Oleh: Alit Amarta Adi.
Chupacabra adalah
binatang liar yang kerap menyerang dan menghisap darah ternak dalam cerita
desas desus di Puerto Rico. Faktanya menurut ahli Biologi Barry O’Connor, Chupacabra hanyalah anjing liar yang
terinfeksi kudis parah dan memangsa ternak untuk bertahan hidup. Cerita soal Chupacabra itu mengingatkan kita pada
berita Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dijadikan sapi perah oleh oknum
partai politik. Berita tersebut menghangat setelah Menteri BUMN Dahlan Iskan
melarang seluruh Direksi BUMN untuk menolak permintaan “upeti” dari pihak
manapun, termasuk partai politik. Larangan Dahlan tersebut adalah tindak lanjut
dari Surat Edaran Sekretariat Kabinet Nomor 542 tanggal 28 September 2012.
Kisruh
soal BUMN yang dijadikan sapi perah oleh oknum-oknum tertentu sebenarnya bukan cerita
baru. Revrisond Baswir dalam tulisannya yang berjudul “Ekonomi Kerakyatan:
Ekonomi Rakyat dan Koperasi Sebagai Sokoguru Perekonomian Nasional” mencatat
bahwa pengelolaan BUMN selama ini (sejak masa Orde Baru) didominasi oleh
pejabat pemerintah pusat. Dominasi para pejabat pemerintah ini tidak hanya
berakibat pada buruknya kualitas pelayanan BUMN, tetapi terutama berdampak pada
berubah (nya) BUMN menjadi objek sapi perah para penguasa. Lebih lanjut menurut
Revrisond, dengan latar belakang seperti itu, alih-alih tumbuh menjadi badan
usaha meringankan beban keuangan negara, BUMN justru hadir sebagai badan usaha
yang menggerogoti keuangan negara.
Cita-cita
menyehatkan BUMN sesungguhnya telah diamanatkan dalam Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat No. IV/MPR/1999. Dalam Bab IV Arah Kebijakan Ekonomi
poin 12 tertulis “Menata Badan Usaha Milik Negara secara efisien, transparan,
dan profesional terutama yang usahanya berkaitan dengan kepentingan umum yang
bergerak dalam penyediaan fasilitas publik, industri pertahanan dan keamanan,
pengelolaan aset strategis, dan kegiatan usaha lainnya yang tidak dilakukan
oleh swasta dan koperasi”. Ringkasnya, ada tugas untuk membuat BUMN efisien,
transparan dan profesional. Pengeluaran uang atau “upeti” adalah ongkos yang
tidak perlu dan membuat BUMN menjadi tidak efisien. Mengutip Ayub &
Hegstad, Mahmud Thoha dalam tulisan “Privatisasi di Inggris: Beberapa Pelajaran
Bagi Negara-Negara Sedang Berkembang” menyebutkan bahwa salah satu faktor yang
menyebabkan BUMN tidak efisien adalah campur tangan politik. Campur tangan
politik dicontohkan dalam penunjukan staf senior berdasarkan faktor politis dan
bukannya karena pengalaman. Walaupun begitu, campur tangan politik juga bisa
berwujud permintaan “upeti” oleh partai politik sebagai pengisi Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR).
BUMN
Untuk Kesejahteraan Rakyat
Dalam
bagian “Menimbang” huruf b UU No. 19 Tahun 2003 Tentang BUMN disebutkan bahwa
BUMN berperan penting untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Hal tersebut
adalah pelaksanaan dari Pasal 33 UUD 1945 dimana negara melalui BUMN menguasai
cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak
(kepentingan masyarakat). Penguasaan tersebut dilakukan demi sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Pasal 33 tersebut sejatinya menjabarkan salah satu tujuan
didirikannya Negara Republik Indonesia yaitu untuk memajukan kesejahteraan
umum. Kesejahteraan umum adalah kesejahteraan rakyat banyak dan bukannya segelintir
orang atau pengurus partai.
Lebih
lanjut soal peran BUMN, Revrisond menyatakan bahwa “melalui pendirian
Badan-badan Usaha Milik Negara (BUMN), yaitu untuk menyelenggarakan cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak,
negara dapat terlibat secara langsung dalam penyelenggaraan berbagai kegiatan
ekonomi tersebut. Tujuannya adalah untuk menjamin agar kemakmuran masyarakat
senantiasa lebih diutamakan daripada kemakmuran orang seorang, dan agar tampuk
produksi tidak jatuh ke tangan orang seorang, yang memungkinkan ditindasnya
rakyat banyak oleh segelintir orang yang berkuasa”. Selain menjaga agar tampuk
produksi yang penting tidak jatuh ketangan perorangan, penting pula menjaga
supaya kekayaan BUMN tidak bocor ketangan kelompok tertentu.
BUMN
Bukan Sapi Perah Partai
Dalam
penelitian Maja Tjernstrom & Anna Katz, sampai tahun 2003 setidaknya di
Albania, Andorra, Bosnia Herzegovina, Georgia, Jerman, Lithuania, Moldova,
Niger, Rumania dan Rusia, partai politik dilarang menerima sumbangan dari
perusahaan milik negara (BUMN). Sebagai perbandingan, Marcin Walecki dalam
tulisannya “Money and Politics in Central and
Eastern Europe”
menyebutkan bahwa banyak negara di eropa tengah dan eropa timur yang melarang
perusahaan yang sahamnya dimiliki negara untuk menyumbang partai politik.
Selain itu, Karl-Heinz Nassmacher dalam “Party
Funding in Continental Western Europe” mencatat bahwa Spanyol melarang
pemberian sumbangan dari BUMN untuk partai. Selain itu, sejak 1995 di Prancis,
partai politik dilarang menerima dana dari perusahaan-perusahaan sektor publik
(BUMN).
Di Indonesia, berdasarkan Pasal 40 ayat
(3) d UU No. 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik diatur bahwa Partai Politik dilarang : meminta atau
menerima dana dari badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan
badan usaha milik desa atau dengan sebutan lainnya. Lebih lanjut dalam Pasal
48 ayat (5) ditentukan sanksi pidana penjara paling lama satu tahun dan denda
dua kali lipat jumlah dana yang diterima bagi pengurus partai yang melanggar.
Terlepas
dari lemahnya sanksi bagi oknum partai pemeras BUMN dan harus adanya
pembuktian, sesungguhnya permintaan “upeti” dari BUMN untuk partai adalah
tindakan kriminal. BUMN seharusnya menjadi alat menyejahterakan rakyat dan bukannya
untuk memakmurkan partai. Jadi mari kita selamatkan BUMN dari hisapan partai “Chupacabra”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar