Oleh: Alit Amarta Adi & Hifdzil Alim
dimuat di harian Jawa Pos 19 November 2011
Pernyataan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD
soal dugaan jual beli pasal di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menarik untuk
ditindak lanjuti. Bagi para para penggiat anti korupsi dan demokrasi,
pernyataan tersebut bukanlah hal mengejutkan. Sebaliknya, para politisi Senayan
kebakaran jenggot dan menuding Mahfud MD hanya mencari sensasi. Sensasi atau
bukan, sudah menjadi rahasia umum bahwa DPR (yang diisi oleh orang-orang parpol)
adalah lembaga bermasalah.
Masalah utama soal DPR adalah tidak ada transparansi
dan akuntabilitas (pertanggung jawaban) yang layak dari para anggotanya.
Seperti kita ketahui, para anggota DPR “disalurkan” oleh parpol. Dengan kata
lain, semua orang yang ingin menjadi anggota DPR harus lewat parpol. Tentunya
ada “uang masuk” dan “potongan-potongan” yang harus dibayar pada parpol. Sistem
tersebut mirip dengan sistem outsourcing
dalam dunia ketenagakerjaan. Singkatnya, mereka “tersandera” oleh parpol.
Rendahnya transparansi dan akuntabilitas orang-orang
yang dipasok parpol ke DPR nyata-nyata terlihat dari soal keuangan. Jarang
diketahui masyarakat berapa kekayaan seorang anggota DPR sebelum dan sesudah
menjabat. Hampir tidak pernah diumumkan secara luas aliran arus dana parpol
secara berkala. Dalam UU No. 2 Tahun 2011 juncto
UU No. 2 Tahun 2008 pengaturan dan tuntutan transparansi-akuntabilitas keuangan
parpol terlalu longgar, kabur dan terkesan asal-asalan. Tidak ada standar yang
rinci soal bentuk laporan keuangan, tidak ada tuntutan pelaporan berkala pendek
(misalnya 3 bulanan) pada Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu
(Bawaslu) dan masyarakat. Hal yang paling fatal adalah lemahnya sanksi. Sanksi
yang hanya berupa teguran tidak akan mampu memaksa parpol lebih transparan dan
akuntabel pada masyarakat.
Aturan yang sengaja dibuat longgar tentunya
memudahkan jual beli pasal. Keuangan parpol yang sengaja dirancang samar dan
tidak transparan sudah pasti memudahkan aliran dana haram ditubuh parpol. Model
pelaporan laporan keuangan yang terlalu longgar juga memberikan kebebasan luar
biasa pada parpol untuk bertindak semau
gue. Disisi lain, masyarakat yang seharusnya menjadi tuan bagi parpol tidak
dipermudah untuk mengawasi. Bagaimana masyarakat bisa yakin bahwa parpol akan
memperjuangkan kepentingannya dan tidak lebih menuruti “aspirasi” pihak-pihak
lain ketika membuat suatu undang-undang?
Sudah hal yang umum bahwa pembuatan undang-undang
tidak lepas dari lobby-lobby politik
dan tarik ulur kepentingan. Terlalu naif kalau kita menganggap bahwa tarik ulur kepentingan
tersebut hanya terjadi diantara parpol saja. Selain parpol, ada yang dinamakan interest groups (kelompok-kelompok
kepentingan). Menurut Ronald J. Hrebenar, kelompok kepentingan adalah setiap asosiasi individu atau organisasi,
baik diorganisasi secara formal atau tidak, yang berusaha mempengaruhi
kebijakan publik. Singkatnya, kelompok kepentingan adalah siapapun yang mencoba
mempengaruhi isi undang-undang. Kelompok kepentingan dapat dibagi menjadi
kepentingan ideologis, kepentingan kebijakan dan kepentingan ekonomi. Dilihat
dari bentuknya, kelompok kepentingan bisa bermacam-macam. Mereka bisa berupa
kelompok sektarian yang berusaha menjadikan ideologinya sebagai ideologi
negara, kelompok pejuang hak-hak gay dan lesbian, sindikat kriminal yang ingin
mengendalikan aparat penegak hukum, dan yang paling berbahaya adalah
perusahaan-perusahaan yang ingin memuluskan bisnisnya dengan “menyetir” isi
undang-undang.
Secara umum, istilah lobby bisa diartikan usaha mempengaruhi. Terkait dugaan jual-beli
pasal di DPR, menarik untuk mencermati pendapat Francesco Giovannoni. Menurut
Giovannoni, lobby adalah kegiatan
memburu rente (mencari keuntungan) yang ditujukan pada pembuat peraturan. Lebih
lanjut, lobby bisa saja dilakukan dengan membayar suap pada politisi. Hal
demikian sudah termasuk korupsi politik karena bisa mempengaruhi suatu
kebijakan yang tadinya berpihak pada kepentingan umum menjadi berpihak pada
kepentingan segelintir orang.
Hilangnya ayat yang berisi bahaya produk tembakau
dalam UU Kesehatan dan batas usia maksimum hakim Mahkamah Agung (MA) yang
mencapai 70 tahun dalam UU Mahkamah Agung hanyalah sebagian kecil dari UU
bermasalah hasil buatan DPR. Hal-hal tersebut membuat pernyataan Mahfud MD soal
jual-beli pasal di DPR menjadi semakin masuk akal. Tentunya hal tersebut tidak
boleh dibiarkan begitu saja. Masyarakat, pejuang demokrasi dan para penggiat
anti korupsi harus bersatu menuntut transparansi dan akuntabilitas DPR terutama
dalam hal keuangan.
Jika ada transparansi aliran dana parpol, maka
masyarakat akan lebih mudah mengawasi orang-orang parpol yang dipilihnya saat
pemilu. Masyarakat akan mudah mengetahui siapa saja penyumbang besar yang
mendanai parpol-parpol. Jadi jika suatu parpol getol memperjuangkan penurunan
cukai tembakau rokok putih dan disaat yang sama menerima banyak uang dari
industri tembakau asing, maka sudah pasti telah terjadi lobby gelap.
Hampir bisa dipastikan orang-orang parpol di DPR emoh menerapkan transparansi dan
akuntabilitas keuangan karena akan merampas kenikmatan mereka. Walaupun begitu,
Republik ini dibentuk bukan untuk memanjakan para politisi. Republik ini
dibentuk untuk melindungi, mencerdaskan dan mensejahterakan rakyatnya. Selama lobby-lobby gelap terus dibiarkan maka
bangsa Indonesia tidak akan menikmati janji kemerdekaan dalam Pembukaan UUD
1945. Jadi tunggu apa lagi? Sudah saatnya kita menyingkap lobby-lobby gelap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar