Oleh:
Alit Amarta Adi
dimuat di harian Analisa Medan 8 Agustus 2011
Wacana
untuk melibatkan TNI dalam menanggulangi terorisme akhir-akhir ini menghangat. Bermula
dari anjuran Menko Polhukam Djoko Suyanto dan Ketua Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansyaad Mbai. Anjuran tersebut mendapat
tanggapan yang bernuansa kehati-hatian. Wakil Ketua Komisi I DPR, TB Hasanuddin
menilai hal tersebut perlu dikaji kembali secara seksama. Senada dengan
Hasanuddin, Direktur Eksekutif Imparsial, Poengky Indarti menekankan pentingnya
payung hukum resmi untuk mengatur keterlibatan TNI dalam pemberantasan
terorisme.
Pertanyaannya,
bagaimana sebenarnya regulasi yang ada mengenai tugas dan fungsi TNI dalam
konteks penanggulangan terorisme? Apakah peraturan-peraturan yang ada sudah memadai?
Jika belum, lalu hal apa saja yang menjadi masukan penyusunan undang-undang
pelengkap?
TNI
dalam Kontra-Terorisme
Pembukaan
UUD 1945 mengamanatkan perlindungan segenap bangsa dan seluruh tumpah darah
Indonesia sebagai salah satu tujuan negara. Sebagai hukum tertinggi negara,
amanat konstitusi tersebut dijabarkan dalam peraturan perundang-undangan yang
lebih rendah tingkatnya. Ketetapan MPR No. VII/MPR/2000 mencatat bahwa TNI
adalah alat negara untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah dan
melindungi bangsa dan negara dari ancaman serta gangguan disintegrasi (Pasal
2). Walaupun kini tidak lagi termasuk peraturan perundang-undangan namun Tap
MPR tersebut memuat politik hukum dan cetak biru UU No. 34 Tahun 2004 Tentang
TNI.
Sebagai
alat utama negara dibidang pertahanan, TNI berfungsi sebagai penangkal dan
penindak setiap bentuk ancaman militer dan ancaman bersenjata terhadap
kedaulatan, keutuhan wilayah serta keselamatan bangsa baik dari luar atau dalam
negeri (Pasal 6 ayat (1) UU TNI). Dalam menjalankan fungsinya, TNI juga
melakukan operasi militer selain perang. Operasi tersebut antara lain bertujuan
mengatasi aksi terorisme dan membantu Polri dalam rangka tugas keamanan dan
ketertiban masyarakat yang diatur dalam UU (Pasal 7 ayat (2) huruf b).
Ketentuan inilah yang agaknya menjadi dasar anjuran Menko Polkam dan Ketua
BNPT.
Perdebatan
mulai timbul terkait dengan klausul Pasal 7 ayat (3) UU TNI. Rumusan ayat
tersebut berbunyi “ Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan
berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara”. Dalam penjelasannya, hanya
dicantumkan frasa “cukup jelas” mengenai aturan tersebut. Tidak dijabarkan apa
yang dimaksud dengan “kebijakan dan keputusan politik negara”. Jadi, produk
hukum atau dokumen apa yang memuat hal tersebut?
Puncak
perdebatan ada pada ketentuan Pasal 20 ayat (2) menyangkut penggunaan kekuatan
TNI. Ayat tersebut berbunyi “Penggunaan kekuatan TNI dalam rangka melaksanakan
operasi militer selain perang, dilakukan untuk kepentingan pertahanan negara
dan/atau dalam rangka mendukung kepentingan nasional sesuai dengan peraturan
perundang-undangan”. Klausul inilah yang tampaknya digunakan oleh Poengky
Indarti ketika menyebut pelibatan TNI dalam penanggulangan terorisme sebagai
ilegal. Disatu sisi, sangat penting untuk membuat payung hukum yang mengatur
hal tersebut. Disisi lain, ketika undang-undangnya belum ada dan terjadi
kondisi dimana Polri membutuhkan dukungan TNI maka Presiden boleh menggunakan
Perpu sebagai dasar hukum bertindak. Penting digarisbawahi bahwa hal tersebut
bukan alasan bagi pemerintah dan DPR untuk berlama-lama membentuk undang-undang
yang dimaksud.
Dalam
Tap No.VII/MPR/2000 dicantumkan bahwa TNI memberikan bantuan pada Polri dalam
rangka tugas keamanan atas permintaan yang diatur dalam undang-undang (Pasal 4
ayat (2)). Dalam konteks pemberantasan terorisme, keterlibatan TNI tidaklah
serta merta melainkan baru boleh dilakukan setelah ada permintaan dari Polri.
Lagi-lagi undang-undang yang mengatur hal tersebut belum ada. Singkatnya,
instrumen hukum yang ada belum memadai.
Mereka-reka
Kerangka Perbantuan TNI
Ada
beberapa hal yang harus dipikirkan terkait undang-undang mengenai pelibatan TNI
dalam upaya kontra-terorisme. Pertama,
bagaimanakah bentuk keterlibatan TNI? Apakah beroperasi tersendiri ataukah
dalam suatu komando gabungan bersama Polri? Jika dalam komando gabungan maka
pihak manakah yang memegang komando? Akankah personil level akar rumput di TNI
cukup legowo untuk dipimpin oleh personil Polri? Seberapa kompak personil keduanya
dilapangan? Mari berharap rivalitas dan
konflik personil TNI dengan Polri tidak kembali meruncing.
Kedua,
keadaan-keadaan apa saja yang harus melibatkan TNI dan apa saja kriterianya?
Sebagai contoh, TNI lebih berpengalaman dan kompeten menangangi pembajakan
pesawat, kapal atau penyanderaan pejabat tinggi. Sedangkan Polri lebih kompeten
menangani ancaman bom dan penggerebekan.
Tidak
kalah penting, tingkat ancaman teror juga perlu dijadikan pertimbangan. Dalam
konteks kondisi sekarang, Polri masih mampu menangani masalah terorisme.
Prestasi Densus 88 dalam memburu dan membongkar jaringan teroris layak diacungi
jempol. Tewasnya Dr. Azhari dan Noordin M. Top serta penangkapan anggota
sel-sel teroris dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan pelibatan TNI belum
diperlukan. Walaupun demikian, tidak menutup kemungkinan TNI akan dilibatkan
ketika timbul kegentingan yang memaksa atau krisis keamanan yang parah. Di
Meksiko, tentara dikerahkan untuk melawan geng-geng pengedar narkoba; di Rusia,
pasukan komado dikerahkan dalam krisis penyanderaan gedung teater di Moskow
pada 2002; dan di India, militer dikerahkan untuk mengatasi krisis penyanderaan
di Mumbai tahun 2008.
Kesimpulannya,
penting untuk membentuk undang-undang yang mengatur soal pelibatan TNI dalam
penanggulangan terorisme. Aturan main yang jelas menjamin kepastian dan
perlindungan hukum. Selain itu juga mementahkan kekuatiran bangkitnya kembali
“sepak terjang” militer seperti dimasa Orde Baru. Dengan begitu publik tak akan
ragu merestui pemerintah untuk menggeret
TNI membasmi teroris.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar