Pada
hari Jumat tanggal 29 Agustus 2014 akan digelar sidang Perkara No.
65/PUU-XII/2014 di Mahkamah Konstitusi (MK) dengan agenda pemeriksaan
pendahuluan atas permohonan Lembaga Swadaya Masyarakat Forum Kota (LSM Forkot)
dalam pokok perkara pengujian formil dan materiil UU No. 17 Tahun 2008 tentang
Pelayaran (UU Pelayaran). Dalam Ringkasan Permohonan, LSM Forkot menyebutkan
bahwa pihaknya merasa dirugikan secara formil dan materiil dengan berlakunya UU
Pelayaran. LSM Forkot mendalilkan bahwa UU Pelayaran bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 45) baik secara
formil maupun materiil. Secara formil, UU Pelayaran tidak memenuhi syarat
formil baik di tingkat eksekutif maupun legislatif karena tidak melibatkan
Pemerintah Kabupaten Gresik (Pemkab Gresik) dan pemerintah kabupaten/kota
lainnya di Indonesia dalam pembahasan rancangan undang-undang tersebut.
Selanjutnya secara materiil, ketentuan Pasal 4, 5 ayat (1), Pasal 28 ayat (1)
sampai (6), Pasal 70 ayat (2), Pasal 72 ayat (1), Pasal 76 ayat (1), Pasal 77,
Pasal 81 ayat (4), Pasal 82 ayat (1) dan (2), Pasal 96 ayat (1), Pasal 104 ayat
(2), Pasal 111 ayat (1), Pasal 116 ayat (2), Pasal 197, dan Pasal 207 ayat (4)
UU Pelayaran bertentangan dengan ketentuan Pasal 18 ayat (2) dan (5) UUD 45.
Oleh karenanya, LSM Forkot mengajukan permohonan supaya MK menyatakan bahwa
ketentuan tersebut di atas dalam UU Pelayaran dinyatakan bertentangan dengan
UUD 45 sehingga tidak sah dan tidak berlaku, memerintahkan kepada Pemerintah,
Presiden RI dan DPR RI untuk segera mencabut ketentuan dimaksud, memerintahkan
kepada Pemerintah untuk menyerahkan Unit Pelaksana Teknis Kantor Administrator
Pelabuhan Gresik dan Kantor Pelabuhan Bawean kepada Pemkab
Gresik, dan membebankan segala biaya yang timbul dalam permohonan keberatan hak
uji materiil UU Pelayaran kepada Pemerintah.
Permohonan
LSM Forkot kepada MK terkait UU Pelayaran menarik untuk dicermati. Dalam UU No.
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) diatur syarat-syarat
pengajuan permohonan pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar,
yaitu kedudukan hukum/legal standing pemohon (Pasal 51 ayat (1)), adanya
hak/kewenangan konstitusional yang dirugikan oleh berlakunya undang-undang
(Pasal 51 ayat (2)), uraian jelas bahwa pembentukan undang-undang tidak
memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 45 dan materi muatannya dianggap
bertentangan dengan UUD 45 (Pasal 51 ayat (3)).
Legal
Standing & Kerugian Konstitusional
Sesuai
dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK, pemohon adalah pihak yang menganggap
hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang,
yaitu: perorangan warga negara Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang, badan hukum
publik atau privat, atau lembaga negara. Dalam Ringkasan Permohonannya, LSM
Forkot mengaku sebagai badan hukum publik berdasarkan SK Menteri Dalam Negeri
melalui Kantor Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat Kabupaten
Gresik No. 280/258/437.77/2010 tanggal 30 April 2010 tentang Surat Keterangan
Terdaftar. Walaupun demikian, pengakuan tersebut masih perlu dibuktikan
kebenarannya di persidangan.
Terkait
syarat kerugian konstitusional, timbul pertanyaan mengenai hak konstitusional
LSM Forkot apakah yang dirugikan oleh berlakunya UU Pelayaran? Sayangnya, LSM
Forkot tidak menjabarkan mengenai kerugian konstitusional yang dialaminya dalam
Ringkasan Permohonan.
Uji
Formil Undang-Undang
Berdasarkan
ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK, diatur bahwa MK berwenang mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
undang-undang terhadap UUD 45. Selanjutnya, sesuai ketentuan Pasal 51 ayat (3)
huruf a UU MK dan Pasal 51 A UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No.
24 Tahun 2003 tentang MK (Perubahan UU MK) dapat disimpulkan bahwa suatu
undang-undang dapat diuji secara formil, yaitu diuji keabsahan tata cara
pembentukannya.
Terkait
permohonan LSM Forkot, dalam ketentuan Pasal 20 UUD 45 diatur bahwa Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) memegang kekuasaan membentuk undang-undang (ayat (1)),
setiap rancangan undang-undang (RUU) dibahas oleh DPR dan Presiden untuk
mendapat persetujuan bersama (ayat (2)), jika RUU itu tidak mendapat
persetujuan bersama, RUU itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR
masa itu (ayat (3)), Presiden mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama
untuk menjadi undang-undang (ayat (4)), dalam hal RUU yang telah disetujui
bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari
semenjak RUU tersebut disetujui, RUU tersebut sah menjadi undang-undang dan
wajib diundangkan (ayat (5)). Sepanjang pembentukan UU Pelayaran telah sesuai
dengan ketentuan Pasal 20 UUD 45 maka dalil bahwa pembentukan UU Pelayaran
tidak sesuai dengan UUD 45 menjadi gugur.
Walaupun
dalam ketentuan Pasal 51A ayat (3) UU 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Perubahan UU MK)
diatur bahwa dalam hal permohonan pengujian berupa permohonan pengujian formil,
pemeriksaan dan putusan yang dilakukan oleh MK didasarkan pada peraturan
perundang-undangan yang mengatur tata cara pembentukan peraturan
perundang-undangan, namun ketentuan tersebut baru berlaku pada tanggal
diundangkan, yaitu tanggal 20 Juli 2011 sedangkan UU Pelayaran sudah berlaku
sejak tanggal 7 Mei 2008. Dengan demikian, apakah ketentuan Pasal 51A Perubahan
UU MK dapat digunakan dalam pengujian UU Pelayaran, sebagaimana dimohonkan oleh
LSM Forkot? Kalaupun iya, maka proses pembentukan UU Pelayaran harus diuji
berdasarkan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan (UU Pembentukan). Ketentuan mengenai pembentukan suatu
undang-undang diatur dalam Pasal 17 sampai 23 UU Pembentukan. Dalam ketentuan
dimaksud, tidak ada satupun disebutkan keharusan melibatkan pemerintah
kabupaten/kota dalam pembentukan suatu undang-undang. Dengan demikian, dalil
bahwa UU Pelayaran tidak memenuhi syarat
formil menjadi terbantah.
Uji
Materiil Undang-Undang
Berdasarkan
ketentuan Pasal 51 ayat (3) huruf b UU MK, dapat diketahui bahwa suatu
undang-undang dapat diuji secara materiil, yaitu diuji apakah materi muatannya
bertentangan dengan UUD 45 atau tidak. LSM Forkot mendalilkan bahwa ketentuan
Pasal 4, 5 ayat (1), Pasal 28 ayat (1) sampai (6), Pasal 70 ayat (2), Pasal 72
ayat (1), Pasal 76 ayat (1), Pasal 77, Pasal 81 ayat (4), Pasal 82 ayat (1) dan
(2), Pasal 96 ayat (1), Pasal 104 ayat (2), Pasal 111 ayat (1), Pasal 116 ayat
(2), Pasal 197, dan Pasal 207 ayat (4) UU Pelayaran bertentangan dengan
ketentuan Pasal 18 ayat (2) dan (5) UUD 45.
Ditinjau
dari materinya, ketentuan dalam UU Pelayaran yang dimohonkan oleh LSM Forkot
untuk diuji adalah sebagai berikut: Pasal 4 UU Pelayaran mengatur lingkup
berlakunya UU Pelayaran, Pasal 5 berisi peran pemerintah sebagai pembina
kegiatan pelayaran, Pasal 28 mengatur tentang tingkatan pejabat yang berwenang
memberikan izin-izin, Pasal 70 ayat (2) tentang hierarki pelabuhan, Pasal 72
ayat (1) tentang penggunaan wilayah daratan dan perairan dengan kesesuaian
Rencana Induk Pelabuhan Nasional, Pasal 76 ayat (1) tentang kewenangan pejabat
dalam menetapkan Rencana Induk Pelabuhan dan Daerah Lingkungan Kerja atau
Daerah Lingkungan Kepentingan Pelabuhan, Pasal 77 tentang kewenangan menteri
untuk menetapkan wilayah tertentu menjadi lokasi pelabuhan, Pasal 81 ayat (4)
tentang Unit Penyelenggara Pelabuhan, Pasal 82 ayat (1) dan (2) terkait
Otoritas Pelabuhan, Pasal 96 ayat (1) tentang pejabat pemberi izin pelabuhan
berdasarkan kelas pelabuhan, Pasal 104 ayat (2) terkait syarat membangun dan
mengoperasikan terminal khusus, Pasal 111 ayat (1) terkait peran pelabuhan
utama, Pasal 116 ayat (2) terkait peran pemerintah dalam keselamatan pelayaran,
Pasal 197 pengerukan alur pelayaran dan kolam pelabuhan, Pasal 207 ayat (3)
tentang kewenangan menteri mengangkat Syahbandar.
Dalam
Ringkasan Permohonannya, LSM Forkot menjadikan ketentuan Pasal 18 ayat (2) dan
(5) sebagai batu uji norma. Pasal 18 ayat (2) UUD 45 mengatur pemerintahan
daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas perbantuan. Sedangkan
ketentuan Pasal 18 ayat (5) UUD 45 mengatur bahwa pemerintah daerah menjalankan
otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang
ditentukan sebagai urusan Pemerintahan Pusat.
Dengan
demikian, maka dalil bahwa ketentuan dalam UU Pelayaran (sebagaimana tersebut
di atas) materinya bertentangan dengan Pasal 18 ayat (2) dan (5) UUD 45 menjadi
membingungkan dan tidak jelas kaitannya.
Jikalau
LSM Forkot hendak mendalilkan bahwa seharusnya kepelabuhanan adalah urusan
pemerintah daerah dan bukan merupakan urusan pemerintah pusat, maka dasar hukum
yang seharusnya digunakan adalah ketentuan Pasal 10 ayat (3) UU No. 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Dalam ketentuan tersebut diatur
bahwa, urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah pusat meliputi
politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal
nasional, dan agama. Kepelabuhanan tidak secara tegas disebutkan sebagai urusan
urusan pemerintah pusat sehingga dapat ditafsirkan bahwa kepelabuhanan termasuk
dalam urusan pemerintah daerah. Walaupun demikian, penting untuk dipahami bahwa
kalaupun penafsiran tersebut benar maka pertentangan yang terjadi adalah
pertentangan antara ketentuan dalam UU Pelayaran dengan ketentuan dalam UU
Pemda, bukan pertentangan antara ketentuan dalam UU Pelayaran dengan UUD 45.
Kesimpulan
1.
LSM Forkot harus membuktikan legal
standing dan hak konstitusionalnya dilanggar oleh berlakunya UU Pelayaran.
2.
Pembentukan UU Pelayaran tidak
bertentangan dengan UUD 45 sebagaimana didalilkan oleh LSM Forkot, maupun
dengan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
3.
Materi UU Pelayaran tidak bertentangan
dengan UUD 45 sebagaimana didalilkan oleh LSM Forkot.