Oleh: Alit
Amarta Adi.
dimuat di harian Analisa Medan 7 Desember 2011
Pernyataan Wakil Sekretaris Fraksi
Partai Amanat Nasional (PAN) Viva Yoga Mauladi soal revisi undang-undang Pemilu
menarik untuk dicermati. Menurut Mauladi, Rancangan UU perubahan atas UU No. 10 Tahun 2008
tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD semestinya ditujukan untuk memperkuat
sistem kepartaian. Bukan untuk membunuh parpol kecil dan menghilangkan hak
hidup parpol baru. Lebih lanjut Mauladi mengatakan bahwa peningkatan ambang
batas parlemen (parliamentary threshold)
secara drastis, seperti yang diusulkan pemerintah dan parpol-parpol besar,
justru akan membunuh parpol kecil. Bahkan, peningkatan ambang batas secara
drastis dapat menghilangkan hak hidup parpol baru yang akan tumbuh. Sebelumnya
Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum menyebutkan bahwa ambang batas
parlemen 4 % merupakan jalan tengah.
Gugatan soal ambang batas parlemen sebenarnya
bukan barang baru. Pada tahun 2009, Mahkamah Konstitusi menolak gugatan 11
parpol soal ambang batas parlemen 2,5 % yang ditetapkan Pasal 202 ayat (1) UU
No. 10 Tahun 2008. Parpol-parpol tersebut beralassan bahwa ambang batas
parlemen 2,5 % bertentangan dengan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang
sama dalam pemerintahan”.
Hak Asasi Universal dan Hak Privilege
Mauladi mengatakan peningkatan ambang batas parlemen secara drastis akan
membunuh parpol kecil, menghilangkan hak hidup parpol baru yang akan tumbuh.
Dengan demikian, seolah-olah bertentangan dengan jaminan kebebasan berserikat
dalam Pasal 28 UUD 1945 (Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan
pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang).
Alasan lain yang mungkin dipakai adalah jaminan partisipasi dalam pemerintahan
dalam Pasal 28D ayat (3) UUD 1945.
Konsep kebebasan berserikat dan partisipasi dalam pemerintahan seringkali
dianggap serupa, yaitu sama-sama merupakan hak asasi (hak dasar). Meskipun
secara formal pengaturan soal keduanya sama-sama berada dalam Bab X A UUD 1945
yang berjudul “Hak Asasi Manusia” tetapi esensi keduanya sesungguhnya tidak
sama persis. Kebebasan berserikat adalah hak asasi yang universal, artinya setiap
orang dijamin haknya untuk membentuk atau bergabung dengan perkumpulan untuk mengekspresikan
diri, memperjuangkan dan melindungi kepentingannya. Menurut Miriam Budihardjo,
wujud pelaksanaan hak ini bukan hanya melalui parpol saja melainkan juga LSM,
serikat buruh, persatuan profesi, himpunan kerukunan tani, dll. Samuel
Issacharoff menyatakan bahwa hak berserikat tidak dapat dikurangi atau dibatasi
dalam hal apapun kecuali jika mengancam demokrasi, kebebasan dan masyarakat.
Disisi lain, “Partisipasi dalam pemerintahan” adalah hak asasi yang
bersifat istimewa (privilege).
Artinya tidak semua orang bisa memperolehnya. Hanya orang-orang yang mempunyai
kemampuan/ kompetensi saja yang pantas memperolehnya (meritocracy system). Kenyataannya, tidak semua orang bisa menjadi pejabat negara (Presiden, Hakim
Konstitusi, Hakim Agung, dll). Ada syarat-syarat khusus yang harus dipenuhi.
Demikian juga untuk mewakili rakyat diparlemen (DPR, DPD, DPRD) ada
syarat-syarat khusus yang harus dipenuhi seperti ambang batas parlemen.
Singkatnya, dalam demokrasi perwakilan memang tidak semua orang bisa ikut serta
menentukan kebijakan negara. Ada orang-orang atau kelompok tertentu yang
dipilih mewakili rakyat diparlemen.
Menghindari Anarki Demokrasi
Giovanni
Sartori sebagaimana sering dikutip oleh Riswandha Imawan membagi sistem
kepartaian menjadi 7 yaitu: sistem kepartaian atom (atomized party system), pluralisme berkutub (polarized pluralism), pluralisme moderat (moderate pluralism), sistem dua partai (two party system), sistem partai pre-dominan (pre-dominant party system), sistem hegemoni (hegemonic party system) dan sistem partai tunggal (single party system). Indonesia masih
berada diantara sistem atom dan pluralisme berkutub. Artinya, tingkat
persaingan partai masih tinggi, adanya upaya membentuk koalisi, walaupun
demikian pengambilan keputusan berlarut-larut karena terlalu banyak parpol.
Keinginan
menetapkan ambang batas sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1999. Penetapan
ambang batas pemilu (electoral threshold)
2 % dipertahankan sampai Pemilu 2004. Walaupun demikian, penyederhanaan sistem
kepartaian belum terwujud. Karena itu berdasarkan Pasal 202 ayat (3) UU No. 19
tahun 2008, ditetapkan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) sebesar 2,5 % untuk Pemilu 2009. Walaupun
demikian, berdasarkan Pasal 315 juncto Pasal 316, parpol-parpol peserta pemilu
2004 yang tidak mencapai 3 % kursi DPR tetap bisa mengikuti pemilu 2009.
Singkatnya, sudah ada “dispensasi” bagi mereka. Pertanyaannya, layakkah terus
menerus memberikan dispensasi pada partai yang rendah dukungan dari rakyat?
Terlalu
banyak parpol tidak sehat bagi sistem Presidensiil yang dianut Indonesia. Scott
Mainwaring mencatat bahwa sistem multi partai tidak cocok dengan sistem
presidensiil. Tanpa dukungan mayoritas parlemen, pemerintahan sulit berjalan
efektif. Dengan kata lain, Presiden “tersandera” untuk berkoalisi dan sulit
membentuk kabinet yang solid karena harus mengangkat orang-orang “titipan” dari
parpol-parpol sekutunya.
Sistem
kepartaian atom dan pluralisme berkutub yang berjalan sekarang sudah saatnya
diarahkan pada sistem pluralisme moderat (5-6 parpol saja). Dengan demikian
roda pemerintahan akan lebih lancar karena koalisi parpol akan lebih sederhana
dan ringkas. Kesepakatan politik lebih cepat dan mudah tercapai. Karena itu, cukup
sudah memanjakan parpol-parpol kecil dengan ambang batas parlemen yang terlalu
rendah. Ambang batas parlemen 4 % adalah hal yang lumrah dan perlu demi
menghindari anarki demokrasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar