Oleh: Alit Amarta Adi.
dimuat di Harian Analisa Medan 7 Juli 2011
Rencana Armada Freedom
Flotilla 2 untuk menerobos blokade Israel di perairan Gaza kembali menyita
perhatian publik. Beragam reaksi bermunculan menanggapi rencana tersebut. Di
satu sisi, sebagian pihak mendukung aksi untuk menyalurkan bantuan kemanusiaan
tersebut. Di sisi lain, Israel jelas-jelas tidak senang. Perdana Menteri
Benyamin Netanyahu telah memerintahkan armada blokade Israel mencegah kapal
apapun mencapai pantai Gaza. Aksi horor yang menimpa kapal Mavi Marmara pada
akhir Mei 2010 lalu kembali membayangi.
Blokade adalah tindakan usaha mengepung wilayah
tertentu untuk memutus pasokan barang dan komunikasi. Blokade dapat digunakan
baik didarat maupun dilaut. Sejak jaman kuno blokade laut sudah digunakan dalam
perang. Blokade tertua terjadi sekitar tahun 458-457 sebelum Masehi pada perang
Peloponnesia pertama. Sejak itu blokade menjadi salah satu strategi pertempuran
di laut. Seiring dengan perkembangan jaman, blokade laut diatur dengan hukum
internasional. Aturan-aturan hukum tersebut antara lain Piagam Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) 1945 dan Manual San Remo 1994 (San Remo Manual on International Law Applicable
to Armed Conflicts at Sea).
Blokade Laut dalam Hukum Internasional
Berdasarkan hukum internasional, blokade laut tidak
boleh sembarangan dilakukan. Piagam PBB 1945 tidak banyak mengatur tentang
blokade laut. Dalam Pasal 42, blokade laut boleh digunakan sebagai salah satu
cara memulihkan dan menjaga perdamaian serta kemanan internasional. Cara tersebut
hanya boleh dilakukan oleh anggota PBB setelah mendapat pertimbangan Dewan
Keamanan. Selain itu, blokade laut baru boleh dilakukan jika campur tangan PBB
menyangkut ekonomi, pos dan telekomunikasi serta diplomatik tidak berhasil. Sejak
tahun 2005, perairan Gaza dikuasai efektif oleh angkatan laut Israel. Sejak itu
pula perlahan blokade laut mulai dilakukan. Ditinjau dari Pasal 42 Piagam PBB,
blokade laut yang dilakukan Israel terhadap Gaza tidak memenuhi syarat.
Aturan terbaru mengenai blokade laut adalah Manual
San Remo 1994. Ada empat prinsip utama yang harus ditaati dalam melakukan
blokade laut. Pertama, blokade laut
harus diumumkan dan diberitahukan tertulis kepada semua pihak lawan dan pihak
netral. Pemberitahuan tersebut wajib merinci durasi, lokasi, lingkup blokade
dan batas waktu bagi kapal-kapal netral meninggalkan perairan yang diblokade.
Dengan demikian maka korban dipihak netral dapat dihindari. Kedua, blokade laut tidak boleh
menghalangi akses ke pelabuhan dan pantai pihak netral. Bagaimanapun juga
perang tidak boleh mengganggu kepentingan negara-negara netral. Ketiga, asas non diskriminasi. Artinya,
blokade laut berlaku bagi semua kapal dari semua negara. Dengan kata lain tidak
boleh diberlakukan terhadap negara tertentu. Keempat, tidak boleh bertentangan dengan kemanusiaan. Blokade laut
yang bertujuan membuat warga sipil kelaparan, menangkal suplai kebutuhan hidup
yang vital adalah blokade terlarang. Jika warga sipil diwilayah blokade
kekurangan makanan dan bahan pokok maka akses penyaluran bahan makanan dan
kebutuhan pokok harus diberikan. Selanjutnya, organisasi kemanusiaan harus
diberikan akses untuk menyalurkan bantuan kemanusiaan. Selain itu, harus
penyaluran bantuan obat-obatan juga tidak boleh dihalangi.
Tiga prinsip pertama blokade laut menurut Manual San
Remo bukan masalah bagi Israel. Batu sandungan ada pada prinsip keempat.
Semenjak blokade dari darat dan laut digelar Israel, wilayah Gaza menjadi
terisolasi. Suplai barang hanya bisa dilakukan dari gerbang-gerbang perbatasan
Israel dan Mesir. Warga sipil kesulitan memperoleh bahan makanan dan kebutuhan
pokok lain untuk bertahan hidup. Walaupun demikian, Israel bersikeras
mempertahankan blokade dengan alasan memotong suplai senjata dan amunisi untuk
Hamas. Jika demikian, mengapa Tel Aviv ngotot akan menghadang armada Freedom Flotilla 2? Bukankah armada
tersebut membawa bantuan makanan dan obat-obatan? Bukankah sesuai dengan Pasal
103-104 Manual San Remo mereka harus diberi jalan?
Skenario Terburuk: Jika Paranoia Israel Ternyata Benar
Apa yang ditakutkan Israel dari armada Freedom Flotilla 2 sehingga mereka
begitu paranoid? Bukankah armada Freedom
Flotilla 2 hanyalah kapal-kapal
sipil? Apakah Israel kuatir mereka menyelundupkan senjata dan amunisi untuk
Hamas? Jika memang begitu, bukankah Israel bisa menghentikan armada tersebut,
menahan dan memeriksanya? Jika dalam praktiknya kapal-kapal tersebut menolak
peringatan dan berusaha menerobos blokade, bukankah Pasal 98 Manual San Remo
mengijinkan Israel menyerang? Jika skenario terburuk tersebut benar-benar
terjadi, akankah armada kapal perang Israel kalah dengan armada kapal
pengangkut bantuan? Intinya, armada Freedom
Flotilla 2 bukan ancaman militer yang perlu ditakutkan oleh Israel.
Berdasarkan Pasal 67 Manual San Remo, Israel berhak
menghentikan dan memeriksa kapal berbendera negara netral yang dicurigai membawa
barang selundupan, membantu intelijen musuh, memuat alat-alat militer untuk
musuh. Kapal yang membantu kapal perang musuh, berlayar bersama konvoi armada
musuh, berusaha menerobos blokade tanpa menghiraukan peringatan untuk berhenti
dan berusaha menghindari pemeriksaan boleh diserang.
Insiden horor terhadap kapal Mavi Marmara dari
armada Freedom Flotilla 1 telah
mencoreng reputasi Israel. Selain itu, Israel juga kehilangan Turki sebagai
sekutu penting. Dua hal tersebut adalah harga yang terlalu mahal untuk dibayar.
Pepatah mengatakan bahwa keledai tidak terperosok dalam lubang yang sama untuk
kedua kalinya. Semoga para petinggi partai Likud yang sedang berkuasa cukup
bijak untuk tidak mengulangi kesalahan fatal yang sama untuk kedua kalinya.
Semoga karut-marut blokade laut Israel tidak kembali membawa maut.
sangat bagus dan bermanfaat
BalasHapus