
Pasal 24 UUD 1945, M.A adalah salah satu badan yang memegang kekuasaan
kehakiman untuk menegakkan hukum dan keadilan. Jadi, M.A seharusnya tidak
semata-mata menegakkan hukum (yang kadang mengandung banyak celah dan tidak
sempurna) tetapi juga keadilan. Artinya, M.A tidak boleh hanya menjalankan
hukum sesuai prosedur undang-undang; apalagi berlindung dibalik
ketidaksempurnaan aturan hukum.
Selanjutnya
dalam Pasal 24A ayat (2) disebutkan bahwa hakim agung harus memiliki integritas
dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman
dibidang hukum. Dalam konteks membangun badan peradilan yang bersih, rumusan
tersebut seharusnya dimaknai sebagai tuntutan integritas tanpa cela bagi
seluruh personil M.A. Jadi bukan hanya hakim agung saja yang harus mempunyai
integritas tanpa cela tetapi juga panitera, sekretaris M.A dan semua pegawai
sampai tingkat terbawah.
Untuk
membentuk badan peradilan yang mandiri sesuai amanat Pasal 24 ayat (1) UUD 1945,
dalam Pasal 81A UU No. 5 Tahun 2004 diatur bahwa anggaran M.A dibebankan
tersendiri dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Selain itu,
berdasarkan Pasal 13 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman
diatur bahwa Organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Artinya,
dalam hal keuangan M.A tidak akan tersandera oleh badan lain. Dengan begitu,
diharapkan M.A akan menjadi badan peradilan yang bebas merdeka dari campur
tangan pihak luar. Sayangnya, kemandirian atau independensi keuangan M.A tidak
diimbangi dengan tuntutan transparansi dan pertanggung jelasan (akuntabilitas)
yang memadai.
Imam
Anshori Saleh, Wakil Ketua Komisi Yudisial R.I dalam makalah berjudul
“Transparansi dan Akuntabilitas Kekuasaan Kehakiman di Indonesia” menyatakan
bahwa independensi tanpa transparansi dan akuntabilitas akan berpotensi
memunculkan penyalahgunaan kekuasaan baru atau tirani peradilan. Lebih lanjut
menurut Imam, independensi hakim harus diimbangi dengan akuntabilitas dan transparansi. Pandangan
tersebut senada dengan Dakolias, Maria dan Kim Tachuk seperti dikutip Sandra
Elena, dkk dalam “Global Best Practices: Income AND Asset Disclosure
Requirements for Judges- Lessons
Learned from Eastern Europe and Latin America”. Menurut mereka,
independensi dan akuntabilitas peradilan adalah dua sisi pada satu koin. Dalam
kaitannya dengan polemik transparansi anggaran M.A, selayaknya bukan hanya
hakim tetapi seluruh personil dan bahkan M.A sebagai badan peradilan harus
transparan dan akuntabel untuk mengimbangi independensi yang disandangnya.
Akuntabilitas dan Transparansi
J.G
Koppell sebagaimana dikutip oleh Stein Kristiansen, dkk dalam “Public
Sector Reforms and Financial Transparency: Experiences from Indonesian
Districts” berpendapat bahwa
pada dasarnya akuntabilitas menunjuk bagi seseorang atas kinerja yang
diharapkan darinya. Akuntabilitas menimbulkan kewajiban untuk melaksanakan dan
tanggung jawab untuk menuntaskan. Selain itu, akuntabilitas juga menimbulkan
transparansi/ keterbukaan dan keterkendalian/ controllability. Dalam konteks membangun badan peradilan yang
independen dan bersih, M.A dituntut terbuka pada masyarakat, baik lewat
pemeriksaan rutin eksternal maupun penyelidikan. Dengan begitu, tuntutan
akuntabilitas soal keuangan diperkuat dengan transparansi. Lagipula, menurut K.
Barata & P. Cain seperti dikutip oleh Kristiansen, idealnya setiap
informasi soal penggunaan kekayaan negara (baik dulu, sekarang maupun dimasa
mendatang) harus dibuka untuk masyarakat umum.
Andrew
Lawson & Lise Rakner dalam “Understanding Patterns
of Accountability in Tanzania”, menyebutkan bahwa ada dua jenis
akuntabilitas. Pertama, akuntabilitas
vertikal, yaitu cara pertanggungjelasan dari negara dan badan-badan
pelaksananya kepada pihak bukan negara (masyarakat, perwakilan politik).
Akuntabilitas vertikal berwujud akuntabilitas pemilu dimana rakyat menitipkan
kekuasaan pada para wakilnya dan berhak atas pertanggungjelasan dari mereka;
dan akuntabilitas kemasyarakatan dimana media dan LSM mewakili masyarakat
mengawasi jalannya pemerintahan. Kedua,
akuntabilitas horizontal, yaitu cara kontrol diantara lembaga-lembaga negara.
Misalnya, saling mengawasi antara parlemen, pemerintah dan badan peradilan; pengawasan
oleh lembaga negara independen seperti KPK, Ombudsman, Komnas HAM, dll.
Dalam konteks Indonesia,
keuangan M.A diawasi setidaknya oleh pemerintah dan DPR melalui BPK, dan KPK
jika ada tanda-tanda penyelewengan. Walaupun demikian, M.A seharusnya tidak
melupakan akuntabilitas vertikal kepada masyarakat. Rakyat sebagai pembayar
pajak tentunya berhak tahu dan dipermudah mendapatkan informasi mengenai
keuangan M.A yang bersumber dari APBN. Namun sampai sekarang, belum ada
tindakan konkret dari M.A untuk terbuka pada publik soal anggaran dan
keuangannya. Sepertinya mentalitas birokrasi tertutup warisan Orde Baru masih
kental ditubuh badan peradilan tersebut. Sudah bukan jamannya lagi
menutup-nutupi keuangan lembaga publik. Apalagi berlindung dibalik dalih
ketiadaan aturan atau ketidakjelasan mekanisme hukum. Mahkamah Agung sudah
menikmati independensi keuangan. Kini saatnya para akademisi, masyarakat dan
media menagih transparansi dan akuntabilitas keuangan M.A. Cukup sudah
independensi minus transparansi seperti yang terjadi selama ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar