dimuat di harian Analisa Medan 6 Juni 2011
Oleh: Alit Amarta Adi.
Pernyataan
Menteri Luar Negeri Iran, Ramin Mehmanparast bahwa negaranya bersedia berunding
dengan lima anggota Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa plus Jerman
(G5+1) menyangkut program nuklirnya menimbulkan beragam tanggapan. Rusia
menyambut gembira hal tersebut tetapi pesimisme tentang hasil perundingan masih
sulit dihilangkan. Negosiasi antara Iran dan G5+1 sudah berlangsung sejak 6
Desember 2010 di Geneva-Swiss. Sejauh ini, pertemuan-pertemuan tersebut tidak
menghasilkan hal yang menggembirakan.
Krisis Nuklir Iran
Masalah
program nuklir Iran bukanlah hal baru. Krisis sudah terjadi sejak September
2002 saat para teknisi Rusia mulai membangun reaktor nuklir Iran di Bushehr.
Hal tersebut membuat resah dunia internasional. Badan tenaga atom
internasional/ International Atomic
Energy Agency (IAEA) meminta Iran membuktikan bahwa program nuklirnya bukan
untuk kepentingan militer. Menanggapi seruan IAEA, pada November 2003 Iran
setuju menghentikan sementara program nuklirnya. Selain itu, Iran akan
mengijinkan para inspektur IAEA memeriksa reaktor nuklirnya. Setelah serangkaian
kunjungan tanpa hasil memuaskan, pada Juni 2004 IAEA menilai Iran tidak beritikad
baik dalam pemeriksaan fasilitas nuklirnya.
Krisis
nuklir memanas pada Agustus 2005 ketika Iran melanjutkan konversi Uranium di
Isfahan. IAEA menyatakan bahwa Iran telah melanggar Traktat Pembatasan Senjata
Nuklir/ Non-Proliferation Treaty
(NPT). Iran menolak tuduhan tersebut sambil bersikukuh bahwa program nuklirnya
semata-mata untuk tujuan damai dan tidak bertentangan dengan NPT. Lebih lanjut,
Iran membuka segel IAEA di fasilitas riset nuklirnya di Natanz pada Januari
2006. Akibatnya, pada Februari 2006 IAEA melaporkan Iran kepada Dewan Keamanan
(DK) PBB. Pada tanggal 31 Agustus 2006, DK PBB memberikan deadline enam bulan
pada Iran untuk menghentikan sementara program nuklirnya. Deadline tersebut
tidak digubris oleh Iran. Sampai dengan akhir Februari 2007, Iran terus
melakukan pengayaan Uranium.
Krisis
nuklir Iran yang berlarut-larut membuat dunia internasional mengambil jalan lain.
Pada Juni 2008, Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, Javier Solana
menawarkan imbalan dagang kepada Iran supaya bersedia kembali berunding. Sampai
dengan Agustus 2008, tawaran tersebut diacuhkan oleh Iran. DK PBB bereaksi pada
September 2008 dengan mengeluarkan resolusi yang memerintahkan Iran
menghentikan pengayaan Uranium. Sayangnya, resolusi tersebut tidak disertai
sanksi karena Rusia menolak sanksi tambahan pada Iran.
Memasuki
September 2009, Iran mengakui telah membangun fasilitas pengayaan Uranium di
dekat wilayah Qom. Lagi-lagi Iran bersikeras bahwa fasilitas tersebut untuk
tujuan damai. Selanjutnya pada Oktober 2009, lima anggota tetap DK PBB dan
Jerman menawarkan Iran untuk melakukan pengayaan Uranium diluar negeri. Tawaran
tersebut ditolak oleh Iran pada November 2009, buntutnya IAEA mengeluarkan
resolusi yang mengutuk Iran karena diam-diam membangun reaktor nuklir tambahan.
Setelah
mediasi dengan Brazil dan Turki pada Mei 2010, Iran setuju melakukan pengayaan
Uranium diluar negeri. Walaupun demikian, dunia internasional terlanjur menilai
Iran tidak serius. DK PBB menjatuhkan sanksi tambahan pada Juni 2010. Sanksi
tersebut meliputi sanksi keuangan dan embargo senjata yang diperberat. Setelah
tarik ulur selama kurang lebih delapan tahun, akhirnya pada Desember 2010 di
Geneva, Iran setuju kembali berunding. Perundingan tersebut dijadwalkan di
Istanbul pada Januari 2011. Sampai saat ini, belum ada tanda-tanda krisis
nuklir Iran akan berhenti.
Non
Proliferation Treaty
Inti
permasalahan dari krisis nuklir Iran sebenarnya terletak pada Traktat
Pembatasan Senjata Nuklir/ Non
Proliferation Treaty (NPT). NPT mulai diberlakukan sejak tanggal 5 Maret
1970. Awalnya, negara-negara penyusun hanya akan memberlakukan NPT selama 25
(dua puluh lima) tahun saja. Dalam perkembangannya, pada konferensi New York
tanggal 11 Mei 2005, mereka sepakat memberlakukan NPT tanpa batas waktu. Terdapat
3 (tiga) pilar utama dalam Traktat tersebut. Pertama, komitmen tidak menyebarkan senjata nuklir. Kedua, komitmen pelucutan senjata
nuklir. Ketiga, hak menggunakan
tekhnologi nuklir untuk tujuan damai.
Sekilas
NPT adalah perjanjian internasional dengan tujuan mulia, yaitu mencegah
penyebaran senjata nuklir. Masalahnya, NPT dibuat ‘setengah hati’. Pasal II NPT
melarang setiap negara non-nuklir mengembangkan senjata nuklir tetapi
membiarkan negara-negara nuklir (AS, Inggris, Prancis, Rusia, RRC) tidak
tersentuh. Memang Pasal I NPT melarang negara-negara nuklir mentransfer
teknologi senjata nuklirnya pada negara-negara lain, namun hal tersebut hanya
melanggengkan “status quo” saja.
Tidak
bisa dipungkiri bahwa NPT adalah aturan hukum hasil negosiasi politik
negara-negara penyusunnya. Tarik-ulur kepentingan dan kompromi menghasilkan
“traktat yang cacat”. Jadi tidak mengherankan jika rumusan pasal-pasalnya
sangat fleksibel dan multi tafisr, terutama Pasal IV poin 1 menyangkut hak
mengembangkan teknologi nuklir untuk tujuan damai. Tidak ada kriteria dan
batasan yang jelas tentang teknologi nuklir damai dan teknologi nuklir militer.
Cacat
paling fatal dalam NPT adalah menyangkut daya ikat dan penegakannya. Seperti
halnya perjanjian internasional lain, NPT hanya berlaku mengikat pada negara
yang menandatanganinya. Negara-negara yang menolak menandatangi NPT tidak dapat
dipaksa tunduk karena akan bertentangan dengan kedaulatan negara tersebut.
Contohnya; India, Israel dan Pakistan adalah negara-negara yang mampu membuat
senjata nuklir namun bukan anggota NPT. Soal penegakannya, tidak ada ketentuan
sanksi yang tegas jika negara anggota melanggar, atau bahkan menarik diri dari
NPT. Bukankah ketika Korea Utara melakukannya pada tanggal 10 Januari 2003
tidak ada yang dapat berbuat apa-apa?
Kesimpulannya,
krisis nuklir Iran berlarut-larut karena aturan hukum yang bermasalah. Jika
instrumen hukumnya malfungsi maka ‘perilaku liar’ lah yang timbul. Jadi tidak
mengherankan jika muncul negara-negara bandel (rogue nations). Bukankah semuanya karena ‘Traktat yang cacat’
semacam NPT?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar