POLITIK HUKUM PENGATURAN KEUANGAN PARTAI POLITIK DI INDONESIA
Alit
Amarta Adi,
Andi Sandi Ant.T.T.
INTISARI
Penelitian
ini diajukan untuk menjawab tiga permasalahan terkait keuangan partai politik. Pertama, bagaimanakah regulasi keuangan
partai politik di Indonesia; Kedua,
hal-hal apa sajakah yang seharusnya diatur dalam hukum keuangan partai politik;
dan Ketiga, bagaimanakah sebaiknya
model pengaturan keuangan partai politik yang ideal di Indonesia.
Penelitian
ini merupakan penelitian sosio-legal karena penulis selain meneliti naskah
undang-undang partai politik juga meneliti risalah sidang pembahasan
undang-undang partai politik. Dengan kata lain, penulis berusaha menggali
hal-hal yang menjadi latar belakang suatu rumusan ketentuan dalam undang-undang.
Berdasarkan variasi penelitian menurut F. Sugeng Istanto, penelitian ini dapat
dikategorikan sebagai penelitian pustaka tentang isi ketentuan hukum positif
dan hukum terapan, bersifat kualitatif dan penelitian preskriptif. Dalam
penelitian ini, pendekatan perundang-undangan digunakan untuk memahami UU No. 2
tahun 2011; pendekatan historis digunakan untuk memahami risalah sidang
pembentukan peraturan perundang-undangan; pendekatan komparatif digunakan untuk
memahami regulasi keuangan partai politik di Jerman dan Amerika Serikat; dan
pendekatan konseptual digunakan untuk memahami konsep kedaulatan rakyat,
demokrasi perwakilan, kebebasan berserikat berkumpul, konsep partai politik,
konsep akuntabilitas dan tranparansi partai politik, konsep anatomi hukum kepartaian
dan model politik hukum regulasi keuangan partai politik. Data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa naskah peraturan
perundang-undangan, risalah sidang, buku, jurnal, artikel, naskah dari internet
dan kamus.
Dari
hasil analisis, penulis menyimpulkan bahwa; Pertama,
regulasi keuangan partai politik di Indonesia menganut politik hukum permissive dimana kebebasan partai
politik sangat tinggi, tuntutan transparansi dan akuntabilitas keuangan sangat
longgar, serta pengawasan dan sanksi yang lemah; Kedua, dalam hukum keuangan partai politik harus diatur
mekanisme pendanaan dari negara; kewajiban mengungkap asal dan jumlah
sumbangan; ada standar laporan keuangan; kewajiban pelaporan berkala laporan
keuangan kepada lembaga pengawas; ada kewajiban audit keuangan berkala oleh
auditor eksternal yang profesional; ada pembatasan jumlah sumbangan; ada
larangan sumber sumbangan tertentu; sanksi atas pelanggaran. Ketiga, model regulasi keuangan partai
politik yang ideal di Indonesia adalah dengan mengkombinasikan tuntutan
transparansi; audit keuangan berkala oleh auditor eksternal yang profesional;
larangan menerima sumbangan dari pihak asing, badan tidak kena pajak,
pembatasan nominal sumbangan per orang per tahun pada jumlah yang wajar; penguatan
Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilihan Umum dengan kewenangan
pengawasan yang kuat dan kewenangan menjatuhkan sanksi administratif yang
tegas; bantuan keuangan dari APBN/ APBD diberikan kepada partai politik sebagai
suatu penggantian sebagian biaya operasional tahun sebelumnya dengan syarat
partai telah memenuhi kewajiban transparansi dan akuntabilitas keuangan.
Kata Kunci: keuangan partai politik,
akuntabilitas, transparansi.
POLITICS
OF LAW ON POLITICAL PARTY FINANCIAL REGULATION IN INDONESIA
Alit
Amarta Adi,
Andi Sandi Ant.T.T.
ABSTRACT
This study aim
to analyse the three problems related to political party financial matter.
First, how does the statutory regulates the political party finance in
Indonesia? Second, what issues must be regulated in statutory regarding
political party finance. Third, what is the ideal model for political party
finance regulation for Indonesia?
This research is
a socio-legal research. In addition to examined the statutory regarding
political party, the researcher also examined the legislation proccess
transcript related to the statutory. In other words, the researcher sought to
explore the background of the statutory provision formulation during its
legislation process. Based on research
variation according to F. Sugeng Istanto, this research may be categorised as
literature research on the content of statutory law and applied law,
qualitative and prescriptive. In this research, the statutory-approach used to
understand the UU No. 2 Tahun 2011; historical-approach used to understand the
legislation proccess transcript related to the statutory; comparative-approach
used to understand the political parties financial regulations in Germany and
the United States; while conceptual-approach used to understand the concept of
popular sovereignty, representative democracy, freedom of assembly, political
parties concept, the concept of political party accountability and
transparency, the anatomy of political party law, and the politics of law
concerning political party financial regulation. The data used in this research
are secondary data such as statutory text, legislation proccess transcript,
books, journals, articles, scripts from the internet, and dictionaries.
From the
analysis, thre researcher concludes that: First, the political party financial
regulation in Indonesia adopted a permissive model, in which, there are very
high freedom for political parties, very loose demands of financial
transparency and accountability, weak public supervision and obscure sanctions;
Second, the law must regulate the mechanism of public funding for political
party, obligations to reveal to source and amount of donations, standards for
financial reports, obligation to submit financial statements periodically to
supervisory agendies, obligation related the periodically financial audit by
external professional auditors, donations cap, prohibitions of certain
donations source, sanctions for violations. Third, the ideal political party
finance regulation model for Indonesia is by combining the demands of
transparency, demands of periodically financial audit by external professional
auditors, ban on foreign source donations and non taxable entities source
donations, reasonable restriction on nominal donation per person per year,
enforcement of Election Commission and Election Supervisory Board through
strong authorization to supervise and to impose severe administrative
sanctions, the public funding given as a partial reimbursement for the previous
year operating cost provided that the party has complied the financial
transparency and accountability obligations.
Key words: Political Party Finance, Accountability,
Transparency.
A.
PENDAHULUAN
Partai politik
memegang peranan penting dalam sistem demokrasi perwakilan. Dalam sistem
demokrasi perwakilan, rakyat sebagai pemilik kedaulatan memilih orang-orang
untuk mewakili kepentingan mereka di parlemen (lembaga perwakilan rakyat).
Orang-orang tersebut berasal dari partai politik. Salah satu fungsi parlemen
adalah dalam hal legislasi (membuat peraturan perundang-undangan).
Dalam konteks Indonesia, fungsi legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah
membuat undang-undang. Dalam membuat undang-undang, anggota DPR harus
mengakomodasi kepentingan rakyat yang telah memilihnya. Dengan kata lain,
undang-undang yang dibuat harus melindungi dan mendorong kesejahteraan rakyat.
Proses legislasi
tidak bebas dari lobi
faksi-faksi yang ada dalam parlemen. Masing-masing faksi berusaha mengakomodasi
kepentingan para pemilihnya. Selain hal tersebut, kelompok-kelompok kepentingan
juga berusaha supaya kepentingan mereka terakomodasi dalam undang-undang.
Hal tersebut menimbulkan urgensi untuk menjaga supaya undang-undang tetap
mengakomodasi kepentingan rakyat banyak dan bukan kepentingan kelompok
tertentu. Salah satu bentuk lobi adalah pemberian sumbangan kepada partai
politik dengan timbal-balik diakomodasinya kepentingan pemberi sumbangan.
Dalam Pasal 38
UU No. 2 Tahun 2011 hanya ditentukan bahwa hasil laporan pertanggung-jawaban
penerimaan dan pengeluaran keuangan partai politik (di setiap tingkatan
organisasi) terbuka untuk diketahui masyarakat. Rumusan tersebut tidak cukup
karena tidak menentukan cara dan batas waktu maksimal melakukan publikasi.
Dengan kata lain, masyarakat (rakyat) tidak dipermudah untuk melakukan kontrol.
Selain itu, sanksi bagi pelanggaran ketentuan tersebut juga tidak ditentukan.
Pengaturan
tentang transparansi dan akuntabilitas keuangan partai politik masih sangat
longgar. Rumusan-rumusan pengaturan keuangan partai politik dalam UU No. 2
Tahun 2011 tidak tegas dan memberikan kesempatan diskresi yang luas.
Singkatnya, penguatan pengawasan dan kontrol masyarakat (rakyat) terhadap
partai politik kurang diakomodasi.
Secara umum, pengaturan partai
politik oleh negara menimbulkan dilema. Di satu sisi jika pemerintah tidak
melakukan pengaturan terhadap partai politik maka akan terjadi kekacauan. John
Locke menyatakan bahwa “individuals
formed government to ensure the enjoyment of their natural rights”.
Dengan kata lain, individu-individu bergabung membentuk pemerintahan untuk
menjamin dinikmatinya hak-hak mereka. Selanjutnya dikatakan bahwa “government, on this account, was a police
force that prevented freedom from dissolving into anarchy”.
Artinya, pemerintah di sini berfungsi sebagai penjaga untuk mencegah
penyalahgunaan kebebasan supaya tidak menjurus pada anarki. Dalam konteks
rendahnya akuntabilitas partai politik, pemerintah harus memfasilitasi
penguatan pengawasan dan kontrol rakyat sebagai pemilik kedaulatan terhadap
partai politik yang diberi mandat mewakili kepentingan rakyat. Persoalannya
bukan tentang apakah pemerintah boleh mengatur partai politik atau tidak tetapi
bagaimana mengatur dengan intensitas yang cukup. Jadi, walaupun kebebasan
berbicara dan berserikat adalah hak asasi yang diakui secara universal tetapi
tidak serta merta lepas dari intervensi negara.
Berdasarkan uraian yang telah
dipaparkan pada paragraf-paragraf sebelumnya maka peneliti berkeinginan untuk
melakukan penelitian mengenai Politik Hukum Pengaturan Keuangan Partai Politik
di Indonesia. Lebih lanjut, peneliti berusaha tidak sekedar menggambarkan
politik hukum sebagai fenomena atau realitas empiris semata namun juga mencari
model politik hukum yang mengakomodasi cita-cita hukum.
Berdasarkan latar belakang di atas,
permasalahan utama dalam penelitian ini adalah: “Bagaimanakah Politik Hukum
Pengaturan Keuangan Partai Politik di Indonesia”, dengan sub permasalahan
sebagai berikut:
1.
Bagaimanakah regulasi keuangan partai
politik di Indonesia?
2.
Hal-hal apa saja yang seharusnya diatur
dalam hukum keuangan partai politik?
3.
Bagaimanakah sebaiknya model regulasi
keuangan partai politik yang ideal di Indonesia?
B.
METODE
PENELITIAN
Metode
penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode penelitian
kualitatif. Penelitian ini merupakan penelitian sosio-legal yang merupakan
penelitian pustaka tentang kajian hukum positif dan hukum terapan, bersifat
preskriptif. Pendekatan yang dipakai antara lain pendekatan peraturan
perundang-undangan, pendekatan historis, pendekatan komparatif dan pendekatan
konseptual. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan sekunder
berupa naskah undang-undang, naskah risalah sidang, buku-buku, jurnal-jurnal,
artikel-artikel, bahan dari internet, dan kamus-kamus.
C.
REGULASI
KEUANGAN PARTAI POLITIK DI INDONESIA
Terkait hak keuangan partai
politik, dalam UU No. 2 Tahun 2011 tidak banyak perubahan yang konstruktif.
Perkembangan hak partai politik dalam RUU, UU No. 2 Tahun 2008 dan UU No. 2
Tahun 2011 dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Perkembangan Hak Partai Politik dalam RUU Partai Politik, UU No.
2 Tahun 2008 dan UU No. 2 Tahun 2011
Walaupun dimuat rincian jenis
laporan keuangan yang wajib dibuat oleh partai politik untuk diaudit oleh akuntan
publik tetapi tidak diatur tentang pihak yang menunjuk dan membiayai audit.
Jika akuntan publik ditunjuk dan audit dibiayai oleh partai politik maka
terbuka kesempatan untuk mempengaruhi objektivitas kerja auditor. Selain itu
tidak ditentukan batas waktu yang tegas untuk mengumumkan hasil audit kepada
masyarakat. Selain hal tersebut, secara umum perkembangan tuntutan kewajiban
partai politik terkait transparansi dan akuntabilitas masih belum memadai.
Perkembangan tersebut dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Perkembangan Kewajiban Partai Politik dalam RUU Partai Politik,
UU No. 2 Tahun 2008 dan UU No. 2 Tahun 2011
Dalam hal pendanaan, partai politik
tetap bebas menerima sumbangan tanpa batas dari anggotanya; terjadi kenaikan batas sumbangan maksimal
yang boleh diterima dari perusahaan/ badan usaha dari empat milyar Rupiah
menjadi tujuh milyar lima ratus juta Rupiah dalam satu tahun anggaran; tetap
tidak ada ketentuan yang tegas apakah perusahaan asing dikecualikan dari donor
yang dilarang memberikan sumbangan kepada partai politik. Selain itu longgarnya
batas waktu penyampaian laporan terkait pembukuan dan sumbangan kepada
pemerintah dan soal rekening khusus dana kampanye pemilu kepada KPU dalam UU
No. 2 Tahun 2008 juga tidak dibenahi dalam UU No. 2 Tahun 2011. Terkait aliran
dana dari dan ke dalam rekening partai politik, tetap tidak ada penunjukan
badan/ lembaga yang kompeten dalam melakukan pemantauan/ pengawasan. Secara
umum, perkembangan ketentuan tentang pembatasan dalam RUU Partai Politik, UU
No. 2 Tahun 2008 dan UU No. 2 Tahun 2011 tetap longgar. Hal tersebut dapat
dilihat dalam Tabel 3.
Tabel 3. Perkembangan Pembatasan Partai Politik dalam RUU Partai Politik,
UU No. 2 Tahun 2008 dan UU No. 2 Tahun 2011
Dalam hal sanksi, sanksi-sanksi
yang lunak dalam UU No. 2 Tahun 2008 tidak diperketat. Hal tersebut tentunya
tidak akan mendukung tuntutan transparansi dan akuntabilitas yang ideal.
Kesimpulannya, UU No. 2 Tahun 2011 masih mengandung kelemahan-kelemahan yang
harus diperbaiki.
Berdasarkan teori Kenneth Janda
mengenai pembagian politik hukum kepartaian, Indonesia tidak dapat digolongkan
sebagai penganut model prescription
(mengatur) melainkan temasuk penganut model permissive
(mengijinkan). Hal tersebut disebabkan pengaturan-pengaturan yang sangat
longgar dan sanksi yang lemah dalam undang-undang tersebut. Menurut Janda,
model politik hukum permissive dapat
mengakibatkan terlalu banyak partai gurem dalam pemerintahan yang kacau.
D.
HAL-HAL
YANG SEHARUSNYA DIATUR DALAM HUKUM KEUANGAN PARTAI POLITIK
1.
Model Jerman
Parteiengesetz 1994/ Act on Political Parties/ Law on Political
Parties (LPP) sebagaimana terakhir diamandemen pada tahun 2004 merupakan
undang-undang yang mengatur keuangan partai politik dengan sangat ketat.
Sebagian besar dana pembiayaan partai politik berasal dari negara. Karena hal
tersebut, partai politik dituntut untuk transparan dan akuntabel dalam hal
keuangan. Model pembiayaan partai politik dirancang sebagai penggantian
sebagian pengeluaran yang dicairkan secara bertahap dan bukan pencairan dana di
muka. Perhitungan penggantian tersebut didasarkan pada perolehan suara saat
pemilu dan perolehan sumbangan dari donatur perseorangan. Dengan demikian,
partai politik didorong untuk berkinerja prima.
Model pembiayaan partai politik di
Jerman diikuti pengaturan-pengaturan yang menuntut transparansi asal-usul dan
penggunaan dana, pembatasan jumlah dana publik untuk partai, larangan-larangan
menerima sumbangan tertentu, dan batas waktu pelaporan. Selain itu, sanksi
administratif berupa denda atau pencabutan dana publik digunakan untuk memaksa
partai politik tunduk pada tuntutan transparansi dan akuntabilitas. Mengingat
ketergantungan partai politik pada dana publik maka sanksi tersebut sangat mengikat
partai untuk tunduk.
Walaupun memuat pengaturan teknis
yang rinci dan ketat tetapi LPP tidak bebas dari kelemahan. Pada Section 23b paragraf 1 dan 2, jika suatu
partai politik melaporkan ketidakbenaran dalam Laporan Arus Kas yang terlanjur
diserahkan pada Presiden Bundestag maka tidak ada konsekuensi hukum (Section 31b dan 31c) selama hal tersebut
belum diketahui oleh umum, belum diketahui Presiden Bundestag dan tidak
diketahui sebelumnya. Ketentuan tersebut merupakan celah hukum yang dapat
digunakan personil partai politik untuk mengelak dari jeratan sanksi hukum
terkait rekayasa laporan keuangan.
Pada Section 31b, terkait tidak dicantumkannya suatu aset atau
ketidakbenaran dalam pencantuman nilai aset dikenakan sanksi denda senilai 10%
dari nilai aset yang tidak dicantumkan atau yang dicantumkan secara tidak
benar. Sanksi denda tersebut terlalu rendah dan kurang kuat memaksa partai
politik untuk tunduk. Persentase denda yang lebih besar akan semakin kuat
memaksa partai politik menaati peraturan tersebut. Selanjutnya, pada Section 31d paragraf 1 juga terdapat
celah yang memungkinkan partai melepaskan diri dari jeratan hukum jika
percobaan merekayasa laporan keuangan tidak tuntas dilakukan.
Dalam LPP, kekuasaan Presiden
Bundestag (ketua parlemen federal) sangat besar. Hal-hal terkait pengawasan
laporan keuangan dan pencairan dana publik untuk partai politik merupakan
kewenangan Presiden Bundestag. Jika sistem tersebut diterapkan pada negara
dengan akuntabilitas dan kredibilitas partai politik yang rendah maka posisi
tersebut rawan diperebutkan. Selain itu, penting untuk diwaspadai potensi
kolusi diantara pejabat Presiden Bundestag dan partai asalnya dengan
partai-partai yang lain. Dengan kata lain, pengawasan terhadap Presiden
Bundestag menjadi penting.
2.
Model Amerika Serikat
Federal Election Campaign Laws
merupakan kumpulan beberapa United States
Code (undang-undang) yang mengatur tentang partai politik terutama mengenai
dana kampanye. Pada dasarnya, kumpulan undang-undang tersebut cenderung
mengatur individu-individu yang ada dalam partai politik dan political committee (tim sukses
kandidat) daripada mengatur partai politik sebagai suatu lembaga.
Dalam hukum kepartaian Amerika
Serikat, Komisi Pemilu Federal (Federal
Election Commission/ FEC) memegang peranan penting dalam mengawasi partai
politik dan tim sukses kandidat pemilu. Ada tuntutan menyampaikan laporan
keuangan dengan standar baku yang rinci dan berkala kepada FEC. Dengan kata
lain, terdapat tuntutan transparansi yang ketat pada partai politik dan tim
sukses kandidat pemilu. Selain hal tersebut, dalam hukum kepartaian Amerika
Serikat juga terdapat pembatasan jenis dan jumlah sumbangan dan
larangan-larangan tertentu terkait sumbangan.
Walaupun demikian, hukum kepartaian
Amerika Serikat tidak bebas dari celah hukum. Pertama, adanya entitas yang
disebut Political Action Committee
(PAC). Melalui PAC, korporasi-korporasi besar dan kelompok-kelompok kepentingan
masih dapat mencoba mempengaruhi proses legislasi dengan memberikan sumbangan
kepada kandidat atau partai politik.
Kedua, adanya dana partai politik
yang disebut dana Levin. Dana Levin merupakan dana yang berasal dari
sumber-sumber yang dilarang oleh hukum federal tetapi diijinkan oleh hukum
negara bagian. Artinya, korporasi, serikat buruh dan kontraktor pemerintah
federal dapat menyalurkan uang kepada partai politik dan tim sukses kandidat
melalui jalur tersebut. Dana Levin tidak boleh digunakan untuk membiayai
kampanye federal. Walaupun demikian, jika partai politik atau tim sukses
kandidat hanya menggunakan satu rekening bank maka dana Levin akan bercampur
dengan dana non federal dan dana federal sehingga menyebabkan semakin rumit
untuk mengawasinya. Singkatnya, pejabat federal terpilih mungkin membuat
kebijakan publik yang menguntungkan korporasi atau kelompok yang menjadi
donornya ketika masa kampanye tetapi merugikan kepentingan umum.
Ketiga, terkait PAC korporasi yang
merupakan anak perusahaan dari korporasi asing. Berdasarkan 11 C.F.R 110.20
(i), PAC tersebut boleh memberikan kontribusi asal perusahaan induk tidak
mendanai PAC tersebut dan tidak ada orang asing yang ikut serta dalam
operasional PAC tersebut. Larangan tersebut tetap memberikan celah bagi pihak
asing untuk mempengaruhi hasil pemilu federal.
Keempat, berdasarkan 11 C.F.R
110.20 (b) dan (i) korporasi boleh memberikan sumbangan kepada partai politik
untuk kegiatan-kegiatan yang tidak terkait pemilu federal. Dengan demikian,
korporasi dapat mempengaruhi kebijakan partai politik melalui sumbangan
tersebut.
Kelima, berdasarkan 11 C.F.R 100.84
sumbangan untuk pembangunan gedung kantor partai politik bukan termasuk
kontribusi. Artinya, pihak asing dan korporasi boleh menyumbangkan uang untuk
keperluan tersebut. Dengan kata lain, ada celah untuk mempengaruhi partai
politik melalui sumbangan. Kesimpulannya, walaupun membebankan kewajiban
transparansi keuangan yang ketat kepada partai politik dan tim sukses kandidat
pemilu tetapi hukum kepartaian Amerika Serikat tidak bebas dari celah hukum
yang dapat dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok kepentingan untuk mempengaruhi
proses legislasi dan kebijakan publik demi kepentingannya.
3.
Perbandingan Model
Jerman dengan Model Amerika Serikat
a.
Persamaan
Model regulasi keuangan partai politik Jerman dan Amerika
Serikat mempunyai persamaan antara lain:
i.
Adanya tuntutan
transparansi yang ketat dalam bentuk pelaporan penerimaan dan penggunaan dana.
ii.
Adanya kewajiban audit
oleh akuntan publik.
iii.
Adanya batasan jumlah
sumbangan yang boleh diterima.
iv.
Adanya
larangan-larangan tertentu terkait sumber sumbangan, misalnya dari pihak asing,
korporasi, badan nirlaba/ amal.
v.
Sanksi cenderung
bersifat administratif, misalnya denda.
b.
Perbedaan
Secara substansi, model regulasi keuangan partai politik
Jerman dan Amerika Serikat mempunyai perbedaan antara lain:
i.
Model Jerman merupakan
regulasi yang cenderung mengatur partai politik sebagai suatu kesatuan lembaga
yang utuh sedangkan model Amerika Serikat merupakan regulasi yang cenderung
mengatur kandidat dan individu-individu dalam partai politik tersebut.
ii.
Model Jerman berkiblat
pada pendanaan partai politik oleh negara (dana publik) sedangkan model Amerika
Serikat berkiblat pada pendanaan partai politik oleh perorangan atau swasta.
iii.
Pada model Jerman,
lembaga pengawas partai politik adalah ketua parlemen federal sedangkan pada
model Amerika Serikat dilakukan oleh suatu lembaga negara independen yaitu Federal Election Commission/ FEC (Komisi
Pemilu Federal).
E.
MODEL
IDEAL REGULASI KEUANGAN PARTAI POLITIK DI INDONESIA
1.
Tuntutan Transparansi
Transparansi keuangan partai
politik sangat penting dalam kaitannya dengan penguatan kontrol rakyat terhadap
partai politik.
Dengan adanya transparansi, rakyat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi akan
dimudahkan dalam mengawasi partai politik yang mensuplai wakil-wakil rakyat di
parlemen. Karl-Heinz Nassmacher berpendapat bahwa partai politik dan/ atau
kandidat pemilu wajib mengumumkan sumber penerimaan keuangannya. Hal tersebut
disebabkan beberapa sumber pendanaan partai politik dapat membahayakan partai
tersebut.
Partai politik dimungkinkan bergantung pada donor tertentu tanpa diketahui oleh
para konstituen.
Sumbangan dari perseorangan yang kaya, perusahaan, persekutuan dagang atau
asosiasi usaha mungkin diberikan dengan pamrih tersembunyi. Donor mungkin
berniat membeli akses pada politisi atau pada kebijakan publik demi kepentingan
pribadi atau kelompoknya.
Lebih lanjut, Nassmacher menyatakan
bahwa tuntutan transparansi keuangan partai politik sesungguhnya bertentangan
dengan tuntutan privasi atau kerahasiaan penyumbang. Transparansi
total tidak mungkin dicapai dan sebaliknya privasi total tidak mungkin
diberikan.
Kepercayaan publik/ rakyat harus dijadikan patokan untuk menentukan batasan
antara transparansi demi kepentingan umum dengan privasi individu. Secara
praktis, penentuan batas nominal sumbangan (threshold
amount) merupakan alat untuk memisahkan kedua hal tersebut. Privasi dan
hak kerahasiaan hanya dapat diterapkan pada sumbangan dengan nilai dibawah
batas nominal sedangkan sumbangan dengan nilai di atas batas nominal wajib
diungkap kepada publik. Selain hal
tersebut, penentuan batas nominal sumbangan akan memudahkan publik membedakan
sumbangan yang merupakan bentuk partisipasi politik pendukung akar rumput
dengan sumbangan untuk membeli akses dan pengaruh.
Selanjutnya, tuntutan transparansi
mencakup kewajiban mengungkap/ mengumumkan sumbangan-sumbangan bernilai di atas
batas nominal; serta kewajiban pelaporan penerimaan, pengeluaran, hutang dan
aset. Dengan demikian, publik dapat mengidentifikasi sumbangan dengan pamrih
yang berasal dari pihak-pihak tertentu.
2.
Audit Eksternal
Salah satu cara menjamin akurasi
dan integritas akun keuangan partai politik adalah dengan mewajibkan
pemeriksaan dan sertifikasi oleh auditor profesional. Audit adalah
suatu pemeriksaan terhadap laporan keuangan suatu pihak, catatan keuangan, dan
informasi bank beserta bukti-bukti pendukung yang telah disiapkan oleh pihak
yang diperiksa (auditee). Terdapat
beberapa tingkatan dalam audit. Pertama, audit lapangan dan kunjungan ke kantor
partai politik (untuk memastikan bahwa catatan-catatan keuangan telah
dipelihara dengan baik); kedua, review laporan (memeriksa/ mencari pelanggaran
yang tampak pada laporan yang disimpan oleh partai politik); ketiga, review
dokumen pendukung (apakah tersedia salinan cek dari penyumbang dan apakah cocok
dengan sumbangan yang dicantumkan dalam laporan?); keempat, evaluasi
keseluruhan informasi (bagaimanakah tingkat kewajaran suatu hal? Apakah
pengeluaran tertentu terlalu tinggi?).
Dalam rangka mewujudkan kepercayaan
publik yang kuat terhadap partai politik maka penting untuk diatur kewajiban
audit eksternal terhadap keuangan partai dan publikasi hasil audit tersebut.
Audit eksternal adalah audit/ pemeriksaan keuangan oleh pihak di luar partai
politik. Audit eksternal penting untuk dilakukan karena audit internal oleh
partai politik saja tidak cukup. Keith D. Ewing sebagaimana dikutip oleh Marcin
Walecki menyatakan bahwa audit internal mempunyai tiga kelemahan utama.
Pertama, hal yang disepakati berlaku mengikat oleh suatu partai politik belum
tentu disepakati juga pada partai politik yang lain. Dengan kata lain, tidak
ada keseragaman standar praktik pengelolaan keuangan yang baik. Kedua, prosedur
dan aturan ditetapkan oleh partai politik sendiri sehingga partai bebas
menafsirkan sendiri aturan yang ada. Ketiga, tidak jelas sanksi bagi
pelanggaran dan pihak manakah yang melakukan penegakan aturan. Terkait
penggunaan dana dari negara, audit dapat dilakukan oleh Badan Pemeriksa
Keuangan. Terkait dana yang diperoleh partai dari pihak swasta, audit dapat
dilakukan oleh kantor akuntan publik.
3.
Larangan dan Pembatasan
Dalam rangka mewujudkan kepercayaan
publik terhadap partai politik, penting untuk menetapkan larangan dan
pembatasan tertentu terkait keuangan partai politik. Terkait larangan; pertama,
demi meminimalkan pengaruh pihak asing maka mutlak harus ada larangan bagi
partai politik untuk menerima sumbangan dari pihak asing. Secara lebih rinci,
partai politik dilarang menerima sumbangan dari perseorangan, korporasi,
lembaga swadaya masyarakat mau pun pemerintah asing. Selain itu, perusahaan
dalam negeri yang merupakan anak perusahaan asing sebaiknya juga dilarang
memberikan sumbangan kepada partai politik. Partai politik merupakan penyuplai
para wakil rakyat di parlemen. Salah satu fungsi parlemen adalah membentuk
undang-undang. jika partai politik dilarang menerima sumbangan dari pihak asing
maka akan mempersulit pengaruh pihak asing terhadap isi undang-undang nasional.
Dengan demikian, risiko kepentingan asing lebih diutamakan daripada kepentingan
nasional dalam muatan undang-undang dapat diminimalkan.
Kedua, badan usaha milik negara
sebaiknya dilarang memberikan sumbangan kepada partai politik. Badan usaha
tersebut adalah aset milik publik dan tujuan utamanya bukan untuk menyuplai
keuangan partai politik. Larangan tersebut juga akan meminimalkan peluang
partai politik menggunakan orang-orangnya untuk menjadikan badan usaha milik
negara sebagai sumber pendanaan.
Ketiga, badan tidak kena pajak
seperti yayasan amal, nirlaba, keagamaan dan
lain-lain sebaiknya dilarang memberikan sumbangan kepada partai politik.
Dengan demikian akan semakin sulit bagi korporasi, sindikat kejahatan dan
kelompok ideologi radikal memanfaatkan badan tidak kena pajak sebagai perantara
untuk memberikan sumbangan terselubung kepada partai politik. Membatasi akses
kelompok-kelompok tersebut untuk memberikan sumbangan kepada partai politik
akan membatasi pula peluang mereka mempengaruhi isi dan proses legislasi.
Selain larangan, pembatasan juga
memegang peranan penting dalam hukum keuangan partai politik. Pembatasan jumlah
sumbangan kepada partai politik dapat mencegah korporasi atau individu kaya
untuk memberikan sumbangan dalam jumlah besar. Hal tersebut penting untuk
mencegah partai politik dan proses legislasi dikendalikan oleh minoritas
kelompok kaya.
Menurut Spencer Overton, kebebasan berbicara dan memberikan dukungan politik
tidak serta merta dapat dipersamakan dengan kebebasan menggunakan uang untuk
memberikan dukungan politik. Tidak ada
bahaya yang mengancam ketika setiap orang bebas berbicara sepuasnya untuk
mendukung seorang kandidat atau suatu partai politik. Bahaya timbul ketika
seseorang bebas menggunakan kekayaan sekehendak hatinya untuk mendukung seorang
kandidat atau suatu partai politik. Realitanya, di masyarakat terjadi
ketidaksetaraan kekayaan. Jadi, pembatasan sumbangan penting untuk meminimalkan
peluang kelompok kaya mengendalikan partai politik dan mengabaikan kepentingan
masyarakat luas.
4.
Pengawasan
Dalam rangka mewujudkan transparansi dan akuntabilitas
keuangan partai politik perlu adanya suatu lembaga pengawas. Khayyam Z. Paltiel
sebagaimana dikutip oleh Nassmacher menyatakan bahwa penegakan aturan
memerlukan suatu badan otorita kuat yang diberikan kekuasaan untuk
mensupervisi, memverifikasi, menyelidiki dan jika perlu melakukan tindakan
hukum. Idealnya,
lembaga pengawas tersebut tidak merupakan bagian dari cabang kekuasaan
eksekutif (pemerintah). Marcin Walecki berpendapat bahwa kontrol eksternal yang
kuat, walaupun merupakan pendekatan yang menarik untuk memberantas korupsi
politik, dapat mengandung beberapa kekurangan. Pembentukan
sistem yang represif yang tidak dikontrol oleh lembaga penegakan yang netral
dapat mengancam otonomi internal partai politik dan kebebasan dari intervensi. Dengan kata
lain, jika pengawasan tersebut diserahkan kepada kementerian maka hal partai
politik yang berkuasa dapat menggunakan kementerian untuk menekan partai-partai
yang menjadi saingannya. Jadi, adanya suatu lembaga negara independen yang
khusus bertugas mengawasi dan menegakkan transparansi dan akuntabilitas
keuangan partai politik menjadi penting. Lembaga tersebut harus diberikan
kewenangan yang kuat untuk melaksanakan tugasnya. Dalam konteks Indonesia,
tugas tersebut dapat diberikan kepada Komisi Pemilihan Umum atau Badan Pengawas
Pemilu.
5.
Pendanaan dari Negara
Pendanaan dari negara sebaiknya
tidak dijadikan satu-satunya sumber pembiayaan partai politik. Di satu sisi,
hal tersebut akan memudahkan partai politik dalam arti bahwa partai politik
tidak perlu kesulitan mencari dana dan mengurangi risiko partai mencari
sumbangan dari kelompok-kelompok kepentingan dan sindikat kejahatan. Di sisi
lain, hal tersebut akan membuat partai politik tergantung sepenuhnya kepada
negara dan menyandera independensi partai. Selain hal tersebut, partai politik
tidak boleh dijadikan prioritas utama terkait pengeluaran uang negara. Sesuai
dengan Pembukaan UUD 1945, prioritas utama haruslah perlindungan,
kesejahteraan, pencerdasan bangsa dan perdamaian. Dengan demikian, sebaiknya pendanaan
dari negara hanya bersifat parsial saja. Artinya, partai politik tetap harus
mencari sumber pendanaan lain yang sah.
Pendanaan dari negara sebaiknya
tidak berupa subsidi yang dicairkan dimuka suatu periode tetapi berupa subsidi
bersyarat yang dicairkan dibelakang suatu periode. Artinya, partai tidak
diberikan dana untuk digunakan dengan bebas tetapi negara memberikan suatu
penggantian biaya operasional sebagian. Dana tersebut diberikan jika partai
politik melaksanakan tuntutan transparansi dan akuntabilitas keuangan. Dengan
demikian, partai politik akan dipaksa untuk mengelola keuangannya secara
transparan dan akuntabel.
6.
Sanksi
Tanpa sanksi
yang tegas tidak mungkin partai politik akan mematuhi tuntutan transparansi dan
akuntabilitas keuangan. Sebaiknya, sanksi administratif berupa denda dan
pencabutan pendanaan dari negara lebih diutamakan daripada sanksi berupa
pembekuan atau pembubaran partai politik. Sanksi berupa pembekuan atau
pembubaran terhadap partai politik karena pelanggaran transparansi dan
akuntabilitas keuangan sangat tidak proporsional. Selain itu, sanksi tersebut
dapat digunakan penguasa yang anti demokrasi untuk menekan partai-partai yang
menjadi lawan politiknya. Sebagai pelengkap, sanksi pidana untuk pelanggaran
atau kejahatan tertentu dapat ditambahkan, misalnya untuk pengurus atau anggota
partai politik yang menerima sumbangan dari pihak asing atau dari sindikat
kejahatan.
7.
Pemberlakuan
Undang-undang
dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden.
Seperti halnya anggota DPR berasal dari partai politik,
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai atau gabungan
partai politik. Dalam
konteks tersebut, mungkinkah orang-orang partai politik yang menjadi penyuplai
pembuat undang-undang akan membentuk undang-undang yang membatasi kebebasannya
dalam hak keuangan? Terkait hal tersebut ada baiknya mencontoh Amandemen XXVII
Konstitusi Amerika Serikat. Dalam ketentuan tersebut ditetapkan bahwa tidak ada
hukum soal penggajian Senator dan Anggota DPR yang langsung berlaku setelah
diundangkan. Ketentuan tersebut baru berlaku pada masa jabatan sesudahnya.
F.
KESIMPULAN
DAN SARAN
1.
Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan pada bab-bab sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa:
a.
Regulasi keuangan partai politik di
Indonesia menganut politik hukum permissive
dimana kebebasan partai politik sangat tinggi, tuntutan transparansi dan
akuntabilitas keuangan sangat longgar, serta pengawasan dan sanksi yang lemah.
b.
Berdasarkan perbandingan dengan Jerman yang
mengkombinasikan pendanaan dominan dari negara, pengawasan oleh ketua parlemen
federal, sanksi pencabutan dana negara; dan Amerika Serikat yang
mengkombinasikan pendanaan minim dari negara dan pengawasan oleh lembaga
pengawas independen (Komisi Pemilu Federal), sanksi denda administratif; dapat
disimpulkan bahwa dalam hukum keuangan partai politik harus diatur mekanisme
pendanaan dari negara; kewajiban mengungkap asal dan jumlah sumbangan; ada
standar laporan keuangan; kewajiban pelaporan berkala laporan keuangan kepada
lembaga pengawas; ada kewajiban audit keuangan berkala oleh auditor eksternal
yang profesional; ada pembatasan jumlah sumbangan; ada larangan sumber
sumbangan tertentu; sanksi atas pelanggaran.
c.
Model regulasi keuangan partai politik yang
ideal di Indonesia adalah dengan mengkombinasikan tuntutan transparansi; audit
keuangan berkala oleh auditor eksternal yang profesional; larangan menerima
sumbangan dari pihak asing, badan tidak kena pajak, pembatasan nominal
sumbangan per orang per tahun pada jumlah yang wajar; penguatan Komisi
Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilihan Umum dengan kewenangan pengawasan
yang kuat dan kewenangan menjatuhkan sanksi administratif yang tegas; bantuan
keuangan dari APBN/ APBD diberikan kepada partai politik sebagai suatu
penggantian sebagian biaya operasional tahun sebelumnya dengan syarat partai
telah memenuhi kewajiban transparansi dan akuntabilitas keuangan; dan
pemberlakuan undang-undang setelah pemilu berikutnya.
2.
Saran
a.
Sebaiknya regulasi keuangan partai politik
Indonesia menganut politik hukum prescriptive
(mengatur), artinya pembentuk hukum menentukan aturan main yang secara detil
menuntut partai-partai politik untuk transparan dan akuntabel dalam hal
keuangan kepada publik.
b.
Sebaiknya regulasi keuangan partai politik
di Indonesia mengadopsi model Jerman dalam hal mekanisme pencairan dana negara
untuk partai politik; serta mengadopsi model Amerika Serikat dalam hal
pengawasan oleh lembaga negara independen dan sanksi denda administratif.
c.
Sebaiknya dibuat undang-undang baru yang
memuat tuntutan transparansi dan akuntabilitas keuangan yang ketat kepada
partai politik serta dimuat kewajiban partai politik untuk transparan dan
akuntabel kepada publik dalam amandemen UUD 1945.