Oleh: Alit Amarta Adi
dimuat di harian Banjarmasin Post 12 Juli 2011
Setelah upaya pengesahan Rancangan Undang-Undang
(RUU) Intelijen Negara macet, kini DPR dan pemerintah sedang berusaha
menggolkan RUU Keamanan Nasional. Muatan kedua RUU tersebut sejatinya tidak
jauh berbeda, yaitu sama-sama menyimpan bahaya laten otoritarianisme. Bagaikan
kuda Troya, RUU Keamanan Nasional menyusupkan kewenangan bertindak dan
keleluasaan yang besar bagi pemerintah atas nama “keamanan nasional”.
Belajar dari pengalaman Amerika Serikat, jargon
“keamanan nasional” pernah dipakai oleh rezim George W. Bush untuk menggempur
Afghanistan dan Irak. Jargon yang sama pula dipakai oleh Central Intelligence Agency (CIA) untuk menculik tersangka anggota Al
Qaeda, menahan mereka di penjara Abu Ghraib, Teluk Guantanamao dan
penjara-penjara gelap lainnya. Dunia tahu seperti apa hasil sepak terjang para
penunggang semboyan “keamanan nasional” tersebut; kehancuran dan pelanggaran
hak asasi manusia.
Di negeri sendiri, slogan “demi stabilitas nasional
dan pembangunan” ampuh digunakan menggusur tanah milik masyarakat untuk
perusahaan-perusahaan multi nasional atau trans nasional. Hak berserikat,
berkumpul dan menyatakan pendapat serta berekspresi diberangus dengan
undang-undang anti subversi dan produk hukum lainnya. Selain itu, jangan
lupakan pula penetapan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh dan Irian Jaya
(kini Papua) di era tahun 80an-90an.
Bahaya Laten
Dalam RUU Keamanan Nasional setidaknya ada dua hal
yang mejadi bahaya laten. Pertama,
pembungkaman gerakan demokrasi. Pasal 18 ayat (1) membagi ancaman menjadi
ancaman militer, ancaman bersenjata dan ancaman tidak bersenjata. Selanjutnya
dalam ayat (2) disebutkan bahwa sasaran ancaman tersebut adalah bangsa dan
negara, keberlangsungan pembangunan nasional, masyarakat dan insani (individu).
Lebih lanjut dalam ayat (3) dinyatakan bahwa jenis ancaman terdiri dari
berbagai bentuk ancaman.
Rumusan dalam Pasal 18 ayat (1) sampai ayat (3)
sangat luas dan dapat ditafsirkan bermacam-macam. Ayat (3) tidak memberikan batasan
yang jelas tentang bentuk-bentuk ancaman. Lebih parah lagi, dalam ayat (4)
disebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk ancaman akan diatur
dengan peraturan pemerintah. Pasal 18 ini termasuk “pasal karet” yang lentur
dan mudah ditarik kemana-mana. Artinya, pelaksana undang-undang (pemerintah)
leluasa menafsirkannya seenak perut mereka sendiri. Selain itu, ayat (4)
memberikan kekuasaan kepada pemerintah untuk menentukan hal-hal yang termasuk
bentuk ancaman. Ini sangat berbahaya! James Madison pernah menyatakan bahwa
“jika pemerintah dipegang oleh malaikat maka tidak perlu ada kontrol internal
maupun eksternal terhadap pemerintah”. Kenyataannya, pemerintah dipegang oleh
manusia, dan manusia bukanlah malaikat yang bisa bertindak tanpa cacat cela. Undang-undang
dibuat untuk mengendalikan pemerintah supaya tidak melanggar hak-hak warga
negara. Jika undang-undang malah memberikan kebebasan bertindak yang terlalu
besar bagi pemerintah, akan rawan terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Lord Acton
mengajarkan bahwa kekuasaan cenderung disalahgunakan dan kekuasaan mutlak akan
mutlak disalahgunakan pula.
Singkatnya, berdasarkan Pasal 18, pemerintah
bertugas mewujudkan keamanan nasional; menentukan batas-batas dan aturan
mainnya sendiri; serta bebas melakukan apa pun “demi mewujudkan keamanan
nasional”. Ini seperti memberikan cek kosong yang boleh diisi berapa pun
nominal yang diinginkan. Bagaimana DPR (yang mengaku sebagai perwakilan rakyat)
akan mengawasi dan mengontrol pemerintah (eksekutif)? Jika DPR sampai
menyetujui RUU tersebut maka patut dipertanyakan kualitas kecerdasan dan
integritas para politisi Senayan tersebut.
Kedua,
campur tangan pemerintah dalam kehidupan beragama. Pasal 53 ayat (1)
menyebutkan bahwa “Penanggulangan permasalahan dan penyimpangan ajaran
keagamaan yang mengganggu ketertiban masyarakat dilaksanakan oleh Kementerian Agama, Kejaksaan Agung,
dan Polri sebagai unsur utama dibantu oleh Kementerian terkait, TNI, Lembaga
Pemerintah Non Kementerian terkait dan Pemerintah Daerah sebagai unsur
pendukung”. Urusan keagamaan adalah urusan pribadi manusia dengan Tuhan.
Pemerintah bukanlah wakil Tuhan sehingga tidak punya kewenangan menyatakan
menyimpang atau tidaknya suatu ajaran agama. Selain itu, ukuran “mengganggu
ketertiban masyarakat” juga tidak jelas.
Kembali
Kepada Konstitusi
Undang-Undang Dasar (UUD)
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai hukum tertinggi negara menjamin
hak-hak asasi warga negaranya. Dalam Pasal 28E dijamin kebebasan memeluk agama
dan beribadat menurut agamanya; kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan
pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya; kebebasan berserikat, berkumpul
dan mengeluarkan pendapat. Lebih lanjut dalam Pasal 28 I ayat (4) disebutkan
bahwa Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah
tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
Konstitusi adalah hukum tertinggi negara. Hans Kelsen
dan Hans Nawiasky menyatakan bahwa dalam konstitusi termuat hukum dasar
penyelenggaraan negara. Semua peraturan perundang-undangan tidak boleh
bertentangan dengan konstitusi. John GA. Pocock
menggambarkan konstitusi sebagai tembok benteng yang melindungi masyarakat dari
gerusan jaman. Konstitusi membuat masyarakat kebal terhadap ancaman pembusukan,
korupsi dan disintegrasi dari dalam. Dengan kata lain, konstitusi adalah sarana
untuk melindungi bangsa dan negara dari keruntuhan akibat perilaku korup dan
kejahatan lain.
Bola
kini berada ditangan DPR. Akankah DPR benar-benar melaksanakan tugasnya sebagai
perwakilan rakyat dan membenahi pasal-pasal bermasalah dalam RUU Keamanan
Negara? ataukah “para wakil rakyat” tersebut akan tutup mata pura-pura bodoh
dan membiarkan “kuda troya” RUU tersebut masuk? Jika pilihan kedua yang diambil
maka sesungguhnya negara ini sedang terjerumus dalam keruntuhan akibat perilaku
korup para petingginya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar